Aku pernah bilang, bahwa aku membenci profesi bu Rini, guru SMA-ku. Aku bahkan bilang mengharamkannya untuk menjadi profesi yang akan kujalani. Itu kataku, si manusia sombong. Tapi kata takdir?
Lihatlah, tulisan FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN terpampang besar dan megah didepan gedung kampusku. Aku sudah katakan, aku mahasiswa tahun akhir 'kan? Dan tempatku berkuliah? Fakultas inilah dia, FKIP nama populernya, S.Pd nantinya gelarku, dan guru harusnya pekerjaanku. Takdir memang benar-benar ingin mengerjaiku yang suka bicara sesumbar.
Mulai hari aku memutuskan masuk fakultas ini, semua adalah keterpaksaan, semacam melakukan kewajiban tak terelakkan. Sejak awal aku memilihnya sebagai jurusan tujuanku, hari-hari perkuliahan kujalani dengan otomatis. Kuliah, tugas-tugas, praktikum, semuanya mode default. Tidak percaya? Lihatlah nilaiku, semua mata kuliah dihiasi huruf B, variasi B- sampai B+, yang berarti kemampuanku 'B' aja, 'B' banget sampai 'B' mayan.
IPK ku terakhir 2.98 kalau tidak salah. 'Sangat memuaskan' ya 'kan? Yang penting aku tidak membuat malu ibu, walau ibu juga tidak bisa membanggakanku. Cukuplah, untuk orang yang tidak berminat dengan jurusannya. Ah, jurusanku Pendidikan Bahasa Indonesia, yang kata orang jurusan yang cukup ringan dan menyenangkan. Ayolah, masa' orang Indonesia asli nggak bisa Bahasa Indonesia? Ya 'kan?
"Yuk!" tiba-tiba seseorang merangkul lenganku, dan menarikku berjalan maju. Kulihat Fira, tersenyum lebar sambil menggandengku.
"Parkir dimana?" tanyaku. Ya, tumben dia menghampiriku di depan pagar fakultas, biasanya dia parkir di dalam 'kan?
"Tuuh!" katanya sambil menunjuk dengan memonyongkan mulutnya, parkiran sepeda motor diluar fakultas, dekat fotokopi. "Lagi motokopi tadi, keliatan kamu dari jauh. Yaudah sekalian aku samperin aja," imbuhnya enteng sambil mengayun-ayunkan tanganku yang digandengnya.
Aku meneruskan langkahku. Siluman ulat bulu ini, kalau tidak diabaikan, dia akan menjadi-jadi. Makanya kubiarkan saja dia dengan segala kemauannya.
"Gimana judul skripsimu, Gi?" tanyanya sambil kami beriringan menyusuri jalan fakultas, menuju gedung prodi.
"Belum tahu," jawabku singkat, sambil melihat ke arah samping. Terlihat Hera keluar dari mobilnya yang terparkir di parkiran dekat gedung prodi Bahasa Indonesia, disusul dua orang anggota gengnya.
"Aku masih galau nih. Bantuin dong," ujar Fira sambil melepaskan gandingan tangan kami. Aku beralih melihatnya, ia sedang membuka resleting tas sampingnya, lalu merogoh ke dalamnya.
"Bantu apa? Judulku saja belum jelas," ujarku terus berjalan dengan kecepatan sama, kecepatan jalan Fira melambat, dan dia sudah tertinggal sekitar 2-3 langkah dibelakangku. Fira, sudah pernah kuceritakan belum? Dia mahasiswi yang rajin, aktif, dan ramah. Aku yakin temannya banyak, bahkan sebenarnya dia tidak perlu menempel padaku. Dia punya banyak orang yang mau menerima dia dalam gengnya. Terakhir kali kalau tidak salah, dia didekati gengnya Devi, semester ganjil lalu, saat orang-orang sibuk PPL (Program Pengalaman Lapangan, saat mahasiswa FKIP ala-ala jadi guru di sekolahan).
Semester 5, saat orang-orang mulai mengambil mata kuliah PPL, termasuk aku, saat itu aku ingat, setelah kuliah pengantarnya, Fira dikerubungi mahasiswi-mahasiswi yang butuh kawan kelompok. Pasti bahagia menjadi seorang Fira, yang katanya 'terancam cumlaude'. Sifat manusia memang begitu, ya? Untuk menyelamatkan dirinya, mereka pasti mencari orang yang memiliki kekuatan untuk memberikannya keselamatan itu. Kasarnya, mereka mencari kacung untuk mengerjakan tugas-tugas mereka, tapi yang kinerjanya baik, jadi mereka bisa dapat hasil yang baik pula.
Di hari dan waktu yang sama, aku dengan leluasa membereskan tasku, lalu melenggang keluar ruangan kuliah. Aku sakit kepala, membayangkan banyaknya kerjaan tugas yang menghadang didepan. Aku yang biasa kuliah-pulang-kuliah-pulang, tidak ikut organisasi, tidak ikut kegiatan-kegiatan kampus sampingan lainnya, sekarang baru saja menerima segala tetek-bengek per-PPL-an. Membentuk kelompok? Mengajar? Rancangan pembelajaran? Kerja sosial? Laporan? Ugh, aku mual!
Buru-buru aku keluar dari gedung, menuju kantin. Sepertinya aku perlu minum manis untuk menenangkan pikiranku. Ah, dan sedikit menonton kartun? Ide menarik. Persetan dengan kelompok. Toh, akhirnya aku bisa berkumpul dengan orang-orang yang tidak punya kelompok.
"Ah, maaf Magi," seseorang menabrak pundakku dari belakang. Aku menoleh, itu Hera.
"Gak pa-pa," jawabku singkat sambil menyampirkan kembali sandangan tasku yang melorot karena kejadian barusan. Kulihat disekitar Hera, beberapa mahasiswi lain, jelas itu semua anggota gengnya.
"Udah dapat kelompok, Gi?" tanya Hera. Basa-basi? Atau mau menawarkan bergabung? Aku sempat berbunga-bunga. Namun setelah kuteliti, di belakangan gerombolan geng Hera, juga ada satu geng lagi yang beranggotakan 5-6 orang. Seingatku kelompok PPL diminta beranggotakan 10-15 orang 'kan? Ah, ternyata mereka menggabung dua geng menjadi satu kelompok ya?
"Udah," jawabku bohong. Ya, kini aku tahu pertanyaan Hera hanya basa-basi.
"Oo, kirain belum ada. Mau ngajak kamu gabung kelompok kita tadinya," sahut Hera. Benar begitu? Kalau dari ekspresi teman-temannya, sepertinya Hera bicara tanpa diskusi. Mereka terlihat kaget. Tapi, apa benar Hera mau menawariku bergabung? Apa aku ralat saja jawabanku barusan?
"Padahal kalo ada yang rajin kayak kamu, pasti bikin kita rajin juga. Ya 'kan, Yanti?" imbuh Hera seraya meminta dukungan Yanti yang tepat disampingnya.
"Hah? Eh, iya nih. Biar termotivasi gitu," Yanti gelagapan karena tiba-tiba ditodong Hera. Terlihat dari senyumnya yang terpaksa, semua belum masuk pembahasan resmi geng mereka.
"Ya udah, kami duluan ya, Gi. Dahh," Hera pamit sambil melambai ramah, diikuti anggukan dan senyuman canggung dari teman-teman dibelakangnya.
Aku mengangguk seraya membalas lambaian Hera singkat.
"Drrrrtt," terasa getaran ponselku dari saku celana. Kurogoh sakuku, melihat nama 'Fira' tertera dilayarnya.
"Apa?" tanyaku segera setelah menekan tombol 'jawab'.
"Dih, 'halo' dulu gitu. Langsung nge-gas 'apa-apa'," terdengar sahutan Fira dari ponsel. Aku melangkah menepi menempel dinding, agar tidak tertabrak lagi.
"Halo," kuturuti maunya Fira, sambil melangkah pelan menuju pintu keluar gedung, menyusuri dinding.
"Nah, gitu dong. Dimana? Barusan kelihatan, tiba-tiba udah hilang aja," sahut Fira.
"Ini udah keluar gedung. Kenapa?" jawabku sambil terus berjalan.
"Lah, aku masih diruang kuliah nih! Mau kemana?" sahutnya, terdengar ia sedikit terengah-engah.
"Paling kantin," jawabku. Aku sudah melihat bangunan kantin dari kejauhan.
"Okekeh. Aku nyusul yakk!" ujar Fira, kemudian teleponnya langsung terputus. Dasar! Tadi aku mengangkat telepon tanpa sapaan awal, dia protes. Giliran dia, ternyata memutus telepon tanpa pamit. Sama aja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...