BAB 18

8K 467 6
                                    

BAB 18

"Polisi kesulitan menemukan siapa pelakunya karena sama sekali tidak ada saksi dalam kasus ini. Baiklah, demikian laporan kami untuk saat ini. Kami akan terus mengabarkan perkembangan terbaru dari kasus ini. Kembali pada Dian di studio.."
Aji, Faris, Tania, dan Vira nyaris tidak berkedip menyakssikan acara berita di televisi plasma yang menempel di dinding kantin itu. Berita yang barusan tayang adalah berita pembunuhan yang terjadi tadi malam.
Aji begidik, "Edan. Orang-orang jaman sekarang mah udah pada sarap.."
"Waduh.." keluh Tania, "Padahal kan kita kadang suka lewat jalan situ ya kalo pulang sekolah biar cepet. Iya kan, Ryn?"
Deryn tersentak, "Eh, iya.." dia merasakan genggaman tangan Rei di bawah meja. Deryn meliriknya penuh terima kasih. Rei tersenyum. Matanya seolah mengatakan, 'it's okay, i'm here..'
"Sekarang jalan itu pasti ditutup.." rutuknya.
Faris merangkulnya, "Gak apa-apa lah, Yang, pulang jauh juga. Cari selamat aja kita mah.."
Waktu istirahat berjalan dengan cepat dan mereka mulai kembali ke kelas masing-masing. Di persimpangan koridor, Rei menatap pacarnya khawatir. Deryn masih agak-agak terguncang. Dia tahu itu. Tapi Deryn berusaha tersenyum. Dia mengecup pipi Rei sambil berbisik, "I'll be fine.."
Rei akhirnya hanya bisa mendesah, "Okay.." dia menggenggam tangan Deryn lagi, "I'm sorry.. Kalo kita gak berhenti dulu, mungkin-"
"Hey.." ucap Deryn lembut, "Bukan salah kamu.." dia tersenyum, "Udah masuk kelas aja sana.."
Rei melepas tangannya dengan berat hati, "Bye.."
"Bye.." Deryn menatap punggung lebar itu. Dia tersenyum dan melambai saat Rei kembali menoleh padanya. Cowok itu ikut tersenyum dan mengucapkan 'i love you' tanpa suara. Pipi Deryn merona. Rei terkekeh dan berjalan lagi sampai hilang dari pandangan. Deryn balik badan menuju kelasnya.
Jujur saja, selama pelajaran berlangsung, dia tidak bersemangat sama sekali. Ocehan guru nyaris tidak ada yang menyangkut di otaknya. Bayangan si pria yang terkapar berdarah-darah masih berputar di kepalanya. Dia sudah mencoba mengenyahkannya. Tapi tidak bisa. Deryn ingin sekali menyalahkan takdir. Kenapa dirinya dan Rei harus berada di sana saat itu? Kenapa harus mereka yang menyaksikan pembunuhan itu? Deryn sudah pernah menyaksikan pembunuhan sebelumnya. Yah.. pamannya dan adiknya. Mereka dibunuh. Dia terguncang hebat saat itu. Hey, percayalah. Menyaksikan orang meregang nyawa tidak seenteng menonton adegan film. Kenyataan ribuan kali lebih menyeramkan.
Berita bilang hampir tidak ada saksi atas kasus itu. Mereka salah. Rei dan Derynlah saksinya. Tapi tak ada satupun yang mengetahui. Karena begitu mobil SUV itu menghilang, Rei langsung tancap gas mengantar Deryn pulang. Untunglah Rei cukup pintar untuk tidak terlihat terlalu panik. Untuk pertama kalinya Rei mengemudi dalam keadaan panik. Apalagi ditambah Deryn yang terus-terusan menangis sepanjang perjalanan. Itu membuatnya tidak karuan.
Rei terpaksa memarkir mobilnya agak jauh dari rumah Deryn dan hampir satu jam dia harus memeluk Deryn dan menenangkannya di dalam mobil. Entah kenapa. Tapi Deryn sangat ketakutan. Seolah kenangan terburuknya terbuka lagi. Deryn sempat ketiduran di pelukan Rei. Tidak lama. Karena setelah itu dia menangis lagi. Tapi kali ini dia terus-terusan menggumamkan nama Lily. Rei tertegun tentu saja. Tapi dia tahu ini bukan saatnya untuk bertanya. Kenapa Lily? Meskipun penasaran setengah mati, Rei berhasil menahan dirinya tetap diam. Dan dia juga harus menenangkan Deryn lagi karena ceweknya itu mulai gemetaran setelah menyebut-nyebut LIly.
Rei baru menyaksikan Deryn seperti ini. Dia begitu rapuh dan tidak berdaya. Dia memeluk Rei seperti anak kecil yang mencari perlindungan. Apakah ini yang dimaksud Adam? Inikah Deryn yang sebenarnya? Terkadang Rei suka merenung sendiri. Betapa sedikit pengetahuannya tentang kehidupan Deryn. Gadis itu sangat hati-hati. Perkataan maupun perbuatannya. Tapi Rei juga tidak mau menjadi pacar yang mengekang dan cerewet. Dia mencintai gadis itu apa adanya. Deryn membalas cintanya saja, itu sudah lebih dari cukup.
Bel pulang menyentakkan Deryn dari lamunannya. Dia bahkan tidak  sadar kalau guru sudah tidak ada. Anak-anak mulai ribut. Deryn mengemas barang-barangnya. Dia menoleh ketika Vira menepuk bahunya dari belakang.
"Woy.. lo lemes banget hari ini.."
Deryn nyengir setengah hati, "Yah.. gue agak gak enak badan.."
"Lo mau latihan gak?"
"Emm.. nggak deh kayaknya.." dia meringis, "Sori.."
Vira terkekeh, "Ya udah. Lo pulang aja deh, dari pada entar ketimpuk bola nyasar. Kan yang berabe gue juga.."
Deryn tertawa dan menjitaknya.
"Adoww.. Haha... kalo gitu gue mau ganti baju dulu. Daah.."
Vira keluar kelas. Deryn sudah menyandang tasnya dan hendak keluar kelas juga.
"Tan, mau kemana?"
Tania langsung menoleh padanya dan nyengir, "Gue mau ke rumah Kak Faris. Tiga hari lagi adiknya ulang tahun. Gue mau bantu-bantu nyiapin buat acaranya.."
"Mmh." Deryn mengerling sambil tertawa dan menjambak kuncir Tania, "Ya udah, hati-hati ya.."
"Ih, elu mah kebiasaan!" sungutnya sambil merapikan rambutnya.
Deryn menjulurkan lidahnya dan mulai menelusuri koridor. Sesampainya di seberang lapangan basket, dia melihat Rei melambai padanya. Deryn menghampirinya. Rei masih memakai seragam.
"Kamu gak latihan?"
Cowok itu menggeleng, "Kamu juga gak boleh. Kita pulang aja. aku anterin kamu.." Rei celingukan, "Bentar, aku minta izin coach dulu.." Rei berjalan menuju coach yang baru memasuki lapangan basket.
Deryn menghela napas. Dia tak sengaja melirik lantai dua dan matanya bertemu mata Reza. Pak Guru itu menatapnya. Wajahnya muram. Deryn sudah mengerti. Ada yang harus mereka bicarakan. Deryn mengangguk samar padanya dan Reza menghilang ke lab komputer.
Deryn mendesah berat, "Hebat.."
"Yah, kita boleh pulang!" ucap Rei antusias, "Ayo.."
Deryn tertawa pelan dan memeluk sebelah lengannya, "Kita ke butik aku ya?"
"Aku lapar.." keluh Rei.
"Makannya di sana aja.." Deryn menatapnya, "Okay?"
"Mmm.. apa para pegawai mama kamu itu gak bakalan ngeledekin kita lagi?"
Deryn terkikik, "Nggaak. Mereka baik kok. Mereka udah kayak kakak aku.."
Rei mendesah, "Baiklah, Yang Mulia.."

Chemistry #2 The Little Swan (Deryn's Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang