"Bisa-bisa besok masuk rumah sakit lagi."
Siapa sangka, gumaman lirih Michika terdengar sampai ke telinga Oisin. Dan setelah mendengarnya, Oisin segera menghentikan mobil di sebuah café resto terdekat dari jalurnya.
Michika yang tadi sudah pasrah dan lemas, mendadak jadi semangat lagi. Apalagi saat tau café resto yang mereka tuju merupakan tempat makan yang menyajikan makanan ala nusantara. Michika memang bukan picky eater, tapi ia paling suka makanan asli Indonesia dibanding makanan-makanan dari negara lain seperti makanan Jepang, Korea atau western. Baginya, tidak ada yang bisa mengalahkan kekayaan rasa rempah makanan Indonesia.
"Lo nggak makan?" setelah siap menyantap makanan yang sudah tersaji di hadapannya, Michika baru sadar kalau di depan Oisin tidak tersaji makanan apa pun. Satu-satunya yang tersaji hanya segelas minuman.
Oisin mendengus. Tadi kan sudah dijawab pada saat perjalanan. Oisin bilang tidak lapar. Makanya ia tidak pesan makanan apa pun.
"Jadi gue makan sendiri nih?"
Kali ini Oisin mendecak, "Makan tinggal makan."
"Bukan gitu, Sin. Cuma nggak enak aja, kita di sini bareng. Tapi yang makan gue doang, lo-nya cuma nontonin orang makan."
"Siapa yang nontonin lo?" Oisin melirik sinis sambil menyedot minumannya.
"Ya udah, biasa aja kali." Tidak mau berdebat panjang dengan cowok itu, Michika pun memutuskan untuk memakan makanan pesanannya. Perutnya sudah keroncongan sekali. Para cacing sudah menuntut minta makan. Namun sebelum memulai makan, lebih dulu Michika mengambil scrunchie dari kantong roknya untuk mengikat rambutnya yang sedari tadi ia biarkan tergerai. Setelah rambutnya terkuncir, ia berdoa sejenak. Barulah detik selanjutnya ia benar-benar memakan makanannya.
Tak ada yang luput dari mata Oisin. Oisin merekam semua ritual yang Michika lakukan sebelum makan. Mengikat rambut untuk menghindari rambut yang jatuh ke makanan, kemudian berdoa kusyuk sebelum makan. Sebagai orang yang beragama, Oisin cukup malu dengan ritual yang Michika lakukan paling akhir tadi. Karena Oisin sendiri jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah berdoa sebelum makan.
Satu hal yang membuat mata Oisin tidak bisa berpaling adalah anting bintang di telinga kanan Michika. Lagi-lagi Oisin melihatnya. Dan kali ini, Oisin melihat Michika memakai anting dari depan. Oisin baru sadar, rupanya Michika hanya memakai anting berbentuk bintang itu di telinga kanannya saja. Di telinga kirinya, ia biarkan polos tanpa anting atau aksesoris apa pun. Entah Michika berpenampilan seperti itu setiap harinya atau tidak, Oisin tidak tau. Karena Oisin tidak pernah memperhatikannya.
Dengan terlihatnya kembali anting Michika, terlebih hanya satu buah, mau tidak mau Oisin jadi kembali terpikir tentang masa lalunya. Di masa lalunya, Jaiko menjatuhkan satu anting berbentuk bintang. Artinya, Jaiko hanya memiliki satu antingnya saja. Karena satu anting yang terjatuh itu Oisin simpan dengan baik hingga sekarang.
Michika menenggak air mineralnya. Seketika ia sadar dan langsung salting saat menyadari tatapan Oisin yang tertuju padanya. "A-apa? Katanya lo nggak ngeliatin gue makan?" tiba-tiba Michika gugup. Soalnya tatapan Oisin begitu intens. Tanpa kedip.
Tanpa mengalihkan matanya, Oisin bertanya, "Kenapa lo cuma pake satu anting?"
Michika makin salting. Oisin ternyata memang se-intens itu memperhatikan dirinya sampai me-notice anting Michika yang hanya terpasang di telinga kanannya. "I-ini... Itu..."
"Hah?"
Michika langsung berdehem. Ia tidak mau Oisin sampai menyadari dirinya yang sedang salting. "Yang satu ilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Teen FictionBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...