"Aku kerja sampingan di fotokopi sebelah. Ini mau tukar uang, pelangganku tidak ada uang kembalian," senyum lebar mengakhiri tawa panjangnya.
Terserah saja. Tapi sebaiknya kamu pergi sekarang, sebelum aku menyerangmu dengan semua peralatan pangkas yang ada di sampingku. Benar-benar, gunting-gunting ini bisa kulemparkan semuanya, ke arah kepalamu, dan aku bisa melihatnya terpancang di jidatmu, di bola matamu, dan meleset kemudian menggores daun telingamu. Ah, kurasa aku berlebihan. Aku tidak bisa melempar gunting sekuat itu sampai dapat menembus tengkorakmu. Atau kurasa aku bisa melemparnya ke arah lain, perut? Mungkin. Kalau ke perut, mungkin aku bisa menembus lapisan depan kulit perutmu. Tapi organ apa yang bisa ku rusak? Hanya hati atau usus, dan kamu tidak bisa mati spontan kalau hanya hati atau usus yang bocor. Atau kamu menderita karena patah hati yang sebenarnya? Hahaha, memikirkannya saja sudah cukup lucu.
***
Aku butuh waktu lebih panjang untuk menenteramkan pikiranku yang sudah cukup kacau karena anak lelaki tadi. Sepertinya aku butuh minuman hangat.
"Di pojok kiri," jawab ibu tanpa kutanya. Aku yang sedang mencari-cari dilemari dapur menjulurkan tangan ke pojok kiri lemari yang ibu maksud. Kuraih stoples berisi serbuk gelap beraroma khas. Coklat. Sesendok, dengan dua sendok gula, lalu menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Setelah tercampur, kutambahkan sesendok krimer. Baru menghirup aromanya saja sudah cukup menenangkan.
"Lain kali cobalah untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh, Magi," ujar ibu.
Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Aku hanya mulai menyeruput coklat hangatku sembari meniupnya agar uap panasnya lebih cepat hilang. "Iya."
Entah apa definisi konkrit dari "aneh-aneh". Entah kegiatan apa yang tergolong "aneh-aneh". Mungkin yang ibu maksud "aneh-aneh" adalah hal-hal yang tidak biasanya dilakukan orang lain di rumah ini. Entahlah. Orang lain di rumah ini selain aku hanya ibu, berarti maksudnya aku harusnya tidak lakukan yang ibu tidak lakukan? Ibu tidak pergi ke kampus, tidak kuliah, yang seperti itu sudah bisa tergolong sebagai "aneh-aneh"? Tapi dia tidak pernah memarahiku karena aku pergi ke kampus.
"Kamu pulang jam berapa besok? Temani ibu belanja," pinta ibu, tangannya sibuk menutup gorden jendela. Sudah malam, ya?
Aku duduk di depan tv, meniup coklat digelasku, meneguknya sekali. Benar-benar menenangkan. Acara apa ini? Tidak berguna samasekali. Kenapa tidak ganti dengan berita petang? Ya sudahlah, acara kesukaan ibu, 'kan?
"Magi?" aku tahu, ibu sedang menagih jawaban atas permintaannya.
"Tidak pulang, bu," sekali lagi, ku teguk minumanku.
Belanja apanya. Ibu bisa belanja sendiri seperti hari-hari lain. Dia hanya mencari alasan untuk membawaku kembali ke tempat tidak berguna itu. Aku bisa selesaikan semuanya sendiri. Untuk apa buang-buang uang hanya untuk orang yang selalu bertanya hal itu-itu saja.
Ibu selalu seperti itu. Kenapa tidak coba cari alasan lain kalau memang ingin menyeretku ke sana lagi? Dari dulu selalu minta temani belanja, tetapi akhirnya ke tempat itu. Dia tidak pernah benar-benar belanja bila mengajakku. Polanya, terlalu statis.
"Kalau tidak mau ya sudah, tapi jangan lupa minum obatmu. Dalam plastik biru ya, di atas meja belajarmu sudah ibu taruh," kemudian ibu duduk di sampingku, menghadap TV bersama, diam bersama. Lagipula, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.
Ku tiup minumanku, mengangguk sekali, meneguknya lagi. plastik warna biru, ya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, menjadikan seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik menjadi hal yang kasat mata, terlihat. Sedangkan psikis tersimpan, hanya dapat dirasakan dengan perasa abstrak yang disebut kalbu...