Pengobatan Alternatif, Orang Pintar yang Tolol IV

11 12 2
                                    


"Anak ini dikuasai siluman harimau," ujar si dukun pada tante Rina. Saat ini kami sedang mengikuti saran tante Rina yang menurutku sangat tidak masuk akal. Sama tidak masuk akalnya dengan omongan 'orang pintar'-nya tante ini.

"Terus gimana mbah?" si tante bertanya. Tergambarlah sudah, seberapa kadar kepintaran tante, ternyata jauh dibawah si dukun. Pantas saja, tante menganggapnya 'pintar'.

"Hmmmmm... sebentar," si mbah menunduk, menutup mata, membaca-baca mantra sambil memutar-mutar tangan di atas kendi berisi air. Pada masa ini, memang internet belum terlalu popular, tapi ada kok. Laptop memang masih terlalu mahal dan belum umum, tapi PC sudah banyak penggunanya. Bahkan disekolah sudah ada lab computer. Maksudku, untuk searching informasi, dia bisa menggunakan computer yang kinerjanya jelas lebih kompleks, daripada hanya dipermukaan air yang tidak ada processornya.

Aku melirik ke arah ibu, dia hanya tertunduk. Ganti kulihat tante Rina, dia antusias menunggu hasil search mbah dukun di permukaan air itu. Kira-kira search engine-nya apa ya? Pasti bukan google.

"Kita perlu tumbal," ujar si mbah kemudian, matanya masih tertutup, lalu terbuka perlahan. Perlu efek petir menyambar? Harusnya kalimat itu dramatis, ya?

"Tumbalnya apa, mbah?" tanya tante tolol lagi.

"Dua ekor ayam kampung jantan, yang kepalanya merah, dan tajinya sudah hampir menyentuh tanah," mata si mbah seakan dipenuhi letupan-letupan api.

Harimau suka ayam bangkotan? Bukannya harimau suka hewan yang lebih besar? Tadi dia bilang aku dikuasai siluman harimau 'kan?

"Baik, mbah," tante Rina mengangguk antusias.

"Bawakan kesini, kamis sore. Kita adakan ritualnya di malam jumat ini," imbuh si dukun, dengan suara diberat-beratkan.

"Baik, mbah," sahut tante, lalu terdiam. Kami semua terdiam, mungkin sekitar 10 detik. Tante Rina menatap ibu, kulihat ibu menatapnya balik, dan mereka saling mengangguk.

"Kalau begitu, kami izin dulu, mbah," tante Rina pamit sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Dia menyenggol ibu dengan sikunya, lalu kemudian terlihat ibu merogoh tas tangannya. Aah, biaya konsul? Kasirnya mana? Billing-nya mana? Totalannya berapa?

Tidak ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu, tapi berikutnya kulihat ibu menyelipkan beberapa lembar uang merah muda dibawah kendi si mbah. Biaya konsulnya seharga psikiater juga ternyata, tapi fasilitas ruangannya kurang memuaskan.

"Terimakasih banyak, mbah. Kami pamit dulu," ujar tante lagi. ini saatnya aku berdiri juga.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang