Saat seperti ini adalah saat yang benar-benar bukan Sheerin harapkan. Saat seperti ini tidak pernah sedikit pun terbesit di pikirannya. Saat yang seperti ingin sekali di lewati dan ingin di jadikan mimpi oleh Sheerin.
Sheerin kira, setelah acara pengakuan istri kedua papanya, Kevin dapat bersama-sama berjuang dengannya menahan rasa sakit itu. Tapi ternyata tidak. Hampir seminggu setelah kejadian itu, Kevin malah lebih memilih mengurung dirinya di kamar. Sheerin paham dengan kebiasaan kakaknya itu. Tapi Sheerin tidak paham dengan pikiran kakaknya yang meninggalkan Sheerin dan mamanya yang harus menghadapi dua orang baru di rumah mereka. Sampai pada kemarin, kakaknya itu kembali pergi untuk melanjutkan kuliahnya.
Sheerin melangkah menuruni tangga. Melihat papanya dan Risya--mamanya Luna-- duduk bersebelahan, sedangkan mamanya duduk sendiri di lain sofa. Pemandangan seperti ini yang selalu Sheerin hindari. Melihat mamanya dengan ikhlas memberikan suaminya kepada orang lain.
Dengan cepat Sheerin melangkahkan kakinya menuju pintu depan dan pergi tanpa pamit. Sikap seperti itu sudah Sheerin lakukan seminggu kebelakang. Sikap yang membuat dirinya yang dulu kembali.
Sheerin membuka pagar rumah dan langsung terpaku ditempat. Matanya menatap laki-laki yang sudah bertengger di motornya bersama Luna. Sheerin menatap Azrie dan Luna dengan tatapan datar. Terlalu sulit untuknya mengubah ekspresi. Terlalu sulit hanya untuk pemandangan di depannya.
Dengan tidak peduli Sheerin melangkah menjauhi dua orang tersebut. Tetapi tidak lama dari itu tangan Sheerin di tarik oleh seseorang. Sheerin hanya diam tanpa menoleh ke arah orang yang menariknya.
"Gue bisa jelasin."
Sheerin diam. Masih seperti bagaimana Sheerin memergoki Luna dan Azrie beberapa waktu lalu.
"Kata Luna lo sakit. Jadi gue kira acara kita bakal gagal. Dan gue.."
Beberapa saat Sheerin masih terdiam. Sheerin perlahan mengulum senyumnya yang terlihat hambar itu. Lalu menolehkan kepalanya ke arah Azrie.
"Gue emang lagi sakit. Lo bisa jalan sama Luna. Gue ga papa."
Sheerin melepaskan genggaman Azrie secara perlahan. Ia pun kembali melangkahkan kakinya pergi menjauhi tempat itu. Pergi melangkah dengan wajah juga perasaan datarnya. Terlalu sulit hanya untuk merasakan sakit hati ketika melihat Azrie dan Luna bersama. Rasa sakitnya kini sudah menumpuk di dalam benaknya. Semua berkumpul dan menutupi perasaan bahagia Sheerin.
Sheerin duduk di rerumputan bukit belakang sekolah dengan lemas. Seminggu ini ia selalu duduk di tempat itu. Selain untuk menenangkan dirinya, ia juga menunggu seseorang. Dan sayangnya sampai detik ini pun orang itu belum pernah menemuinya.
Orang yang dengan giat mencoba memperkenalkan diri kembali pada Sheerin. Tetapi Sheerin tidak pernah mengerti itu. Tidak pernah mencoba mengerti lebih tepatnya. Dan kini, ia harus kembali merasakan kehilangan.
Sheerin menatap ramainya kota dengan hati yang sepi. Semua sudah lengkap baginya kini. Perginya Raxel yang entah kemana, menghilangnya kabar kakaknya, papanya mempunyai istri muda, dan kenyataan bahwa ia dan Azrie akan menjauh. Sheerin menghela nafasnya berat. Ia turunkan kepalanya menatap kedua sepatunya dengan kosong. Sangat bodoh hanya untuk menangis. Sangat bodoh hanya untuk mencari rasa kasihan orang lain.
"Sekarang gue bener-bener ngerasa kosong Xel." Sheerin kembali menghela nafasnya berat. "Dan sekarang gue bener-bener butuh lo."
***
"Mulai hari ini lo tidur di kamar sebelah. Dan kamar ini jadi milik gue."
Sheerin menoleh, mendapati Luna yang kini sudah menatap kamarnya senang. Sheerin kembali memfokuskan matanya pada laptop di depannya dan bersikap tak peduli pada Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. A
Teen Fiction[INI BUKAN FANFICTION] Sheerin tidak akan pernah mau mengenal dan berhubungan dengan masalah percintaan. Karena baginya cinta itu membawa kekecewaan. Membawa penderitaan. Dan juga membawa tangisan. Hingga pada akhirnya Sheerin bertemu dengan seseora...