"Waah, ini kayaknya udah selesai revisi!" Hera berseru setelah meneliti bundel bab awal skripsiku.
Deg! Dadaku seperti terhantam keras, jantungku langsung meresponnya dengan berdetak lebih kencang. Apa setelah ini mereka akan memarahiku secara berkelompok? Mulutku terkunci rapat, otakku buntu tidak tahu mau menjawab seperti apa. Aku juga masih bimbang, apakah melanjutkan kebohongan, atau mengaku dan menerima hukuman.
Kemudian Hera memelukku dari samping, "Rendah hati banget sih kamu!" serunya sambil sedikit mengguncang badanku dalam pelukannya.
Kulihat kearah teman-teman gengnya, hanya tinggal dua orang yang menatap kepadaku, itu Mini dan Disa. Yanti sudah kembali menunduk dan sibuk dengan kertas-kertasnya, ekspresinya tidak terlihat.
"Makasih loh, Gi. Demi aku, kamu jadi berbohong," ujar Hera sambil melepas pelukannya.
Aku melihatnya, antara bingung dan gembira. Ternyata kebohongan tidak selamanya perlu dicecar. Apakah ini yang mereka anggap white lie? Aku mengangguk singkat, dalam hatiku merasa lega.
"Terus berarti abis ini, kamu bisa langsung ajuin naik seminar dong, kayak Yanti," kata Hera lagi. Sesaat aku melirik ke arah Yanti, dia mengangkat wajahnya, sepertinya ingin berbicara dengan Hera, tapi karena Hera tidak menatapnya balik, ia hanya terdiam dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Belum tentu. Tunggu di-ACC dulu 'kan," jawabku, yang membuat Yanti menoleh ke arahku. Mata kamu bertemu sesaat, dan dia langsung kembali menyibukkan diri dengan barang-barang di hadapannya.
"Oh, iya juga ya," sahut Hera singkat, sambil tersenyum padaku.
Ternyata, kalau berbohong untuk seseorang, bisa menjadi hal yang termaafkan. Bahkan bisa menjadi penyebab orang sangat berterimakasih. Aku mulai berpikir, apakah aku perlu melakukan kebohongan lagi? Sepertinya Hera perlu dilepaskan dari geng ini. Teman-temannya terasa toksik, dan tidak baik untuk Hera. Bukankah sebaiknya Hera berteman denganku saja?
***
"Eh, kak, udah pulang," suara yang tak biasa menyambutku saat tiba dirumah. Mataku mencari dari sumber suara sambil terus melangkah masuk. Tampak seorang lelaki berperawakan tinggi berkulit gelap sedang duduk disofa bersama Saka, mereka masing-masing memegang stik PS ditangan sambil menghadap layar yang menampilkan dua tokoh yang tengah berkelahi.
"Udah makan, Gi?" giliran ibu yang bertanya, ia baru saja bergabung dengan mereka berdua sambil membawa sebuah piring.
"Udah tadi," jawabku sambil terus melangkah menuju kamar.
"Salam dulu, ayah baru nyampe pagi tadi," ibu menunjuk lelaki itu dengan ibujarinya.
Dengan enggan kudekati lelaki yang tak lain adalah ayah dari Saka, ayah tiriku. Kuulurkan tangan kananku, yang kemudian disambutnya dengan tangan kanannya. Kutempelkan punggung tangannya sesaat ke jidat, segera melepasnya.
"Ke kamar dulu ya, Om. Capek," pamitku dan langsung menjauh. Aku tidak suka berlama-lama dengan mereka.
Sudah kukatakan sebelumnya, ayah Saka pelaut, dan dia lebih lama di laut daripada di darat. Aku tidak pernah tahu dia pelaut yang seperti apa, posisinya di kapal sebagai apa, dan jadwal-jadwalnya bagaimana. Hampir tidak ada yang kuketahui tentang dia, kecuali dia adalah ayah Saka dan suami ibuku.
Aku melihat mereka bertiga sebagai keluarga kecil yang bahagia. Ada ibu yang pintar mengurusi anak dan rumah, ada ayah yang bekerja dengan gaji yang sangat baik, serta ada seorang anak laki-laki yang manis dan pintar (terakhir kali bagi rapor, Saka mendapat peringkat ketiga dikelasnya). Mereka sangat bahagia, sampai aku enggan merusaknya dengan menceritakan pengalamanku.
Ketika itu, aku baru kelas 3 SMP, sedang sibuk persiapan ujian akhir. Aku ingat hari itu, sepulang sekolah, ibu mengajakku makan di food court yang dekat dengan tempat ibu bekerja. Sepeninggal bapak, ibu bekerja sebagai karyawan disalah satu laundry, sehari-hari ia menyetrika dan mencuci baju orang-orang.
"Ah, kita kesana yuk!" ibu menunjuk kearah seorang laki-laki yang melambai dari kejauhan, lelaki itu duduk di samping jendela, dekat sudut.
Langkahku mengikuti kaki ibu, tangannya menggandeng lengan kiriku. Dari kejauhan kuperhatikan penampilan lelaki yang kami tuju, ia mengenakan kemeja polos berwarna coklat, dengan rambut rapi berkilat. Dari wajahnya sepertinya ia lebih muda dari ibu. Ia tersenyum manis kepada ibu, yang sepanjang jalan tadi sudah dibalas ibu dengan senyuman lebar. Senyum ibu indah sekali, baru kali ini aku melihat ia berekspresi seperti itu.
"Maaf ya, kamu jadi menunggu lama," ibu memulai pembicaraan sambil mengambil posisi duduk didepan si lelaki, yang tidak lain nantinya menjadi Ayah Saka.
"Nggak kok, saya juga baru sampai," jawabnya lembut.
Aku duduk di samping ibu, sambil terus melihat kearah si lelaki. Setelah kulihat dari cara mereka berdua menatap dan berkomunikasi, aku langsung mengerti maksud dan arah pertemuan kami ini. Seketika kurasakan di perutku seperti diisi awan-awan hitam yang memenuhi ruang tubuhku selayaknya kapas di dalam bantal.
"Kamu pasti Magi, ya?" ujar lelaki itu basa-basi kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...