Pelangi Dominan Merah Muda II

22 15 45
                                    

"Maaf ya, Gi," ujar Fira, kalimat yang jarang keluar dari mulutnya.

Aku menggeleng, "Ajakan basa-basi doang. Sudah kutolak juga sebelum kamu mengajakku," sahutku, akhirnya aku cuma perlu membahas satu kejadian itu saja 'kan? Tidak perlu dibahas hingga seluk-beluk lainnya.

***

Jam sembilan malam, aku baru meletakkan tubuhku di atas kasurku. Aku sudah tiba di rumah sejak sejam lalu, suasana rumah sudah kembali seperti biasa, hanya tersisa dekorasi balon-balon dan potongan-potongan kertas glitter di sudut-sudut ruangan tengah.

Laporan yang kukerjakan bersama kelompok, tidak selesai. Sudah kuduga, tapi memang aku keluar demi menghindari perkumpulan orang-orang yang sok memahamiku di rumah ini. Ah, besok sabtu, aku tidak ada jam di sekolah. Besok saja kulanjutkan mengerjakannya.

Kututup mataku, Lelah sekali rasanya. Sebenarnya kegiatan memasaknya tidak terlalu berat, aku tidak banyak kerjaan, karena sudah kuakui pada mereka, aku tidak bisa diandalkan bila bekerja di dapur. Rasa lelah ini, berasal dari pikiranku. Seharian bersosialisasi, beramah-tamah menguras bateraiku dengan cepat. Menarik bibir tersenyum, memasang mimik wajah ramah, berusaha tenang dengan segala pendapat dan omongan orang, semua menguras energiku habis-habisan.

Kubuka mataku sejenak, terlihat langit-langit kamarku yang sepi, polos. Kembali kututup mata, dan mulai tergambar wajah seorang gadis, tersenyum ramah padaku. Hera, dengan wajah manisnya. Ia mengenakan baju blouse berwarna hijau army, warna andalan yang paling sering ia kenakan. Warna kulit alpukat itu memang cocok dengan kepribadiannya yang elegan dan sedikit maskulin.

"Sini, Gi," Hera menepuk bangku kosong disampingnya duduk. Kulihat sekeliling, ini ruang kuliah.

Aku mendekat dengan ragu. Kuperhatikan kembali bangku-bangku disekitar Hera, apakah ada buku, tas, pulpen, atau alat tulis lainnya yang menandakan bangku-bangku itu ada yang akan duduk. Kosong, tidak kutemukan alat tulis apapun. Barisan bangku dibelakang kami sudah hampir penuh, ada juga yang masih ada 'tanda'-nya

"Nggak ada yang duduk disini, aku tandai khusus buat kamu," katanya sambil mengangkat tasnya, sepertinya tas itu tadinya ada di bangku yang ditandai untukku.

Perlahan aku duduk di bangku itu, sambil menoleh ke segala penjuru Hera. 'Tanda' tidak ada, orangnya juga tidak ada. Kemana gengnya? Ini sungguhan?

"Aku udah nggak sama mereka lagi. Setelah kupikirkan lagi, kayaknya memang lebih nyaman sendiri aja," katanya sambil tersenyum kecut.

Banyak hal yang ingin kutanyakan. Apa tidak mengapa kalau tanpa teman-temannya? Apa teman-temannya tidak protes? Dan apa aku bisa mulai berteman dengan Hera? Semua berputar-putar dalam pikiranku, tapi tidak sepatah pun keluar dari mulutku.

Ah, sudahlah. Seperti katanya tadi, yang jelas Hera sudah lebih memilih sendiri, tanpa gengnya lagi.

***

Dengan berat, kubuka mataku, dan langsung menangkap gambaran langit-langit kamar. Mataku mengerjap beberapa kali, menelusuri sekeliling dengan pandangan, aku masih di kamar, dan suasana masih gelap.

Kugosok kedua mataku sesaat, dan kesadaranku mulai terkumpul. Aku baru saja bermimpi, semua yang baru saja terjadi hanya dalam alam bawah sadarku saja.

Aku menarik tubuhku miring, menghadap meja belajar yang berada tak jauh dariku. Pada jam yang tergeletak di atasnya menunjukkan jam 05.20. Sudah mau terang, sebaiknya aku bangun saja. Banyak hal yang perlu kukerjakan hari ini.

Hera... kenapa harus datang hingga ke dalam mimpiku?

***

"Kartu perpus-nya, Dik," minta petugas dipintu masuk Perpustakaan Universitas tempatku berkuliah.

Kusodorkan kartu yang sudah kupersiapkan ditangan kanan. Tas sudah kutitip ditempat penitipan tas, dan semua keperluanku sudah ku tenteng ditangan. Keesokan harinya, hari sabtu, kebetulan aku tidak ada jam mengajar. Presensi disekolah sudah kuisi, dan sudah kumintai izin untuk pergi ke kampus, menyelesaikan tugas kataku ke bu Endang. Setelah di ACC olehnya, maka disinilah aku.

Sebenarnya bisa saja kukerjakan tugas-tugas ini disekolah. Tapi untuk laporan akhir, banyak bahan yang kuperlukan, dan literaturnya tidak ada yang kupunya.

Kususuri rak-rak buku disekitarku, sambil meneliti judulnya dari sisi samping buku yang terlihat. Ku ambil beberapa buku, sekitar tiga atau empat yang sudah ditangan, dan kurasa aku perlu meletakkannya dimeja dulu.

"Hei, Magi," seseorang menyapaku setengah berbisik, tepat disisi kiri kepalaku.

Refleks aku menoleh ke arah suara, dan mendapati waja Hera hanya berjarak sejengkal saja dari wajahku. "Eh, Hera," aku mengangsur mundur. Jantungku berdegup kencang, mungkin karena terkejut, Hera muncul tiba-tiba.

"Nugas juga?" tanyanya dengan wajah ramahnya yang khas.

Aku mengangguk. Kuperhatikan tangannya, sudah memegang beberapa buku. "Kamu ngerjain tugas apa?' aku menanya balik.

"Laporan PPL, banyak laporan yang belum aku selesaikan. Hehehe," Hera terkekeh manis. Aku ikut tersenyum karenanya.

"Kamu? Pasti udah banyak yang selesai 'kan? Soalnya kamu 'kan rajin," Hera memujiku, rasanya wajahku memanas.

"Ya ampun, Gi. Wajahmu memerah," seru Hera masih setengah berbisik.

Kugosok wajahku, berharap warnanya segera memudar. Hera tersenyum melihat tingkahku. Mungkin ini yang namanya 'salah tingkah'.

Yang kuingat, setelah hari itu, di perpustakaan itu, setelah kami mengerjakan tugas berdua saja, tanpa semua anggota gengnya, aku merasa Hera harusnya hanya boleh bersama denganku saja. Aku merasa yakin, dia bahagia kalau hanya bersamaku.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang