Magi si Penjagal

91 31 58
                                    

Pisau itu masih tertancap di lehernya. Matanya membelalak menatapku, suaranya tidak terdengar. Hanya keluar suara seperti tercekik dari mulutnya, apa pisaunya tembus ke pita suaranya? Ah, bukannya posisi pita suara itu lebih ke atas ya?

Dengan cepat kucabut pisau tersebut, lalu semburan darah keluar deras dari bekasnya. Ia masih tersandar, tidak terjatuh ke lantai. Berarti adegan di film itu banyak didramatisir ya. Ternyata kita tetap bisa duduk kokoh, walau baru saja ditikam. Ia menatapku penuh amarah.

"Apa kamu masih belum merasa bersalah? Perlakuanmu, mengerikan. Lebih mengerikan yang baru saja kamu alami," ujarku sambil mengelap sisa darah dipisau menggunakan lengan bajuku.

Dia diam, tidak menjawab pertanyaanku. "Kenapa tidak menjawab? Bukannya kamu yang mengajarkanku, bahwa tidak menjawab pertanyaan seseorang itu adalah hal yang tidak sopan? Lalu, sekarang kamu berlaku tidak sopan." Imbuhku. Ya, dia pengajarku, mereka menyebutnya guru. Dan aku mereka sebut siswa SMA. Lalu bagiku? Dia hanya orang yang suka membanggakan dirinya didepan kami yang lebih muda.

Apa hebatnya lahir lebih dulu? Apa karena kamu menjadi lebih dahulu menghirup udara bumi? Apa karena bisa lebih dulu berjalan? Berlari? Bertengkar?

Oh, iya. Kurasa aku perlu menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Sekarang aku sedang di sekolah, di ruang guru. Aku kesini karena dia memanggilku. Padahal aku sedang istirahat, makan, dalam waktu istirahat yang pihak sekolah beri hanya 40 menit. Dan dalam waktu yang singkat itu, dia malah memanggilku, mengurangi masa istirahatku dengan tidak beradab. Lalu apa alasannya dia memanggilku? Ternyata dia menyuruhku untuk memanggil siswa lain. Tadinya dia ingin memberi tugas membuat artikel tentang lingkungan, yang akan dia kirimkan untuk kontes menulis bagi siswa SMA tingkat nasional. Aku menolak, kukatakan aku tidak mau, tidak mampu, tidak bersedia. Kemudian wanita usia 30-an ini, bu Rini namanya, memasang wajah masam. Aku sangat yakin melihat lubang hidungnya berasap, dan bila ia membuka mulut, kemungkinan akan ada api yang tersembur.

Kenapa siswa tidak boleh menolak permintaan guru? Apakah karena masih dianggap anak-anak, dibawah umur, jadi tidak ada hak untuk menentukan keinginannya sendiri? Setelah mendapat penolakan dariku, ia mulai berbicara dengan nada tinggi, "Ya sudah, rugi sekali kamu. Kalau begitu panggilkan saya Ningsih, biar dia saja yang ikut kontes." Ujarnya.

"Kenapa harus saya yang memanggilnya?" sahutku. Aku yakin nada bicaraku di kunci F, rendah, selayaknya penyanyi Bariton. Kupastikan wajahku tidak melawannya.

"Kamu ya, selalu saja menjawab apa yang saya katakan," mata bu Rini mulai terbelalak, hampir keluar dari rongga mata. Kalau tidak dijawab, lalu aku harus bagaimana? Maunya apa sih?

"Dari awal saya melihat kamu di sekolah ini, saya perhatikan gelagatmu, sombong! Angkuh! Semua ucapan dari mulutmu itu selalu takabur! kalau tidak karena nilaimu, tidak sudi saya mengajakmu mengikuti kontes ini!" bu Rini mulai berorasi, seperti membaca teks Proklamasi.

"Kamu harusnya contoh Ningsih, anaknya baik, lembut, santun, tahu membawa diri. Dia benar-benar jelas berasal dari Orangtua yang unggul, bibit unggul. Kamu?! Modal nilai bagus saja, sudah belagu!" ia menyambung pembacaan Proklamasi-nya hingga linea berikutnya.

Apa kabar hatiku? Sakit? Bisa jadi. Tapi aku kurang suka keributan, apa lagi melawan yang lebih tua modelan ibu ini. Jadi lebih kupilih diam, menunduk, menghitung jumlah garis putih di sepatu hitamku. Suara wanita itu masih terdengar menggelegar selama 5 menit, lalu menurun 3 oktaf setelahnya sekitar 10 menit. Dan ditutup dengan, "Kamu mengerti, Magi?"

Itu pertanda. Sudah selesai 'kan? Aku lalu balik badan. Memanggil Ningsih? Tentu tidak. Bel masuk baru berbunyi, dan jam makan siangku dikenyangkan oleh omelan wanita baik budi pekerti ini. Jadi tentu aku menuju kelas, Kembali menjadi siswa pendengar yang Budiman.

Kurasakan bahuku dicengkeram, "Kamu tidak menjawab saya, Magi? Sangat tidak sopan. Kamu harusnya tahu, kepintaran tidak akan menjadi apa-apa bila tidak ada sopan santun!" seru bu Rini sangat sopan kepadaku.

Cukup, wanita ini perlu dibantu sadar. Kujangkau meja didekatku, dan kulihat tanganku, pisau. Tepat sesuai kebutuhan. Dan langsung kuhujamkan ke lehernya. Dan kemudian terjadi seperti yang kusebutkan tadi.

Inilah akibat dari terlalu mengelu-elukan usia lebih tua, senioritas. Padahal sangat tergambar dari ucapannya, dia guru yang malu dengan kemampuan siswanya. Malu karena siswanya payah? Tentu bukan. Dia malu, karena dia lebih payah dari siswanya. Kemudian dengan seluruh kerendah-diriannya itu, membuatku menjadi samsak kemarahannya. Kalau aku lebih pintar, lalu kenapa? Aku tidak mempermasalahkan dia lebih bodoh atau lebih kuno atau apalah itu. Dia bahkan sudah membandingkanku dengan Ningsih, yang lebih jinak, dan aku sangat berusaha untuk tidak marah. Tapi dari Tindakan lanjutannya terhadapku, sepertinya dia memang ingin aku marah, dan membunuhnya. Dan ya, sudah kulakukan.

Ketidakberdayaan siswa terhadap sekolah, terhadap guru, aku cukup tahu. Cukup tahu, dan aku tidak melawan saat dia berorasi. Kuberikan segala waktu makan siangku untuknya. Dia mendapat lega, dan aku dapat lapar. Aku menolak keinginannya, sama halnya seperti Orangtua yang menolak anaknya meminta dibelikan es krim di swalayan. Penolakan itu terjadi, bukan Cuma kepada anak-anak, tapi juga kepada orang dewasa. Apakah anak tetanggaku lebih dewasa menerima penolakan daripada wanita hampir tua ini?

Sekarang dihadapanku, dia sudah sekarat. Dia sebentar lagi mati, ditanganku. Siswa yang katanya tidak sopan.

"Sebenarnya saya cukup sopan kepada ibu. Tapi karena ibu minta saya untuk tidak sopan, maka saya kabulkan permintaan ibu itu," ujarku sambil berlalu, menuju kelas. Sepertinya guru pengajar hampir saja masuk kelasku.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang