Perdukunan Modern

19 15 3
                                    


"Magi," terdengar panggilan dari balik pintu kamar. Ibu, jelas suaranya.

Aku baru saja berbaring dikasurku. Kulihat ke arah pintu yang tertutup itu, menimbang-nimbang dijawab atau tidak panggilannya. Pukul 17.00, dan punggung ini baru saja menyentuh bumi.

Dan pintu pun terbuka, tersembul kepala ibu, "Yuk," ajaknya.

"Belanja?" tanyaku.

Ibu menyeringai canggung, "Ketahuan ya?" bohongnya? Tentu saja, itu sudah bagai sinonim. Pergi belanjar berarti ke Dokter Icha. Selalu.

Aku hanya menatapnya, menunggu kelanjutan kalimatnya. Mau tak mau, bisa tak bisa, aku pasti kesana. Hanya tinggal menunggu konfirmasi pasti saja.

"Yuk, ibu sudah buat janji untuk jam 6 ini," pintu terbuka semakin lebar, kali ini menampilkan seluruh badan ibu. Long dress biru, dengan jilbab senada. Kaos kaki sudah terpasang, dia benar-benar sudah siap berangkat.

Kukumpulkan semua kekuatan untuk bangkit dan duduk. menjangkau HP yang tidak berada jauh dari tempatku berbaring, dan berdiri. Kuambil tas dari lantai, memasukkan HP dan mengecek isinya. Sepertinya cukup. Oh iya, topi. Kusebar pandangan sekeliling kamar, dan menemukannya di atas kasur.

"Obatmu mana?" ternyata ibu sudah masuk ke kamarku dan sedang melakukan inspeksi mendadak.

"Sudah habis," jawabku sambil memakai topi. Aku bercermin untuk memastikan posisinya. Ini topi bucket 'kan? Yang tadi Hera tanyakan. Sudut bibirku refleks tertarik ke atas.

"Seneng banget. Emang cantik gitu?" ibu sudah berdiri disampingku sambil ikutan melihat bayanganku dicermin. Aku melirik ke arahnya, terlihat profil sampingnya yang khas wanita paruh baya. Ternyata dia juga menua. Flek hitam dipipinya bertambah, kerut dibawah matanya juga. Tapi menua bukan berarti menjadi dewasa. Tidak pernah.

"Yuk, jam 6 'kan?" aku melangkah duluan meninggalkan kamar.

***

Bahuku dan ibu bersentuhan. Kami duduk bersebelahan dikursi ruang tunggu. Dr. Farisha Rahmah, Sp.KJ, tertulis dipintu yang ada dihadapan kami. Aku berusaha keras agar aku tak bersentuhan dengan bagian tubuh manapun darinya. Risih. Tapi kursi ini terisi penuh, dan tidak ada kursi lainnya untuk aku pindah.

Dokter Icha panggilan akrabnya, dokter yang selalu kutemui sepanjang 3 tahun terakhir. Sebelumnya dengan dokter Budi, mulai dari kelas 2? Atau kelas 1? Aku tidak begitu ingat, tapi yang jelas itu Ketika aku SMP.

Kala itu, aku pulang dengan diantar Ares. Ya, Ares, lelaki yang sebelumnya kusebut 'cabul' ketika ibu membawaku merapikan rambutku. Dia tetanggaku, kakak kelas 1 tahun diatasku.

Saat tiba dirumah, aku disambut oleh perut besar ibu. Dia berlari menghampiriku, mirip ikan mas koki. "Magi!! Kenapa ini?" dipegangnya kedua pergelangan tanganku yang berwarna merah. Aku menatap kearak tangannya yang menyentuhku.

"Ini tante, Magi tadi disekolah ada insiden," Ares menjawab.

"Insiden napa, Res? Ini apa? Darah? Darah siapa?" ibu mencecarnya. Pergelangan tanganku sakit, ibu memperkuat cengkeramannya. Kenapa harus berteriak, aku disini, Ares disini, bicara volume standar saja sudah cukup terdengar.

"Itu tante, tadi Magi main sama anak kucing," ujar Ares. Iya, anak kucing lucu, warna kuning dan putih. Dia... sebesar telapak tangan.

"Terus ini apa? Darah siapa? Magi luka kenapa, Res?" ibu masih bertanya tidak sabaran. Aku baik-baik saja, tenanglah bu.

"Magi gak pa-pa, tante. Dia sehat wal afiat," jawab Ares, diakhiri dengan mulut menganga, sepertinya dia masih mau menyambung kalimatnya, tapi...

"Terus ini darah siapaaaaa??" dipotong ibu.

"Darah... kucingnya, tante. Tadi diremas Magi," jawab Ares. Sungguh itu diluar maksudku. Awalnya anak kucing itu datang, di kakiku. Dia lucu sekali. Dan aku bermain-main dengannya, berlari-lari, lalu entah bagaimana badan kucing itu sudah dibawah sepatuku, terinjak, dan badannya hancur.

"Tidak kuremas," aku menjelaskan, "Terinjak." Dan isi perutnya berserakan keluar.

"Apaan! Tadi aku lihat sendiri itu semua ada ditanganmu!" Ares menudingku. Ya, setelah isi badannya keluar semua, ada yang berbentuk seperti mi, ada juga yang hancur seperti tomat busuk, semua itu kukumpulkan dengan tangan, kumasukkan kembali ke perutnya. Dan aku cukup yakin sudah berhasil mengobatinya. Setelah kusatukan semua bagian tubuhnya yang berserakan itu, dia mengeong kembali, berdiri lagi, dan mengajakku bermain lagi. Tapi aku melarangnya, karena takut nanti terinjak lagi.

"Astaga Magi!! Apa-apaan kamu ini!!" mata ibu melotot, otot rahangnya menegang, sepertinya dia ingin memakanku.

"Kucing itu baik-baik saja," aku menjelaskan.

"Baik-baik saja apanya!! Darah sebanyak ini nggak mungkin kucingnya masih hidup!!" teriak ibu.

"Aku membantunya hidup kembali," jawabku, kupraktekkan caraku memasukkan organ-organ kembali ke perut kucingnya, kuikat dengan karet, dan dia kembali baik-baik saja.

Saat aku selesai menjelaskan sambil mempraktekkannya, aku lihat Ares menggeleng-geleng, lalu mengeluarkan ponselnya dan menekan-nekan tutsnya seperti mencari sesuatu. Dan ibu, menangis. Saat itu kupikir, kenapa ibu menangis? Karena kucingnya mati? Tapi dia tidak jadi mati, dia masih hidup, dan mengeong. Ayolah, bu.

Sesaat terdiam Bersama, Ares menunjukkan layer ponseilnya padaku. Kala itu ponsel masih menggunakan tuts mirip tombol kalkulator, tapi sudah bisa memotret, walau resolusi rendah. Dan dilayarnya, kulihat anak kucing itu, dominan merah menutupi bulu kuning dan putihnya, ia terbaring dengan mata terbuka dan lidah terjulur. Itu apa? Perutnya? Dadanya? Entahlah, kurang jelas, hanya semburat merah dengan remah-remah coklat, berkumpul di antara kaki depan dan kaki belakangnya. Ada ikatan karet gelang.

"Dia mati, Gi. Kamu mengikatnya dengan karet pula," Ares menegaskan. Sesaat kemudian ponsel tersebut diambil ibu.

"Uhuweekk! Huekk!!" dan ibu muntah, dipot bunga yang ada didekatnya.

Kucing itu mati. Keberhasilanku menyelamatkannya hanya ada dalam khayalanku. Dunia khalayanku mulai menguasaiku. Dan aku pun menyadari, mereka pasti melihatku sudah gila.

Keesokan harinya, aku berakhir di depan meja dokter Budi. Dr. Budianto, Sp.KJ (K) tertulis di papan di atas meja itu. Aku tidak begitu jelas apa yang saat itu terjadi. Aku ditanya-tanya, lalu dia menulis, lalu menanyai ibuku, lalu menulis, lalu menanyai Ares yang juga ikut, lalu menulis. Dan saat pulang aku disuruh minum 3 macam obat.

Lalu dalam 3 minggu ke depannya, banyak hal yang terjadi. Aku ke dokter lain lagi, lalu kepalaku diperiksa dengan berbagai metode. Ditempeli stiker-lah, masuk terowongan-lah, masuk lingkaran berputar-putar. Tulang punggungku juga disuntik, dan itu sakit sekali! Setelah semua itu, obatku bertambah lagi, entah berapa waktu itu.

Beberapa bulan setelah itu, aku cukup rajin minum obat. Dan secara bertahap, obatku berkurang. Dan aku hanya tinggal mengunjungi dokter Budi saja. Aku baik-baik saja, ternyata aku tidak gila dan aku sungguh baik-baik saja. Kucing itu, bukan aku yang bunuh. Dokter Budi sudah bilang, aku tidak psikopat. Mereka harusnya tahu, jadi tidak perlu takut.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang