BAB 12

8.3K 505 4
                                    

BAB 12

Sudah beberapa waktu berlalu dan Deryn mulai bisa menikmati kelas barunya. Jadi warga IPA 5 juga tidak terlalu buruk. Meskipun belum mengenal semuanya, Deryn yakin suatu hari nanti mereka bisa kompak sama seperti kelas X4 dulu. Aah.. Pak Bryan juga masih mengajar di kelasnya. Hanya saja dia bukan wali kelas lagi. Wali kelasnya kali ini adalah seorang guru muda bernama Pak Reza. Dia mengajar matematika. Apa kalian masih mengingat guru muda tampan tidak berperasaan yang pernah menyuruh Deryn untuk menggulung kabel tebal yang sangat panjang? Benar. Dia orangnya.
"Aduuh.. Deryn.. sepanjang minggu ini kerjaan lo senyuum terus. Ada apaan siiih? Kasih tau kita dooong.."
Deryn merona, "Ih, Vira, apaan sih lo.."
Vira malah memajukan badannya, "Jadi gimana? Kak Rei udah pernah ngajak lo kencan belum?"
Deryn melotot, "Vira!"
“Haha.. gak usah panik gitu kali. Ekhm.. anyway, gelang baru lo bagus..." Vira menyeringai, "Beli di mana?"
"Ya di toko lah.."
Vira menarik tangan kanan Deryn dan mengamati gelangnya sok serius, "Ah, gak mungkin. Di toko mana ada yang begini. Bandulnya aneh-aneh. Nah, ini apaan lagi, pake ada rambut kribo begini.."
Deryn langsung menarik tangannya dan temannya itu malah tertawa, "Hahay, ciee.. Deryn...ayo ngaku itu dari siapaa?"
Tania duduk di sebelah Deryn dan dia menyeringai, "Elu mah pake nanya lagi. Ya dari Kak Rei laah.." dia menyenggol Deryn, "Iya kaan?"
Deryn hanya mengerling dan tidak menggubris mereka. Kedua temannya itu malah kompak tertawa geli. Mereka sepertinya sangat puas bisa menggodanya. Yeah.. karena ini cukup langka. Deryn menarik napas dan akhirnya dia bangkit berdiri.
"Heh mau kemana lo?"
"Beli pulpen.."
"Huu.. kabuur.."
Deryn tidak mendengarkannya dan berjalan keluar kelas. Dia mulai berjalan menuju koperasi. Dia tidak sengaja melihat Faris dan Pak Bryan yang sedang mengobrol di dekat koperasi dan mereka terlihat serius. Hm.. sepertinya akhir-akhir ini Faris sering mengobrol dengan Pak Bryan. Deryn memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan dia masuk ke koperasi. Dia membeli pulpen yang kemarin tidak sengaja dia hilangkan. Dia tersentak kaget ketika merasakan ada seseorang yang tidak sengaja menubruknya pelan. Deryn melirik sebelahnya dan dia menyeringai. Si Kupret. Tanpa permisi dia langsung menjitaknya. Orang itu mengaduh dan menoleh padanya. Dia langsung melotot berang begitu melihatnya dan dia menginjak kaki Deryn tanpa ampun.
"Lu kalo mau ngajak berantem tau tempat dong!"
Cewek itu meringis, "Hehe.. injekan lo gitu-gitu aja ya, gak ada kemajuan.."
Hadi makin melotot, "Oh, lo mau level dua?!"
Deryn tertawa dan menepuk bahunya, "Seru gak di IPS?"
"Yah gitu-gitu aja.." dia lalu berbisik, "Gak ada yang cakep, euy.."
Deryn menjitaknya lagi. Si Hadi ini memang rekan perangnya sejak dulu. Cowok ini cukup gokil dan dia adalah penganut emansipasi wanita. Dan itu artinya, Hadi tidak menganggap setara kedudukan cewek dan cowok.
"Eh, Ryn, lo tau gak, katanya sekolah kita dapet penghargaan dari pemerintah ya?"
Cewek itu mengernyit, "Penghargaan apa?"
"Gue sih gak tau. Entar deh tungguin aja hari Senin. Kayaknya bakalan ada pengumuman.."
"Lo tau dari mana?"
"Halaman web sekolah. Yang lain juga banyak yang tau. Setau gue sih, penghargaannnya langsung sama walikota. Wuih, keren.."
"Emang sekolah kita menang lomba apaan?"
"Ng.. gak tau juga sih. Tungguin aja hari Senin entar deh.."
Tiba-tiba bel masuk berbunyi, "Waduh, gue ke kelas dulu, Ryb. Oya, bilangin si Vira pulpennya entar aja. Belum abis."
"Haha.. parah lo. Minjem udah tiga bulan!"
"Ih, biarin. Dia mah pulpennya banyak!" dia lalu melambai dan ngeloyor pergi.
Deryn berjalan kembali ke kelasnya. Dia termenung. Penghargaan? Langsung oleh walikota? Sepertinya itu cukup bergengsi. Dia tidak tahu penghargaan apa itu. Dan sepertinya Hadi benar. Sebaiknya dia menunggu sampai hari Senin nanti.

