"Kenapa kamu bisa disini?" tanyaku, begitu kulihat Ares berada di kantin Prodi-ku.
"Eh, nggak. Ada yang mau aku obrolin dengan Fira," jawabnya, disusul oleh anggukan cepat dari Fira yang duduk didepan Ares. Ares berkuliah di Universitas yang sama, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIP kata populernya.
"Oh," aku menaruh barang bawaanku dimeja dekat Fira, yang langsung disambut oleh senyumannya terkesan canggung.
Kukeluarkan laptop bersama dengan kertas-kertas tugasku. Aku memulai mengerjakan tugas, kubalik-balik kertasku. Riuh orang-orang di kantin tidak menggangguku, justru keheningan kedua orang yang semeja denganku ini yang mengusikku.
Tanganku terhenti, kulihat Ares dan Fira bergantian. Mereka sedang saling menatap sebentar, lalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ares sibuk menyuap makanannya, sedangkan Fira memperhatikan ponselnya sambil sesekali menekannya.
"Katanya ada yang mau diobrolin," kubuyarkan kecanggungan yang sudah berlangsung sejak aku tiba.
Ares menoleh ke arahku, "Ah, iya, Gi. Udah tadi," katanya sambil mengunyah makanannya.
"Iya, udah kelar kok. Kita tinggal makan-makan aja," imbuh Fira cepat. Mencurigakan.
"Kalian mau membahas aku?" tuduhku langsung. Bukan tanpa alasan, mereka berdua adalah pengasuh yang ditunjuk ibu untuk memantauku, dan sekarang saat aku bergabung, mereka terdiam.
"Nggak kok. Bukan bahas kamu," jawab Fira sambil mengibaskan tangannya ke arahku. Ares mengangguk mantap sambil terus menyuap makanannya.
"Lalu apa?" tagihku. Mereka benar-benar aneh, dan aku perlu tahu apa yang terjadi.
"Bukan masalah yang besar. Kami hanya membahas hal-hal kecil aja kok," kali ini Ares yang menjawab. Ia meneguk air putih, lalu kembali berbicara, "Terus gimana skripsimu?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Baiklah, mereka dengan pembahasan mereka. Kusimpan kembali barang-barangku, dan segera beranjak pergi. "Silakan dilanjutkan saja," kataku, lalu pergi.
Sambil menjauh aku masih mendengar suara Fira dan Ares bersahut-sahutan memanggilku, berusaha menghentikanku. Kuabaikan saja, mereka perlu ketiadaanku 'kan?
***
"Hei," Fira langsung menyapaku begitu tiba dan duduk di sampingku. Kami sedang di ruang kuliah, menunggu kelas dimulai.
Aku yang sedang mengerjakan ketikan di laptopku, menoleh ke arah Fira sesaat. "Ya," sahutku, lalu kembali mengetik.
"Maaf ya, soal yang tadi," Fira kembali membahas kejadian dikantin tadi. Setelah dari kantin, aku akhirnya mengerjakan tugasku sendirian di lobi gedung kuliah ini. Kuingat dalam setengah jam kemudian, akan ada kuliah di gedung tersebut.
Aku menghentikan ketikanku, "Gak masalah," jawabku singkat. Aku tidak marah, tidak juga senang hati pergi meninggalkan mereka. Maksudku, kalau memang mereka mau membicarakannya tanpaku, seharusnya mereka melarangku untuk bergabung sejak awal. Atau bila memang tidak masalah aku bergabung, mereka lanjutkan saja obrolannya tanpa merasa canggung.
"Beneran loh, Gi. Kami nggak ngomongin kamu," Fira menjelaskan. Aku melirik kearahnya sejenak, ia terlihat menatapku dengan penuh penyesalan.
"Iya, aku tahu," sahutku lagi. Terserah saja, lagi pula bukan urusanku. Aku bangkit, sepertinya aku butuh ke toilet. "Nitip barang-barangku, ya," pintaku pada Fira sebelum pergi.
"Kemana?" tanyanya sambil mengikutiku dengan kepalanya.
"Pipis," jawabku singkat dengan sedikit mendesis.
Sejujurnya, aku memang tidak marah untuk hal-hal sepele seperti di kantin tadi. Aku tidak terlalu peduli, sekalipun mereka memang membicarakan aku. Aku cukup kenal mereka berdua, dan tahu persis sifat mereka. Pembahasan mereka tentangku tidak akan berdampak buruk untukku. Tapi entah mengapa, di dalam dadaku, seperti ada segumpalan benda aneh yang berputar-putar menggelinding, memenuhi rongga dadaku hingga terasa sesak, berat, dan mengganjal. Rasanya tidak nyaman, dan tidak kusukai. Sampai selama aku nugas di lobi tadi, kupukul-pukul dadaku, mencoba meringankan perasaan penuh ini, tapi ternyata tidak cukup membantu.
![](https://img.wattpad.com/cover/379090371-288-k905935.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...