"Hooooooiii, Magiiii! Udah hoiiii!" suara gadis yang tepat duduk disampingku. Berisik. Dia memang manusia berisik, ah bukan, dia siluman ulat bulu, Fira.
Aku menatapnya datar. "Apanya?"
"Udah selesai lho, kuliahnya. Ayok bubar!" ujarnya sambil mematikan proses perekaman di HP-ku yang tergeletak dimeja. Aku tahu, gadis berisik.
"Aku lapar nih! Jajan siomay depan yuk! Sambil beli es teh tiga ribuan sebelahnya. Haus!" Fira masih nyerocos. Aku bahkan tidak menanyakan satu hal pun dari yang dipaparkannya.
"Ada juga es coklatnya. Cepatlah! Mana tasmu, sini kubantu masukin barang-barangnya. Lama!" Fira merampas harta-bendaku. Pencurian!
Kelas sudah bubar, baris depan tinggal aku dan Fira. Dosen sudah keluar dari 5 menit yang lalu. Terlihat geng Hera cekikikan didekat pintu keluar. Cepat juga mereka geraknya.
"Ada janjian sama geng Yanti?" tanya Fira. Dia selalu menyebut Yanti sebagai ketua perkumpulan mereka, pasti karena Yanti si penebar benih.
Aku menggeleng. Ku resletingkan tasku yang sudah memuat semua barang dari meja tadi, sambil berdiri kusampirkan tasku dibahu kanan. "Ada coklat hangatnya?" tanyaku, menyambung kembali pembahasan jajan bersama gadis siluman ulat bulu.
"Mana ada! Udah, yang dingin aja! Sama-sama coklat kok!" si siluman ulat bulu mendorong-dorong punggungku. Gadis ini, sepertinya berencana membuat kami berdua malu karena jatuh berguling-guling. Aku tepis tangannya sambil terus berjalan keluar ruangan. Aku memang tidak terlalu peduli dengan sekitar, tapi jatuh berguling diruang kuliah yang baru bubar, sama saja memberikan orang seangkatan bahan panggilan baru. Dasar siluman ulat bulu! Berisik!
"Heh, topimu miring, Gi! Pitaknya kelihatan!" celetuk Fira lagi. berisik!!
***
"Potong rambut lagi?" tanya Fira sambil mengunyah siomay. Aku mengangguk, sambil menyomot siomay di piringnya.
"Heh! Pesan sendiri sana!" Fira protes, karena siomaynya berkurang sepotong. Aku mengunyah siomay hasil jarahan dengan santai.
"Jadi kenapa lagi kali ini? Ketempelan permen karet lagi?" tanyanya sambil menjauhkan piring siomay dari jangkauanku. Pelit!
Aku menggeleng, menarik gelas minumanku mendekat, lalu menyeruputnya sedikit.
"Terus?" Fira menatapku, menunggu jawaban.
"Gerah," jawabku sambil mengaduk-aduk minumanku.
"Iiiih, ada-ada aja! Gerah ngga sampe botak lah, Gi!"
Aku tidak botak. Rambutku masih ada, masih banyak. Siluman ulat bulu suka sekali melebih-lebihkan kejadian. Selalu seperti itu, dan hampir semua sampai ke telinga ibu, dengan derajat keparahan yang dilebih-lebihkan.
"Terus yang lain gimana?" pertanyaan Fira tidak jelas.
"Apanya?"
"Kepalamu? Badanmu? Apa ada yang luka?" tanyanya sambil menunjuk-nunjuk ke bahu hingga kakiku.
Apa yang dia pikirkan dengan memberi pertanyaan itu padaku? Dia pikir aku mau bunuh diri? Cuma potong rambut, tidak ada berniat melukai diri sendiri. Bikin kesal saja. Inilah yang aku benci dari orang-orang yang dekat dengan ibu, mereka jadi tertular sifat sok tahu dan sok pahamnya wanita itu.
"Heh, Gi! Ada yang luka? Nggak kan?" Fira menagih jawabanku.
"Nggak ada. Aman. Beneran cuma gerah," jawabku sambil menggapai piring siomaynya.
"Terus, nanti sore jadi 'kan? Kontrolnya?" Fira menatapku lekat-lekat, belum sadar siomaynya sudah berpindah tempat.
"Belum tahu," sambil makan tahu. Enak, lain kali aku pesan sendiri saja.
"Harus jadi ya. Soalnya kelakuanmu sudah agak..." gila? Apak amu ingin menyebutku seperti itu? Aku benci orang sok tahu.
"... agresif belakangan ini," Fira menyambung kalimatnya yang sebelumnya terputus. Aku mengangkat bahu. Yah, dia perempuan yang tahu memilih kata yang tepat dan halus untuk menjaga perasaan lawan bicaranya, walaupun kelakuannya terkadang terlalu lincah dan absurd, seperti ulat bulu, yang selalu uget-uget.
Aku menyuap potongan siomay terakhir dari piring Fira, lalu mengembalikan piring yang berisi 3 potong pare dengan sisa-sisa kuah kacang tersebut ke hadapannya.
Dia menatapku dan piring itu bergantian. Lalu menghela napas panjang, "Hmmm, dah lah!" ujarnya sambil merogoh-rogoh tasnya.
Fira, kenalanku sejak kuliah semester 1. Diawal perkuliahan, dia selalu menempel denganku. Katanya karena dia perantau, dan aku pemuda setempat (tapi aku wanita). Dia bilang dia butuh sokongan orang lokal untuknya bisa memahami adat istiadat setempat.
"Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung," katanya Ketika itu. Tapi harus kuperjelas, dia bukan berpijak, tapi melata, seperti halnya siluman ulat bulu seharusnya. Kenapa dia begitu takut tidak cocok adat istiadat? Jelas-jelas dia masih di negara yang sama, bahkan di pulau yang sama. Pikirannya terlalu kuno untuk generasinya. Yah, karena yang dia butuhkan adalah kelokalanku, dia sering ikut ke rumah, berkenalan dengan ibu, adik, dan tetanggaku.
Kurasa otak Fira dan otak Ibu satu merk, sehingga kinerjanya mirip-mirip. Atau bisa kukatakan sama? Dan mereka akrab, bertukar pikiran, bertukar pendapat. Aku merasa Fira lebih cocok menjadi anak ibu daripada aku.
"... Ibu senang sekali, ada Fira yang bisa bantu ibu jagain Magi di kampus. Pas ibu tahu Fira nggak sekampus dengan Ares, ibu khawatir sekali!" ujar ibu ke Fira. Mereka berbincang di dapur, dan aku tidak sengaja mendekat, kala itu aku mengambil charger dari samping TV, dekat dengan dapur. Kalimat itu terdengar tepat Ketika aku selangkah keluar dari pintu kamar.
"Nggak jagain juga, Bu. Malah aku sering ngerepotin Magi, hehe," sahur Fira. Untung dia tahu diri.
"Ah, bisa aja. Ibu juga minta tolong ya nak, hal-hal kayak tadi dikasih tahu ibu juga. Soalnya Magi suka nggak mau ngaku," kata ibu. Apa itu 'hal-hal kayak tadi'?
"Iya bu, sebisanya aku ngabarin ibu," jawab Fira. Sambil berlalu aku melihat Fira sedang manut-manut menanggapi ibu.
Aku terus berjalan, dan mulai mencari charger HP dimeja TV. Sepertinya Fira dan ibu memang sudah ngobrol sebelum ini.
"Jangan sungkan-sungkan ya. Langsung chat atau telepon ibu juga gak pa-pa," ujar ibu. Chargernya ketemu, aku berjalan kembali ke kamar, terlihat ibu sedang memegang bahu Fira sambil tersenyum. Lalu mataku dan ibu bertemu, gerak tubuhnya langsung kikuk.
"Eh, Magi," ujar ibu, sepertinya memberi kode ke Fira bahwa bisnis bawah tangan mereka sudah terpergok dan harus segera diakhiri. Aku melanjutkan langkahku.
Lakukan saja sesuka kalian. Lagi pula aku sudah biasa 'dititipkan'. SMP, SMA, bahkan sekarang kuliah, aku selalu punya 'nanny' ditempatku sekolah. Sudahlah bu, penyesalan tidak ada artinya. Sudah terjadi, dan sudah tidak perlu dijaga lagi. Ikan dikuali sudah hangus, lalu sekarang mau dijaga apinya tetap kecil dan temaram. Untuk apa? Toh ikan yang hangus tidak bisa jadi mentah lagi. Angkat saja, matikan apinya, makan ikan hangus itu. Atau di buang? Yang jelas 'penjagaan' sudah percuma.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...