♦♦♦

"Serius, Yah. Aku tidak mau bertemu dengan siapapun klien ayah.."
"Astaga, Fraya. Jangan merengek seperti itu. Klien bukan monster. Aku akan memperkenalkanmu sebagai anakku dan kau hanya perlu menyapanya saja.." dia menatap putrinya itu, “sekarang aku akan mengajarkanmu cara berkomunikasi yang baik dengan klien dan sebaiknya kau memperhatikannya baik-baik..”
Deryn terkulai di sofa hitam itu, "Hh.. baiklah.." dia berjengit saat mendengar ketukan pintu. Sekretaris ayahnya nongol dan memberitahukan bahwa sang klien sudah datang.
"Nah, sekarang berdiri. Ayo, kau harus menyapanya.."
Cewek itu meniup poninya dengan malas lalu berdiri.
"Ingat, Fraya. Jangan bersikap ketus. Baiklah, kemari.."
Deryn menghampiri ayahnya bertepatan dengan pintu yang terbuka. Deryn melihatnya berjabat tangan dengan ayahnya.
"Mr. Carvaletti, sebuah kehormatan bertemu dengan Anda.." Mata hijau milik pemuda itu melirik Deryn. Dia tidak berkedip selama beberapa detik sebelum kemudian perhatiannya kembali ke Tuan Erik.
Deryn menelan ludah agak gugup. Entah kenapa. Tapi aura pemuda ini agak-agak membuatnya terkesima. Deryn terkesiap saat merasakan rangkulan ayahnya di bahunya. Dia tersenyum pada pemuda itu, "Kenalkan, ini putriku, Fraya Carvaletti.."
Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Dan mau tidak mau Deryn menjabatnya.
"Martin Hedge.." ucapnya mantap
"Fraya.." ucapnya nyaris mencicit. Mata pria itu menembus matanya seolah mencari sesuatu. Deryn melepaskan tangannya dengan cepat.
Mereka duduk di sofa. Dan ayahnya mulai membahas bisnis mereka. Deryn hanya menyimak mereka seperti yang diperintahkan. Oh, ini tentang hotel. ternyata perusahaan furnitur yang dikelola Martin akan mengisi hotel ayahnya yang akan diresmikan. Beberapa kali Martin berusaha mengajaknya mengobrol dan itu cukup membuat Deryn terkejut. Martin rupanya ramah dan dia juga tampan. Tapi sepertinya Rei memang lebih tampan. Deryn berhasil merona sendiri begitu pikiran itu melintas. Astaga.. kenapa dia malah memikirkan cowok itu di saat seharusnya dia fokus pada bahasan bisnis serius seperti ini. Setelah empat puluh lima menit, bahasan mereka selesai dan berhasil mencapai kesepakatan. Martin mulai berdiri dan dia pamit. Dia mengatakan bahwa masih ada urusan lain yang harus dia kerjakan.
"Semoga kerjasama kita berhasil, Tuan Carvaletti.."
Pria setengah baya itu tertawa elegan, "Ku harap juga begitu. Oh ya, bagaimana ayahmu, Martin? Sudah membaik?"
Martin tersenyum sedih, "Belum ada kemajuan. Kami masih terus berusaha.."
"Aku turut prihatin. Semoga cepat membaik.." Tuan Erik menepuk bahunya.
Martin mengucapkan terima kasih. Matanya beralih ke Deryn. Cewek itu agak tersentak. Martin kembali menjabat tangannya. "Senang bertemu Anda, Nona Fraya.."
Deryn hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebenernya dia jadi merinding saat mendengar suara Martin yang entah kenapa kedengaran serak di telinganya.
Martin berjalan menuju pintu. "Semoga kita bertemu lagi, Nona Fraya.." gumamnya. Lalu dia keluar dari ruangan itu.

Chemistry #2 The Little Swan (Deryn's Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang