Tertutup

8 4 2
                                    

"Padahal kamu lebih cantik berambut panjang," kata pria berusia setengah abad lebih yang sedang duduk berseberangan meja denganku.

Aku hanya terdiam, memegangi topi yang sedang kukenakan. Dia dosen pembimbing skripsiku yang kedua, bagian penulisan dan metodologi penelitian, pak Hendri. Setelah judulku disetujui oleh bu Afni, sekarang aku harus mendiskusikannya dengan bapak berambut keriting ini.

"Kalau didalam ruangan, topinya dibuka saja," imbuhnya lagi.

Aku hanya mengangguk singkat, tapi tetap mengenakan topiku. Aku tidak mau kejadian sebelum ini terulang lagi. Mengingatnya saja membuatku sangat mual.

"Untuk bab dua saya, apa sudah tepat, pak?" aku tidak mau membahas hal lain, sekarang aku datang karena skripsi, bukan karena yang lain.

"Hm..." pak Hendri menggumam, kulihat tangannya sibuk membalik-balik bundelan kertas yang kuserahkan. Aku hanya menunduk, dengan pet topi membatasi pandanganku, sehingga yang terlihat olehku hanya gerakan tangannya saja. "Kamu benar-benar tidak tahu basa-basi ya, Magi," ujarnya lagi, kulihat tangannya berhenti bergerak. Tangan berbulu itu kemudian terulur mendekati tanganku yang berada diatas meja juga.

Cepat kutarik menjauh tanganku. Pertemuan sebelum ini, dia dengan lancang memegangi kepalaku. Predikat mesum pria ini cukup terkenal dikalangan mahasiswi FKIP. Saat aku mendapatkan dosen pembimbing bernama pak Hendri ini, orang-orang langsung menatapku dengan kasihan. Awalnya aku mengira mereka hanya bergosip dan melebih-lebihkan, tapi ternyata dia benar seperti isu yang beredar.

"Kenapa kaku seperti itu? Kita bisa sedikit santai, jadinya membahas skripsimu menjadi lebih nyaman. Bukan begitu, Magi?" ujarnya lagi. kulihat tangannya kembali ke atas bundelan proposal skripsiku.

Apakah dekanat menerima laporan dari mahasiswanya tentang dosen yang cabul dan tidak bermoral begini? Tapi, bila memang begitu, kenapa si mesum ini masih bebas bekerja dan bahkan rutin menjadi dosen pembimbing?

"Lagi pula, kamu butuh persetujuan dari saya untuk melanjutkan tugasmu ini 'kan?" tambahnya lagi sambil mengangsurkan bundelan kertasku kembali. Dia baru saja mengancamku.

Aku mengambil bundelan itu, lalu mengangguk singkat. "Saya permisi dulu, pak," pamitku seraya bangkit dari dudukku.

"Kamu sudah mau pergi? Tidak jadi konsul dengan saya?" kulihat ia juga berdiri.

"Saya koreksi dengan bu Afni saja dulu, pak. Nanti setelah itu, saya kembali lagi," kataku dengan tetap menunduk. Kulihat setengah badan pak Hendri, terlihat celana bahan berwarna navy dengan ikat pinggang kulit berwarna hitam, ujung bawah kemejanya masuk ke dalam celana. Mataku tertuju digundukan pada resleting celananya, terlihat lebih tinggi dari biasanya. Laki-laki biadab! Aku benar-benar harus pergi sekarang.

"Permisi, pak," aku berbalik, dan secepat mungkin keluar dari ruangan orang mesum ini.

Konsultasi judulku sebagian besar bersama bu Afni. Walaupun dia sedikit plin-plan dan mempersulit, setidaknya tidak tidak cabul. Sebelum pertemuan ini, adalah pertemuan pertamaku dengan pak Hendri. Seperti yang kukatakan sebelumnya, walaupun banyak kabar tidak mengenakkan tentangnya, aku masih berpikiran positif, bahwa si bapak hanya korban gosip dari mahasiswa-mahasiswa yang tidak puas bimbingan skripsi dengannya, yang dipersulit atau diperlamanya. Karena hal tersebut, aku cukup lengah, sehingga kami melakukan sesi konsultasi dengan duduk bersebelahan disofa panjang diruangan yang sama.

"Kalau judul, kamu bisa selesaikan dengan bu Afni. Nanti setelah kamu dapatkan yang sesuai, dan sudah dapat kerangka garis besarnya, baru kamu diskusikan dengan saya," katanya setelah kutanyai pendapatnya.

"Baik pak," sahutku sambil mengemasi kertas-kertasku.

Tak lama, terasa kepalaku dielus, yang kemudian kulihat tangan itu mengulur dari pak Hendri, terlihat olehku wajahnya yang mulai merona, matanya yang liar seperti menggerayangiku.

"Pak," aku hendak menegurnya, tapi yang keluar dari mulutku hanya sepotong kata itu saja. Sekilas berkelebat kejadian dirumah dukun beberapa tahun silam.

Tangannya menyusuri rambut panjangku sampai ke ujung, lalu mendekatkan ujung rambutku itu ke hidungnya. Kudukku merinding, melihat ia menghirup rambutku dengan mata tertutup. "Wanginya enak," katanya sambil beralih pelan menatapku.

Ini gila! Berani sekali dia dikampus!

"Kamu cantik, Magi. Hanya kurang riasan saja," katanya masih menggelung-gelung ujung rambutku dengan jarinya.

"Saya permisi dulu," pamitku, buru-buru beranjak menjauh. Rambutku sedikit tertarik, karena sempat ditahan oleh si dosen cabul. Tapi lebih baik sedikit terjambak, daripada nafsunya yang secara pikiran sudah menelanjangiku. Dosen gila ini benar-benar cabul, tidak tahu malu!

"Konsultasi berikutnya, cobalah pakai lipstick. Saya suka yang merah," ujarnya memberikan saran. Aku tidak peduli! Aku pergi, tanpa menoleh ke belakang lagi.

Setibanya dirumah, langsung kupotong saja rambutku. Aku merasa ada dosa-dosa pria itu menempel dihelai-helai rambutku. Apalagi pada bagian yang dia sentuh, dipuncak kepala, diujung rambut, bagia-bagian itu harus dibuang segera. Dan seperti itulah, kemudian terjadi hal-hal yang sudah kuceritakan sebelumnya. Ibu memergokiku, memarahiku, lalu membawaku ke salon banci, dan seterusnya.

Setelah kejadian itu aku sedikit memahami, ada sisi gelap dari kampusku yang tertutupi. Walaupun sudah terbuka lebar didiskusi internal kampus, tapi sepertinya beberapa orang tetap menganggap itu semua tidak pernah terjadi, demi ketenteraman palsu ini tetap terjaga.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang