(21) Rintikan Hujan, Payung Terbuka

246 7 2
                                    

Raxel berjalan memasuki mobil yang sejak pagi sudah tersedia di depan rumahnya. Dengan sebuah jas yang melekat di tubuhnya, Raxel mulai menjalankan mobilnya menuju suatu tempat. Silau matahari membuat Raxel mau tak mau harus memakai kacamata hitamnya.

Raxel membuka atap mobilnya dan menikmati udara di sekitarnya. Jalan tol yang ia lewati cukup lengang dan mampu membuat Raxel sedikit rileks.

Ya, kapan lagi Raxel akan menghirup udara indonesia jika bukan sekarang?

Mata Raxel sedikit mengeliling menatap mobil-mobil yang lalu lalang. Lalu pandangannya terarah pada sebuah bis yang melaju jauh di depannya. Raxel pun menambah kecepatannya dan mencoba mensejajarkan posisi dengan bis tersebut. Matanya menatap ke arah kaca bis. Merasa kurang jelas, Raxel melepas kacamatanya dan kembali mengamati bis tersebut.

Bis itu sangat Raxel kenal. Bis itu adalah bis yang biasanya sekolahnya dulu pakai untuk berpergian. Dan di kaca belakang bis itu ada lambang sekolahnya dulu. Apa memang sekolahnya sedang mengadakan liburan? Tapi sepertinya tidak mungkin.

Saat ini bukan waktunya pihak sekolah mengadakan tamasya 'kan? Apalagi untuk kelas 12, sepertinya itu sangat tidak memungkinkan.

Merasa spekulasinya sudah dapat ia cerna dan ia terima, Raxel kembali memakai kacamatanya dan melajukan mobilnya dengan cepat.

***

Azrie terus merangkul Sheerin sepanjang perjalanan dengan Luna yang berada di sampingnya. Sesekali Luna melirik ke arah Azrie yang tetap tidak dipedulikan. Dengan perlahan Luna merapatkan tubuhnya dengan Azrie dan tangan mereka berdua pun saling bersentuhan. Dan tidak berselang lama tangan mereka sudah terkait satu sama lain. Tidak tahu siapa yang memulai.

Dan kini posisinya adalah Azrie dengan Sheerin disebelah kanannya yang dirangkul, dan Luna di sebelah kirinya dengan genggaman tangan. Mereka bertiga berjalan dengan tenang. Dan tanpa sepengetahuan Sheerin.

Apa itu tidak terlihat tragis?

Mungkin tidak jika kita melihat dari sudut pandang Luna dan Azrie. Tapi bagaimana dengan sudut pandang Sheerin? Apa tidak begitu menyakitkan?

Mereka bertiga berhenti di salah satu pintu besar gedung tersebut. Menatap pintu itu dengan tatapan kagum dan senang. Namun tiba-tiba rasa kagum itu buyar ketika mereka harus membelah menjadi dua ketika segerombol pengawal mengisyaratkan. Tangan Azrie terlepas dari pundak Sheerin, Azrie dan Sheerin pun saling terpisah di pihak yang berbeda. Dan seketika Sheerin dapat melihat objek yang sedari tadi tidak ia sadari. Kedua tangan yang saling mengait itu. Sangat terlihat erat. Dan apa ini? Hanya Sheerin yang terpisah? Itu berarti rangkulan Azrie tidak seerat genggaman Azrie pada Luna?

Di tengah-tengah fokusnya Sheerin mengamati kedua tangan itu, seseorang ber-jas hitam lewat dengan dua pengawal di depan dan belakang orang itu. Seluruh anak yang berada di sisi jalan seketika berteriak. Terkecuali Sheerin yang malah menampakkan wajah kagetnya menatap seseorang itu.

"Raxel?" Lirih Sheerin hampir tidak terdengar.

Seketika penglihatannya mengabur. Entah mengapa ini terasa menyakitkan. Terasa sakit dan tertusuk. Mengakui kedua kenyataan yang salah satunya sangat ingin ia akui dan satu yang lain tidak, itu mungkin menyakitkan. Tapi apa barusan itu kenyataan? Keduanya nyata? Sheerin harap ini mimpi. Tapi Sheerin juga berharap ini nyata.

Sheerin merasakan sebuah tangan berada di pundaknya. Mengisyaratkan bahwa Sheerin harus menatap seseorang itu. Dan di depannya kini terdapat Azrie yang sedang menatapnya tajam. Luna yang berdiri di belakang Azrie hanya tersenyum tipis dengan lengannya yang berada di punggung Azrie. Sheerin dapat memprediksi apa yang sedang terjadi di depannya.

Mr. ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang