Pengobatan Alternatif, Orang Pintar yang Tolol II

20 18 3
                                    

"Barusan ibu ditelpon dari praktek beliau, katanya beliau meninggal siang ini," jelas ibu.

Dokter Budi meninggal? "Kenapa bisa?"

"Serangan jantung katanya. Padahal pagi tadi dia masih mengisi Poli Jiwa di Rumah Sakit,"

Dokter Budi bisa meninggal setiba-tiba ini? Tapi aku 'kan sudah buat janji dengannya. Harusnya dia menepati janji itu.

"Gi," ibu menyentuh bahuku.

Aku menggangguk, "Aku Lelah, istirahat dulu," aku melangkah ke arah kamarku.

"Kamu gak pa-pa, nak?" sayup suara ibu terdengar dibelakangku

Aku menggangguk, "Aku baik-baik saja, gak pa-pa," kuulang penggalan kalimat ibu, sambil terus melangkah masuk kamar. Kututup kembali pintu kamar dengan pelan, kubuka tasku dan meletakkannya di atas meja belajar. Aku naik ke atas ranjangku, kutarik bantal gulingku mendekat, dan mendekapnya erat-erat.

Ya, aku baik-baik saja. Dokter Budi, hanya dokter. Lagipula dia memang sudah tua, mungkin memang sudah saatnya dia mati. Semua juga akan begitu, akan mati. Seperti ayah, semua juga akan mati. Aku juga, mungkin suatu hari nanti.

***

Langkahku sesekali terperosok, menginjak pasir putih halus yang gembur. Seperti pasir pantai, tapi tidak terlihat garis pantainya. Hanya hamparan pasir putih sejauh mata memandang. Aku rasa aku sudah berjalan selama setengah jam nonstop. Atau sejam? Entahlah, aku tidak memakai jam, tidak membawa HP. Matahari tepat diatas kepala, dan tidak terlihat pergeserannya sejauh mana. Cuaca cerah, namun tidak terik. Langit penuh dengan awan, sesekali cahaya matahari meredup karena tertutup awan yang lewat.

"Seperti itu sudah sangat tepat, nak," terdengar suara pria berujar. Aku melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Seperti suara dokter Budi.

"Terus berjalan ya, Magi. Temukan tujuanmu. Teruskan kebiasaan yang menenangkanmu," ujarnya lagi. kembali aku melihat sekitar, sampai menunduk, mendongak. Tidak ada apa-apa.

"Dok?" aku memanggil, sambil memastikan bahwa itu benar dokter Budi.

Pasir didepanku terbang naik, berputar seperti tornado kecil, menggelung, memadat, dan mulai membentuk sosok manusia. Tiupan anginnya berhenti, menyisakan sosok dokter Budi yang menatapku sambil tersenyum. Matanya sendu, seperti menggambarkan kesedihan dan ketidakrelaan, tapi dia tersenyum manis, seperti ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja.

"Lalu saya bagaimana, dok?" aku tidak tahu harus bagaimana. Karena selama ini, dokter Budi benar-benar sudah membantuku melewati badai pemikiran yang bagiku sangat kencang menerpaku.

Dia tidak bicara. Dia masih tersenyum, lalu mengangguk pelan sambil mengedipkan kedua mata perlahan. Perlahan, tubuhnya luruh, kembali menjadi pasir. Aku terpaku ditempatku berdiri, tidak berniat mendekat ataupun menangkapnya. Ya, beliau berhak pergi dan beristirahat dengan tenang. Aku Cuma perlu terus berjalan, 'kan?

***

Aku terbangun oleh alarm yang ku set di ponselku. Sudah jam 5 pagi, dan aku masih memakai pakaian sekolah kemarin. Aku lapar sekali.

Saat aku keluar kamar, ibu sudah didapur, memasak sesuatu yang tercium seperti tumisan bawang. "Masak apa, Bu," tanyaku sambil mendekat.

Ibu menoleh, terlihat wajahnya antara cemas dan lega melihatku, "Magi, sudah bangun? Makan yuk," ujarnya sambil terus mengoseng isi teflonnya. "Itu udah masak nasi sama ikan goreng. Mau oseng kangkung? Ini lagi ibu buatin," katanya.

Aku duduk di bangku meja makan. Aku memperhatikan punggung ibu yang bergerak naik-turun seirama dengan Gerakan tangannya yang mengaduk-aduk isi Teflon. Cuma begitu tanggapannya? Dia tidak marah? Tidak cerewet seperti biasa?

"Kemaren kamu langsung tidur. Di sekolah ada makan sesuatu, Gi?" ibu mulai memindahkan sayurnya ke mangkuk kaca.

"Ada makan gorengan, tahu tempe, dikantin," jawabku sambil terus memperhatikan gerak-gerik ibu. Dia benar-benar tenang, tidak seperti biasa. Atau dia berusaha tenang?

Disajikannya mangkuk sayur yang masih mengepul itu didekatku. Mataku masih mengikutinya, lalu ia pun menatapku balik. "Dan abis itu, kamu belum makan apapun. Minum obat dulu ya, baru makan. Biar nggak sakit perutnya," lalu ibu berjalan ke arah kulkas, dan mengambil sebotol obat, obat maag sirup.

Aku hanya mengikuti perintah ibu. Aku tidak sedang dalam kondisi yang ingin ribut. Perutku benar-benar kosong, memang seperti yang ibu bilang, ulu hatiku sudah mulai terasa perih.

Kemudian hening. Sudah kuminum obatnya. Ibu mengambilkan piringku, mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu duduk disampingku, dan menyesap teh hangatnya dalam diam. Ingin kumulai pembicaraan. Tapi mulai dari mana? Aku kalut, tapi aku tetap perlu makan dan menyuap nasi ke mulutku dengan tenang dari luar, namun dikepalaku penuh. Segala hal yang kupikirkan, ingin kutanyakan, kudiskusikan dengan ibu, semua berputar-putar sambil tetap kukunyah makananku.

"Terus aku gimana, bu?" ujarku akhirnya. Aku tidak menoleh, hanya bicara, sambil terus menyendok makananku.

Terdengar ibu menghela napas berat. "Mau gimana? Yah, kita cari terapis lain," ujar ibu. Kulirik tangannya, sedang memegang gagang cangkir tehnya dengan tangan kanan, dan jari telunjuk tangan kirinya menelusuri bibir cangkir itu. Ibu juga kalut, aku tahu. Kami sama-sama tahu, dokter Budi bukan hanya dokter yang mengobatiku. Beliau orangtuaku, aku bahkan lebih terbuka padanya daripada pada ibu.

Aku menggerak-gerakkan sendok di piring makanku untuk mengumpulkan nasi dan lauk disatu sisi, menyendoknya, sendokan terakhir, mengunyahnya. Piringku kosong, aku sudah selesai makan, perutku terasa penuh, tapi pikiranku lebih penuh lagi.

Aku mengingat obatku hanya untuk 2 hari lagi, termasuk kemarin. Berarti hari ini obatku habis. Dan aku harus konsultasi kembali.

Kuangkat piring kosongku ke wastafel, dan beranjak ke kamar, mau mandi dan bersiap sekolah.

"Gi," ibu memanggil. Langkahku terhenti.

"Kalo mau libur hari ini, gak pa-pa, nanti ibu minta izin sama gurumu," sambungnya.

Aku menggeleng pelan, "Gak pa-pa, aku sekolah saja," jawabku, lalu melanjutkan langkah menuju kamar. Aku harus bersosialisasi, berkegiatan, agar kalutku teralihkan.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang