Ares, Lelaki Terwajar

18 15 2
                                    


"Oooooiii..." seseorang berseru panjang dari arah jalan depan rumahku. Aku mencari sumber suara, dan itu Ares.

"Dari mana?" tanyanya. Aku masih di ambang pintu depan, sedangkan ibu dan Saka sudah masuk. Oh ya, tante tolol itu sudah pulang, setelah segala huru-hara yang diberikannya.

"Dukun," jawabku sambil membuka sendalku dan meletakkannya dirak.

Ekspresi Ares kaget, "Kok ke dukun? Bukannya katanya nyari psikiater lain?" Ares tahu saja rencana-rencana pengobatanku. Ternyata walau dia tidak satu sekolah denganku lagi, dia selalu dapat update, sepertinya dari ibu.

"Ganti suasana," jawabku asal. Aku sebenarnya mau masuk, tapi biarlah kutunggu Ares menanggapi.

"Hahahaha, ganti suasana apaan!" Ares tertawa, semacam tawa basa-basi saja, biar tidak terlalu kaku.

Aku hanya mengangkat bahu. "Ajakan si tante," ujarku, jemariku mengorek-ngorek lubang dikosen pintu, tempat menyangkutnya cantolan gagang pintu depan.

"Kalo nggak ada yang kena santet, nggak usah coba-coba ke dukun lah. Kamu 'kan udah jelas nggak disantet," ujar Ares, dengan wajah menyebalkan. Dia memasang senyum mengejek. Iya ya, apa sekalian kusantet saja si Ares itu?

"Jangan salahkan aku kalau besok kamu muntah paku," sahutku sambil masuk ke rumah dan menutup pintu. Sayup kudengar tawa Ares.

Lelaki itu, usil dan cukup berisik, tapi tidak kupungkiri, dia banyak membantuku. 'Nanny' yang ditunjuk ibu untuk mengawasiku di sekolah, ditempat yang tidak mampu ibu awasi. Jauh sebelum itu, dia tetanggaku. Semenjak aku menghadiri keriuhan dunia, Ares sudah menjadi tetanggaku. Dia teman sekaligus lawanku. Rekan main petak-umpet, dan rival main PS. Dia memanjat pohonnya, aku yang menampung dibawahnya. Dia memegang gulungan benangnya, aku yang bentangkan layangannya. Dia yang mengayuh sepeda, aku yang duduk diboncengannya. Memang dalam lingkaran pertemanan anak-anak disekitar sini, bukan hanya aku dan Ares. Ada beberapa anak perempuan dan laki-laki lain, yang aku tidak cukup mengingatnya. Lagipula sudah lama anak-anak lainnya tidak berkontak denganku. Mereka takut, atau mungkin juga ditakut-takuti. Ayah kandungku, yang sudah mati itu, adalah momok bagi lingkungan sekitar. Apa dia perlu kuceritakan?

Ayah, yang kupanggil Bapak, seingatku dia tidak terlalu tinggi. Kira-kira lebih tinggi lima sampai tujuh sentimeter dari ibu. Badannya tidak kurus, tidak juga gempal. Wajahnya... entahlah, mungkin dia tidak terlalu tampan, makanya wajahku begini saja. Yang kuingat tangannya kekar, dengan jari-jari kekar juga, terkesan pendek dan tidak lentik. Aku sangat ingat, bahkan dengan bekas luka dipangkal ibu jari tangan kanannya, bekas seperti tersulut api, lebarnya sekitar dua sentimeter. Aku ingat, sampai detail, karena tangan itu sering berada didekat mataku. Aku pernah ditampar tangan itu, dijambak, kalau didorong itu sudah hal biasa, selalu terjadi. Tidak Cuma aku, ibu juga mengalaminya.

Dari yang orang-orang gosipkan, Bapak orang yang kecanduan alkohol. Untuk hal-hal lain seperti perjudian, narkoba, pemerasan, pencurian, cerita mereka variatif. Aku tidak tahu itu benar, atau dilebih-lebihkan. Tapi untuk menyebutkan Bapak pemabuk, mereka sepakat.

Bapak pekerja kasar di pabrik tekstil, pabrik yang terbesar di daerah sini. Pabrik yang memasok bahan tekstil tingkat nasional. Mereka bilang gaji Bapak cukup besar, tapi pemborosannya lebih besar lagi.

Ketika itu aku kelas 5 SD, dan aku pergi sekolah dengan seragam kusut tidak tersetrika, bisa dibilang aku juga salah kostum. Itu hari sabtu, harusnya aku memakai baju pramuka, oranye dan coklat. Tapi aku memakai putih-merah, yang harusnya dipakai untuk hari senin dan selasa.

"Sakit gigi, nak?" tanya seorang guru wanita padaku. Dia wali kelasku, yang masuk hendak mengajar Bahasa Indonesia.

Ku pegang pipi kiriku, sakit, bengkak, dan hangat. Ah, aku lupa menyebutkannya. Selain baju, aku juga berangkat dengan kejanggalan ini. Pipi kiriku yang bengkak dan kebiruan.

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang