"Mau kemana, Gi?" Fira menghampiriku setelah perkuliahan selesai. Setelah aku pindah ke barisan geng Hera, Fira mengoperkan tas dan semua barangku ke belakang, dan aku bisa mengikuti kuliah seperti biasa.
"Nugas," jawabku sambil mengemasi barang-barangku. Kali ini, semua yang terjadi nyata, aku benar-benar dalam perkumpulan Hera, dan aku tidak berkhayal samasekali.
"Bareng Yanti dan semuanya?" tanyanya sambil melihatku ragu. Kujawab dengan anggukan singkat.
"Iya, kita mau ke café dekat gerbang. Ikut yuk, Fir," Yanti yang berada tepat disebelahku jelas mendengar semua percakapan kami.
"Eh, nggak dulu, Ti," jawab Fira. Sambil terus berkemas, kulihat kearahnya, terlihat ia mengibaskan tangan cepat mengisyaratkan penolakan. "Aku udah ada rencana ke tempat lain," imbuh Fira, ekspresinya ramah, ternyata menolak tawaran bisa sesopan itu.
"Ooh, oke deh," sahut Yanti santai.
"Aku duluan kalo gitu ya, Gi," pamit Fira, lalu melambai padaku. Aku balas melambai singkat.
"Yuk, Gi. Kamu naik apa?" Hera mengajakku, ia bicara disebalik badan Yanti yang masih grasak-grusuk beberes.
"Ojek tadi," jawabku. Dia menanyakan kendaraanku ke kampus 'kan?
"Ooh, yaudah bareng aku aja," ajak Hera sambil menunjukkan kunci mobilnya.
Aku? Semobil dengan Hera? Tentu saja aku mau. "Oke," jawabku sambil bangkit dari bangku. Saat berdiri, aku bisa melihat wajah Hera lebih jelas.
"Yuk," teman geng Hera yang mengenakan kacamata sudah beranjak duluan, dan mengajak yang lainnya.
"Eh, tungguin, Prit!" seseorang lainnya yang berbehel buru-buru mengekorinya. Ternyata yang berkacamata itu Prita. Sepertinya aku harus menghafal nama mereka, karena bisa saja setelah ini aku sering berkumpul dengan mereka.
Aku berjalan kemudian, disusul Hera. Tadi kulihat Yanti masih berkemas, sepertinya mencari barang-barangnya yang berserakan setelah menandai bangku-bangku gengnya.
"Yang itu Disa," tiba-tiba Hera berbisik ditelingaku sambil menunjuk gadis keriting dibelakang si behel.
Refleks kujauhkan sedikit kepalaku darinya. Bergantian kulihat Hera dan orang yang dia sebut Disa itu. Hera tersenyum lebar, memamerkan gigi depannya, "Belum kenal 'kan?" ia mengkonfirmasi. Perempuan ini, apa bisa membaca pikiranku? Atau memang kami ditakdirkan untuk menjadi belahan jiwa?
Aku menggeleng pelan, mengisyaratkan bahwa memang aku belum mengenal temannya yang barusan.
"Dan itu Mini," gentian Hera menunjuk temannya yang menggunakan behel, volume bicaranya masih kecil, sehingga cuma aku dan dia yang mendengarnya.
Kubalas dengan anggukan kecil. "Dan itu Prita?" kini kutunjuk si kacamata yang sudah jauh didepan kami, diantara kerumunan mahasiswa lain yang keluar ruangan kuliah.
Hera mengacungkan kedua jempolnya padaku, wajahnya terlihat bangga. "Pinter," pujinya, lalu tertawa kecil.
"Bisik-bisik apa kalian?" ujar Yanti sambil sedikit tergopoh dari belakang kami.
Terlihat Hera sedikit terperanjat, "Ah, nggak."
"Pouch pensilku hilang," keluh Yanti kemudian. Tiba-tiba saja topik pembicaraan langsung berubah.
"Oh, iya lupa. Ada ditasku," jawab Hera sambil cengengesan usil. Dia bisa berekspresi seperti itu juga ternyata, lucu.
"Iiih, Hera! Kebiasaan!!" Yanti kesal, tapi marahnya seperti dibuat-buat. Kemudian terdengar Hera tertawa lepas. Mereka memang sedekat itu ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Misterio / SuspensoManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...