Hari kamis yang dimaksud pun tiba. Sudah pukul 15.30, dan kami sudah hendak berangkat ke tempat si mbah. Aku berdiri tepat dibelakang ibuku. Kami menunggu di teras rumah, tante Rina berjanji akan menjemput kami, dan menemani kami kembali ke dukun itu. Syukurlah, dia bertanggungjawab hingga akhir atas saran pengobatan yang dia berikan.
Dari kejauhan kulihat Ares, berjalan kesusahan, menenteng dua ekor ayam. Satu ditangan kiri, dan satunya ditangan kanan. Ayam-ayam itu berkokok riuh, dengan sedikit memberontak. Ares merenjeng kedua kaki ayam itu, posisi ayam-ayam itu terbalik. Terlihat tajinya yang panjang menjadi sangkutan genggaman Ares dikakinya.
"Ares! Sini!" terlihat ibu menghampirinya, dan kemudian berniat mengambil seekor ayam ditangan kiri Ares.
"Gak pa-pa, tante. Ares bisa kok!" dijauhkannya ayam itu dari tangan ibu. wajahnya yang kesulitan tetap berusaha tersenyum, menampakkan gigi-gigi depannya yang kuning gading.
"Tapi nanti gimana dibawanya ya?" ibu terlihat bingung, alisnya bertaut, dan tangannya menggaruk-garuk pelipis kanannya.
"Udah Ares ikat sih kakinya, tante. Taroh di bagasi aja harusnya bisa," Ares menunjukkan ikatan dikaki ayam dengan mengunjukkannya didepan kami. Ugh, bau ayam! Kukerutkan pangkal hidungku sambil menjauh.
Tak lama sebuah mobil biru tua berhenti dan menepi didepan rumah. Kaca depannya turun perlahan, memperlihatkan wanita yang melambai dengan kilauan logam kuning bergemerincing di kedua tangannya.
"Haaii..." sapa tante Rina dengan gaya manjanya. Dibalas senyuman oleh ibu dan Ares, ibu melambai balik.
Tante Rina turun dari mobil, menghampiri kami. Matanya tertuju ke kedua ayam di tangan Ares, bibirnya melengkung ke bawah, dengan gestur jijik yang sangat jelas. "Duh, gimana ya?" ia menggumam sendiri, lalu menoleh ke arah mobil, "Paahh, sini deh!" ia melambai ke arah suaminya yang tadi tidak bergeming dari balik setir mobil.
Om Deri, suami tante Rina, turun dan ikut bergabung. "Nggak ada keranjang ayamnya?" tanya om Deri ke Ares. Tangannya memperagakan gerakan menjinjing, seperti menjinjing keranjang.
Sambil cengengesan Ares menggeleng, "Mana ada, Om. Juragan ayamnya bukan saya," Ares terlihat santai menanggapi kalimat om Deri yang terdengar songong. Kesabaran Ares memang patut diacungi jempol.
"Goni deh, kalo ada. Kalo langsung dimasukin bagasi begini aja, kotorannya kemana-mana nanti," ujar om Deri lagi, masih dengan intensi sombong dan parlentenya yang menyebalkan.
"Ah, dirumah ada kayaknya," ibu bergegas ke dalam rumah.
Kuperhatikan om Deri, dari atas ke bawah. Dari ubun-ubun, ke ujung jempol kaki. Kemeja kotak-kotak, celana kain lengkap dengan ikat pinggang. Sepatu kulit (atau sintetik?) berwarna coklat tua yang disemir sampai mengkilap. Dia mau apa dengan gaya seperti itu? Aku ganti memperhatikan istrinya, yang memakai dress bunga-bunga, dasar hijau dengan warna bunga beragam, emas-emasnya yang menyilaukan, sepatu hak tinggi berwarna merah menyala, tak kurang bagian rambut disasak dan pakai bando besar berwarna merah mengkilat pula. Orang-orang seperti ini, gayanya saja yang selangit, tapi pemikirannya kolot! Tidak jauh-jauh dari dukun.
"Ini bisa ya?" ibu kembali dengan goni beras warna putih ditangan. Dibentangnya goni itu, biar lebarnya bisa terlihat bersama.
Aku menoleh ke arah om Deri, dia sudah melangkah ke arah bagian belakang mobilnya. Sepertinya dia ACC dengan goni itu.
***
Cairan merah kental menggenang didalam mangkok tanah liat dihadapan si dukun. Itu darah ayam, mengalir dari sayatan dileher yang baru saja dibuatnya. Setelah 10 menit perjalanan yang riuh oleh kokokan dua ekor ayam, lengkap dengan bau bulu dan kotorannya yang merebak didalam mobil, sampai juga ajal ayam-ayam itu ditangan dukun yang sepertinya tidak punya baju lain selain baju hitam.
Disini kami terdiam dan seperti orang bodoh, memperhatikan ritual perdukunan. Aku, ibu, sepasang manusia hedon, dan Ares. Saka sudah dititipkan pada ibunya Ares, supaya tidak menganggu ritual yang amat sangat sakral ini. Ares perlu dibawa, katanya untuk jaga-jaga kalau ikatan ayamnya lepas.
Tetesan darah dari leher ayam mulai melambat, lalu berhenti sepenuhnya. Dukun itu melemparkan ayam yang tak bernyawa itu ke sudut ruangan. Ini ruangan yang sama dengan tempat pertemuan kami sebelum ini. Dukun itu menyebarkan pandangannya ke penonton bodohnya ini, berhenti lama padaku, lalu beralih ke tante Rina.
"Selain yang sakit, tolong keluar dulu," kata si dukun dengan wajah sangat tenang.
Tante Rina mengangguk, dan mengangguk ke kami semua untuk memberi tanda untuk mengikuti kata si dukun. Aku hendak berdiri juga, tapi ditahan oleh tangan tante Rina.
"Kamu kan yang sakit, jadi disini saja, ya," katanya. Tangan tante Rina sesaat bertengger dibahuku, berpindah ke puncak kepalaku sejenak, lalu ia berdiri dan beranjak bersama orang-orang yang lainnya.
Perasaanku tidak enak. Aku menatap ibu, memberi permohonan secara tak langsung, agar aku tidak perlu diobati dengan ritual aneh ini. Kulihat ibu juga melihat ke arahku, melangkah mundur dengan ragu. Namun tetap keluar karena ditarik oleh tante Rina.
Setelah mereka semua keluar, aku dan si mbah berhadap-hadapan. Aku akui, aku sangat risih, tidak nyaman. Apa ini hal yang benar?
"Mari, ikut saya," si dukun berdiri sambil membawa mangkok berisi darah ayam. Ia mengarah ke sebuah ruangan dengan berpintukan sehelai tirai hijau.
Jantungku berdegup kencang, tangan dan lututku gemetar, apa aku takut? Kukumpulkan semua kekuatanku untuk berdiri dan mengikutinya. Langkahku terhenti didepan tirai hijau itu. Apa benar aku harus masuk?
"Masuklah," terdengar suara si mbah dari dalam bilik.
Kusingkap kain tersebut, dan masuk. Dibilik itu ada satu buah ranjang usang dengan kasur kapuk berseprei corak bunga matahari. Disamping ranjang ada sebuah kursi plastik, dan si dukun duduk menungguku disitu. Mangkuk berisi darah ayam sudah diletakkannya diatas meja kayu tepat disudut ruangan, dekat bangku tempatnya dudu.
"Silakan," katanya sambil menengadahkan tangan, menunjuk ke ranjang dengan tangannya.
Aku... berbaring? Benarkah? Didepan dukun itu? "Saya minta ditemani ibu saya," ujarku berusaha tegas. Kutahan gemeretak gigi-geligiku yang seirama dengan gemetar tanganku. Kukepalkan tanganku dengan kuat.
"Tidak perlu. Ritualnya memang harus hanya kamu dan penyembuhnya saja," katanya menolak permintaanku. "Mari, berbaring," katanya sambil memberi isyarat tangan ke permukaan kasur.
Aku melangkah mendekat, mematung di tepi ranjang. Kulihat si dukun berdiri, mengambil kembali mangkuknya. Ia berjalan mendekat.
Refleks aku melangkah menjauh. "Apa yang mbah lakukan?" aku takut. Apa ini semua perlu?
"Ya sudah, tidak perlu berbaring. Duduk saja, biar saya membacakan doa-doanya," ujarnya sambil menunjuk ke tepi ranjang.
Aku ragu, tapi kuikuti maunya. Aku duduk, ditepi ranjang, bagian kaki ranjang. Segera setelah aku duduk, si mbah menutup matanya, berkomat-kamit didepan mangkuk darah itu. Kuperhatikan setiap geraknya. Selagi masih hanya membaca mantra, harusnya semua aman.
Setelah beberapa saat membaca mantra, dijilatnya ibujari tangan kanannya, ia membuka mata, dan mencelupkannya ke darah di mangkuk, lalu tangan itu mengarah ke wajahku. Badanku meringkuk, ingin kuhindari, tapi sepertinya aku perlu tahu apa yang akan dilakukannya. Dan yang kemudian dukun itu memoles darah ke keningku secara horizontal. Ah, seperti simba di Lion King.
Ia lanjut memantrai darah itu, sambil melangkah bolak-balik didepanku. Kembali dicelupkannya jari tangan kanannya, dan memolesnya ke bagian leherku. Aku terperanjat karena gerakan si dukun benar-benar tiba-tiba. Berikutnya ia membaca mantra lagi, kali ini ia tidak mencelupkan jari, tapi ia menatapku dengan tajam.
"Kita butuh penyatuan jiwa untuk penyembuhanmu," katanya. Seketika dilemparkannya mangkuk ditangannya entah kemana, dan langsung mendorongku dan menindihku. Aku hendak teriak, tapi tangannya sudah menutup mulutku. Kakiku memberontak, kutendang apa yang bisa kutendang. Tanganku menerjang, mencakar wajahnya, menarik apa yang bisa kutarik.
![](https://img.wattpad.com/cover/379090371-288-k905935.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...