Tidak Untuk Diingat II

15 10 4
                                    

"Kita butuh penyatuan jiwa untuk penyembuhanmu," katanya. Seketika dilemparkannya mangkuk ditangannya entah kemana, dan langsung mendorongku dan menindihku. Aku hendak teriak, tapi tangannya sudah menutup mulutku. Kakiku memberontak, kutendang apa yang bisa kutendang. Tanganku menerjang, mencakar wajahnya, menarik apa yang bisa kutarik. 

Aaaagghhhh!!! Aku tidak suka, aku benci ini!! Apa aku harus berakhir dengan dukun cabul ini?! Ibu, tante, om, Ares! Kalian masih diluar 'kan?!

"Brakkk!!" keputusasaanku sirna dengan suara benda menghantam kepala si dukun. Diwajahku terciprat darah, dengan pecahan-pecahan mangkuk tanah liat.

Si dukun limbung, memegangi kepala belakangnya sambil bangkit dan melihat ke arah belakang. Itu Ares, wajahnya penuh amarah. Tangannya berlumuran darah. Ah, dia memukulkan mangkuk darah ayam, itu berarti yang berserakan ini... bukan darah si dukun 'kan?

"Ada apa ini?!" dukun itu ternyata masih mau melanjutkan drama pengobatan ini.

"Bapak ngapain?? Jangan macam-macam bapak ya??" suara Ares menggelegar. Aku buru-buru berdiri, berlari ke arah samping ranjang.

"Saya melakukan pengobatan! Penyucian jiwa!" kata si dukun tanpa rasa bersalah.

"Setan!!" kupukul si dukun dengan kursi plastik yang dari tadi memang kuincar untuk memukulnya.

Si dukun tumbang, terduduk. Kulihat ibu dan tante Rina sudah tiba di ambang pintu.

"Magi!!" ibu menghambur ke arahku. Seketika ibu memelukku, tangisku pun pecah. Seluruh badanku gemetar, takut, marah, kesal, semua bercampur aduk.

***

Aku benar-benar tidak mau mengingat kembali kejadian itu. Jijik, takut, kesal. Setelah kejadian itu, tante Rina masih tidak merasa itu hal yang salah. Ia bahkan mengatakan, harusnya Ares tidak perlu memeriksa apa yang terjadi didalam bilik, karena semua demi penyembuhan. Dia juga bilang bahwa 'penyatuan jiwa' itu adalah hal yang benar dan bukan seperti yang kami bayangkan. Mendengarnya aku mau muntah, jangan-jangan si tante hedon memang sudah melakukan hal 'penyatuan jiwa' itu dengan si dukun.

Tapi yang pasti, ibu benar-benar marah pada tante Rina. Tidak pernah kulihat ibu membentak dan meneriaki tante Rina sebebas itu. Sepertinya ibu tidak berniat memperbaiki hubungan dengan tante Rina. Kami bahkan pulang naik taksi. Aku, Ares, dan ibu. Ibu benar-benar tidak sudi lagi menerima tumpangan tante Rina. Ya, memang semenjak itu, hubungan kami dengan tante hedon sepertinya berakhir. Hanya tegur sapa sesekali saat acara keluarga besar saja.

Beberapa hari setelah itu, aku masih berpikir, bagaimana kalau sebelumnya kupersiapkan cutter disaku bajuku? Aku ingin sekali mengebiri si tua cabul itu. Beberapa kali kureka adegan dikepalaku, saat dia mulai mengajakku 'penyatuan jiwa' itu, seharusnya aku iyakan saja, mengikuti alurnya. Setelah itu, nanti ketika ia sudah mulai memamerkan senjatanya, maka saat itu kukeluarkan cutter, dan memotong senjatanya yang sedang berdiri tegak itu. Ah, kenapa tidak kulakukan hari itu?

Tapi kurasa aku tidak mampu. Kembali kuingat gemetar lutut dan tanganku hari itu. Tanganku yang dingin, otakku yang buntu, mataku yang serasa berkabut. Semua tidak mendukungku untuk melakukan hal-hal yang heroik seperti yang ku khayalkan.

Sekali lagi aku hanya bisa bersyukur, ayam-ayam itu butuh pengasuh. Aku bersyukur Ares ikut. Aku beruntung, Ares membangkang dan tetap kepo mengintip ke dalam. Hokiku dalam satu tahun itu sudah terpakai.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang