Geng Gong! Gong! II

10 9 1
                                    

"Serius banget, Gi. Ngeliat apaan dari tadi?" tiba-tiba wajah Fira sudah menyembul dari atas bahu kananku.

Buru-buru aku memperbaiki posisi duduk. "Nggak," jawabku singkat. Ternyata bu Endang dan temannya sudah pergi. Mungkin mau beli kaca Kesehatan tadi. Atau mau mengganti popok anaknya? Pembicaraan mereka berdua sekilas terngiang dipikiranku.

"Ooo, nampaknya perkelahian dalam geng, ya," gumam Fira, lalu memperbaiki posisinya, duduk sejajar denganku di bangku panjang kantin. "Anak SMA jaman sekarang udah ngeri-ngeri pergaulannya. Efek kebanyakan nonton drama itu kayaknya," Fira mendumel sambil menuangkan sambal ke mangkok mi ayamnya.

"Dulu pas kita SMA memang udah gitu 'kan, per-geng-geng-an," aku tidak sependapat dengan Fira. Melihat kejadian tadi, aku merasa de javu. Dulu saat seumuran murid-murid itu, aku juga sering menyaksikan fenomena seperti tadi.

"Masa'? Emang geng kamu anggotanya berapa orang, Gi?" Fira pasang wajah antusias, berhenti mengaduk mi-nya, dan fokus menatapku.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah."

***

"Udah diminum obatnya hari ini?" tanya Ana sambil duduk di sampingku. Kami sedang makan siang di kantin sekolahan. Ketika itu aku masih kelas 3 SMA, selang beberapa minggu setelah kejadian dukun cabul yang sebelumnya sudah kuceritakan. Ana, siswi sekelasku yang belakangan ini sering bergabung duduk sebangku denganku di kelas.

Aku mengangguk singkat, lalu lanjut menyuap nasi goreng yang sedari tadi kunikmati. Selang sehari setelah insiden dukun, ibu langsung membuat janji dengan dokter Icha, dan secara mandiri mengurus segalanya. Sepertinya dia benar-benar sudah tidak sanggup lagi mendengar saran-saran nyeleneh dari saudara-saudara Bapak.

"Kamu... baik-baik 'kan?" tanya Ana kemudian. Pertanyaan yang rancu, tapi aku cukup yakin arah pertanyaannya. Lagi pula, setelah kejadian di dukun, hampir setiap ketemu, Ana bertanya tentang perasaanku, apa aku baik-baik saja, apa aku oke. Aku cukup yakin, ibu sudah 'menitipkan' aku ke Ana, berhubung nanny lamaku, Ares, sudah tidak disekolah ini lagi.

Aku mengangkat sebelah bahuku, "Cukup baik kurasa," kemudian meneguk air putih dari gelasku.

"Kamu ada aku untuk bercerita, ingat 'kan?" ujar Ana lagi. Dia menatap wajahku, tidak geser sedari awal kalimat pembukanya. Ia benar-benar menunjukkan kepeduliannya, dan dia benar-benar mendengarkanku.

Aku mengangguk singkat. "Makan?" aku menunjuk piring makanku yang tinggal sekitar seperempat porsi lagi. tertinggal hanya nasi gorengnya, telur dan kerupuknya sudah kuhabiskan lebih dulu.

Ana terlihat menggeleng, "Habisin aja. Aku rencana mau makan mi instan aja," katanya, lalu beranjak ke arah bibi penjual di kantin ini.

"Brak!!" seseorang menggebrak meja makanku. Ana belum lama beranjak, sudah ada yang menggantikan posisinya disampingku. Aku mendongak untuk melihat orangnya. Suci, dia siswi teman sekelasku juga.

"Ikut aku sekarang!" titahnya dengan wajah marah. Dia terlihat sendiri, padahal biasanya dia satu paket dengan Ningsih.

"Untuk apa?" tanyaku. Tolonglah, ini nasi gorengku masih belum habis.

"Ikut aja!" ia setengah membentak, urat-urat wajahnya menegang, tangannya bertelekan di meja. Kemudian dia langsung balik badan. Dia berharap aku langsung mengikutinya, begitu?

Suci sudah melangkah menjauh sekitar dua langkah. Tapi kemudian dia menoleh ke belakang lagi, melihat tajam ke arahku yang masih melanjutkan makan.

"Kenapa dia?" Ana kembali membawa piring makanannya, mengambil kembali posisinya yang tadi sempat diambil Suci.

Aku mempercepat kunyahanku dan segera menelannya, "Disuruh ngikutin dia," kumasukkan suapan terakhirku, sambil melirik ke arah Suci yang sudah melanjutkan langkahnya.

"Kemana?" Ana mulai mengaduk-aduk makanannya yang masih beruap panas.

"Entahlah," jawabku sambil terus mengunyah. Kuteguk air putihku untuk bisa cepat mendorong suapan terakhir masuk ke kerongkonganku.

"Aku temenin?" tanya Ana. Entah dia benar-benar mau menemaniku, atau hanya basa-basi.

"Nggak usah. Makan aja," jawabku lalu berdiri, dan berjalan menyusuri jejak Suci yang tertinggal.

Kuikuti Suci, yang mengarah ke belakang perpustakaan. Aku tidak ada pemikiran apa-apa. Yah, paling aku diomeli masalah lelaki lagi, atau masalah persaingan prestasi? Kulihat Ningsih sudah menunggu dilokasi yang Suci tuju. Ada Dira juga, kalau tidak salah dia tadinya teman sebangku Ana.

Mereka memposisikan diri menghadapku. Dira, lalu Ningsih ditengah, dan kemudian ditutup Suci yang baru bergabung dibarisan. Suasana sebenarnya tidak sepi, radius 5 meter masih ada siswa-siswa yang lalu-lalang. Lagi pula ini jam istirahat, jadi semua siswa menggunakan waktu ini untuk bermain dan 'bersosialisasi', kata mereka untuk penyebutan kegiatan berkelompok yang saling berbicara dan berbalas kata satu sama lain.

"Kamu tahu 'kan, salahmu apa?" Suci memberikan mukadimah pembuka.

Aku terdiam, mencoba membaca situasi. Isu yang mana yang mau mereka bahas? Aku tahu hal Dira yang tidak punya teman sebangku lagi karena Ana pindah ke bangkuku. Aku juga tahu hal Suci yang beberapa waktu lalu kutolak permintaan pertemanannya, dan alasanku waktu itu karena dia terlalu bodoh. Atau ini soal Ningsih, yang naksir Ares, tapi karena Ares tetanggaku sekaligus pengasuh utusan ibu, akhirnya dia tidak bisa punya quality time bersama Ares selama ini. Tapi kalau kasus Ares, bukannya sudah berlalu? Orangnya sudah tamat.

"Kami sampai manggil kamu kesini lho, Gi! Berarti ini masalah serius!" Dira menambahkan dengan suara bergetar. Sepertinya dia akan menangis. Oh, tolong jangan, ekspresi semacam itu sangat menular. Ujung tanganku mulai dingin, dan kakiku mulai gemetar. Kita mau diposisi berdiri seperti ini saja? Tidak pakai meja bundar?

"Kami sudah cukup sabar ya, Magi. Tapi kamu memang tidak pernah merasa bersalah!" imbuh Dira lagi, dengan mata berkaca-kaca.

"Jahat banget kamu, Gi!" ujar Suci. "Bisa-bisanya kamu ngomong kalo Ningsih dengki sama ranking kamu," Suci mulai menunjuk-nunjuk padaku. Ooo, kasus yang itu.

"Kami udah baik sama kamu selama ini ya, Gi. Apa lagi Ningsih, disaat semua nggak mau berteman dengan kamu karena sifatmu yang sombong, Ningsih tetap berusaha ngajak kamu bicara," tambah Suci, sepertinya dia sudah menjelma menjadi juru bicara Ningsih.

"Pamrih! Aku tahu semua hanya supaya citra kamu baikdisekolahan ini!"

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang