Kegiatan PPL sudah berjalan seminggu. Aku rasa cukup lancar. Pengenalan perangkat sekolah, tata ruang sekolah, praktik mengajar, dan penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Seperti biasa, kendalaku hanya cara berbasa-basi, atau dalihnya 'bersosialisasi' dengan guru-guru fungsional disini.
"Bu, kasih saran dong, bu," seorang murid menghampiriku yang sedang menyicil membuat laporan PPL di perpustakaan.
Aku menghentikan kegiatanku sejenak, lalu menoleh ke arahnya. Seorang siswi, dengan jilbab yang tebal dan panjang, istilahnya 'syar-i'.
"Saya udah bikin puisi, buat acara pentas seni. Kira-kira kalo gini bisa nggak, bu?" tanyanya sambil menyodorkan sebuah buku tulis yang terbuka. Kusambut buku itu, kulipatkan bagian yang tidak bertulisan ke arah belakang buku, hingga yang terlihat hanya halaman yang bertulisan, agar lebih mudah kupegang satu tangan.
Sesuai prodiku, aku mengajar Bahasa Indonesia di kelas siswi ini. Jujur, aku benar-benar tidak ingat namanya. Aku harus memanggilnya dengan apa nanti? Apa aku panggil dia dengan 'heh', 'eh', 'si anu', atau 'woy'? Ah, tidak bisa begitu, aku sekarang gurunya.
"Bagian ini lho, bu. Kayak janggal ya 'kan?" siswi itu membuyarkan pikiranku. Sebenarnya aku belum benar-benar menelaah isi puisinya, tapi kuikuti telunjuknya yang menunjuk ke salah satu baris.
"Kamu buat puisi berima, ya? Dari awal sudah sesuai, Cuma baris ini saja yang tidak ikut rima," jawabku, secara kasar memang itulah yang membuat baris itu berbeda.
"Iya, bu. Tapi saya nggak nemu kata yang bisa menyamakan rimanya. Gimana ya, bu?" tanyanya lagi.
Kembali kubaca dengan runut, dari baris pertama. Ini puisi tentang kegigihan siswa sekolahan ini dalam menuntut ilmu, dengan keterangan-keterangan sampingan bahwa yang berjasa besar dalam keberhasilan siswa itu nantinya adalah guru-guru, yang digambarkan bijaksana, telaten dalam mengajar, teladan yang baik.
"Klise," gumamku. Buru-buru kukulum bibirku, seolah menguncinya rapat. Gawat, aku keceplosan. Kulirik siswi itu, ternyata dia tersenyum.
"Jangan gitu, bu. Kalo saya jujur, nanti puisi saya nggak jadi tampil," katanya dengan nada manja. Dia dengar, tapi ternyata ia sepemikiran denganku.
"Ah, maaf. Maksud saya..." apa? Maksud saya apa? Ya memang sudah benar penafsiran siswi itu, tapi aku masih berusaha memperbaiki omonganku.
Dia menggeleng cepat, "Nggak pa-pa kok, bu. Saya juga ngerasa, puisinya kayaknya terlalu berlebihan. Tapi memang itu fungsinya berpuisi 'kan, bu? Kita bisa memuji merayu-rayu sampai terbang, atau menghujat tajam sampai terinjak-injak," jelasnya. Anak ini, mengingat dan mengulang penjelasanku soal puisi di kelasnya.
Aku tersenyum, berusaha bijaksana di depan murid cerdas ini. "Ya, itu tidak masalah. Sesuai dengan konteks acaranya juga, 'kan. Masalah baris yang tidak berima ini, kalau tidak ada kata penggantinya, tidak usah dipaksakan ada. Kamu hapus saja, sepertinya juga kalimatnya tidak terlalu berpengaruh ke kalimat berikutnya," aku mencoba memberi solusi.
Ia kembali melihat ke arah buku di tanganku. Lalu mengangguk-angguk, "Berarti, dihilangkan saja ya, bu?" sahutnya.
Kukembalikan bukunya, yang langsung ia terima dan tutup rapi. "Kamu sendiri yang membacakan pas acara?" tanyaku, berusaha basa-basi.
"Iya, bu. Doakan ya, mudah-mudahan lancar," pintanya sambil menyatukan tangannya, bukunya masih terselip dan terkibas-kibas seirama dengan gerakan tangannya. Fayra, nama anak ini Fayra, terbaca disampul depan bukunya.
Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk singkat. Ia kemudian berlalu. Seingatku, Fayra ini, yang katanya juara 1 olimpiade tingkat SMA se-Kotamadya 'kan? Mata pelajarannya, Astronomi, ya? Sudah lama aku tidak terpapar ilmu-ilmu perbintangan, kecuali bintang zodiak, aku sering mendengarkan, karena orang-orang dimedia sosial suka mencocokkan tanggal lahir seseorang dengan wataknya. Takhayul!
Seingatku tiga hari lalu, aku melihat siswi ini, di belakang kantin sekolah, bersama dengan empat siswi lain, sepertinya membicarakan hal serius. Saat itu aku sedang duduk, makan siang, bersama guru pendampingku, mendiskusikan tentang rencana pembelajaranku dikelas nanti.
"Eh, bu Endang bareng Magi," lalu seseorang guru lainnya menghampiri kami, dan langsung duduk bergabung. Aku hanya menanggapinya dengan senyum sekilas. Setelah itu si guru mengajak bu Endang, guru pendampingku, ngobrol. Mereka membicarakan masalah jam belajar, uang tunjangan, anak, rumah, suami, entahlah. Dan aku pun makan gorenganku sambil melihat ke jendela kantin yang ada di punggungku.
Saat itu Fayra, berhadapan dengan empat siswi itu. Seperti pertarungan satu lawan empat. Dari tempatku, tidak ada terdengar apa-apa. Hanya bisa memperhatikan mereka lewat ekspresi wajah.
Gong! Gong! Siswi berpakaian ketat menyalak ke arah Fayra. Ah, dia tidak benar-benar menyalak seperti anjing. Aku benar-benar tidak mendengar apapun, jadi kira-kira begitulah penggambaran amarah si siswi dari wajahnya.
Gong! Gong gong gong gong gong! Gong! Kali ini giliran siswi lain yang berjilbab syar'i yang menyalak ke Fayra. Siswi itu bahkan mengenakan manset tangan. Benar-benar soleha, apa dia barusan berceramah? Apa harusnya sound-nya kuganti kajian Ustadzah OSD saja?
Fayra terlihat menunduk, ia mendongak sesaat, melihat ke arah siswi berjilbab bella square yang sedari tadi hanya diam, yang menatap Fayra dan siswi-siswi lain bergantian. Mata Fayra berkaca-kaca.
"Ya 'kan, Magi?" tiba-tiba pahaku ditepuk. Segera aku membuang muka dari jendela.
"Ah, iya, bu," sahutku ke guru lawan bicara bu Endang. Entah apa yang dibicarakannya, sekelebat tadi terdengarnya mereka membicarakan kaca yang bisa membuat air yang diminum menjadi lebih sehat. Kalau begitu, harusnya 'kan pemain kuda lumping yang paling sehat dan paling panjang umur dimuka bumi ini, soalnya mereka makan kacanya langsung.
Kembali kulirik jendela, keluar. Sepertinya lebih seru menyaksikan siswi-siswi berseteru. Apa mereka nanti akan main tangan? Aku masih menunggu.
Sekarang yang sedang berbicara siswi yang satu lagi, yang menggunakan rok plisket. Umumnya siswi disini memakai rok abu-abu berjenis span panjang, jarang yang menggunakan jenis plisket. Siswi rok plisket itu tidak terlihat seperti menyalak.
Auuuuww... Auuuu... dia seperti anjing melolong ditengah malam, katanya kalau melolong begitu, anjing itu sedang bertemu setan. Setannya siapa? Dalam kondisi ini, harusnya setannya Fayra.
Gong! Gong! Si jilbab syar'i menambahkan kalimat si plisket dengan lantang. Kali ini, mereka berdua bersahut-sahutan menyerang Fayra. Jadi itu bukan model diskusi FGD (focus grup discussion), tapi model diskusi satu arah, Fayra hanya menerima, tidak boleh menjawab atau menanggapi.
Si bella square tidak berbicara dari yang kulihat, dia hanya menyeka wajahnya dengan ujung jilbab. Entah menangis, entah berkeringat, atau mungkin mengelap ilernya yang meleleh-leleh dari mulutnya? Bisa saja, mereka 'kan geng anjing. Ah, maaf, saya sebagai penonton terlalu terbawa suasana.
"Serius banget, Gi. Ngeliat apaan dari tadi?" tiba-tiba wajah Fira sudah menyembul dari atas bahu kananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Misteri / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, menjadikan seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik menjadi hal yang kasat mata, terlihat. Sedangkan psikis tersimpan, hanya dapat dirasakan dengan perasa abstrak yang disebut kalbu...