Sebagai manusia yang masih punya perasaan tentu saja rasa sedih itu ada saat perasaan tak terbalas. Mungkin rasa ini terlalu menakutkan baginya hingga membuat dia tidak mau lagi mengetahui tentangku. Caranya menghindar tentu saja membuatku makin tahu diri. Aku bukannya orang yang terlalu gampang putus asa hanya saja aku tak ingin terkesan memaksakan rasa ini. Kalau memang inginnya aku menjauh maka dengan sangat terpaksa akan ku turuti kehendaknya. Kalau kesakitan ini harus kutanggung demi kebahagiaannya aku rasa tak apa. Bukannya aku mau membuat dia tersentuh dan pada akhirnya akan merasa menyesal namun aku hanya ingin melihatnya tertawa riang menikmati indahnya dunia. Aku bisa saja memperjuangkannya mati-matian tapi apa gunanya bila dia justru merasa makin terjajah. Biarlah kisah ini harus berakhir sebelum aku bisa menikmati secara utuh setidaknya aku masih di beri kesemptaan meski sekejap menikmati waktu bersamanya.
Selama ini aku masih berharap hubunganku dengan Andini akan tetap baik-baik saja meskipun dia tak harus membalas perasaanku. Aku masih sanggup mengukir senyum kepadanya meski dalam hati terasa amat perih melihat kemesraannya dengan Bagas. Saat berpapasan dengannya aku berusaha sebisa mungkin untuk menyapanya meski lidah terasa keluh. Namun apa daya sepertinya dia terlalu jengah melihat tingkahku. Tadinya aku beranggapan mungkin dia menghindariku untuk sementara waktu karena masih terkejut dengan perasaanku yang tak pantas untuknya. Tapi sepertinya dugaanku sangatlah meleset menilai sikapnya secara tidak langsung seakan memohon agar aku menjauhinya atau bahkan tak harus mengenalnya lagi. Baiklah akan kuturuti pintanya aku rasa itu lebih baik buat kami terutama untuk dirinya.
Dalam kekalutan ini entah mengapa bayangan Ardiah dengan senyumannya yang menenangkan justru muncul dalam benakku. Memang akhir-akhir ini hubungan kami agak renggang, aku yang terlalu dibutakan cintanya Andini dan dia yang terlalu di sibukkan dengan berbagai urusannya membuat kami jarang bersama lagi. Mungkin ini teguran dari Tuhan karena telah melupakan orang yang selalu ada di sampingku saat suka maupun duka. Bisa saja Tuhan ingin memberi kesempatan agar aku juga tak kehilangan dirinya cukup aku melepaskan Andini.
Rasa rindu tiba-tiba menelusuk dalam jiwaku rasanya tak terbendung lagi. Teriknya matahari tak lagi kuhiraukan kuikuti naluriku yang seakan memberi arah kalau aku harus ke rumah Ardiah. Ku pacu motorku secepat mungkin tak sabar rasanya ingin merasakan pelukannya yang bisa menyalurkan rasa nyaman, memandang wajahnya yang meneduhkan. Mungkin aku terdengar egois, ingin menumpahkan segala emosi jiwa yang kurasa akibat Andini kepada dirinya namun saat ini aku betul-betul membutuhkannya.
Saat sampai di depan rumahnya, aku yang biasanya akan berteriak memanggil namanya kali ini sama sekali tak mengeluarkan suara. Aku tak ingin mendapat penolakan lagi darinya seperti biasanya yang selalu menghindar bila kuajak untuk pergi bareng. Dengan mengendap-endap seperti pencuri aku langsung menuju kamarnya. Baru saja aku ingin membuka kenop pintunya namun semuanya terhenti saat aku mendengar percakapan yang kuyakini suara itu milik dia dan Val.
"Tapi Dih kenapa kamu malah menghindari Nata..?" aku memutuskan untuk tidak segera membuka pintu kamar Diah. Mungkin dengan mendengar percakapan mereka akan memberiku jawaban yang memuaskan
"Aku sadar aku tak pantas untuk Nata lagipula aku tahu Nata telah jatuh cinta dengan orang lain" mendengar ucapan Diah jujur aku tak berani membayangkan apa yang kupikirkan sekarang
"Tapi Di harusnya kamu berjuang..tunjukin kalau kamu cinta dengannya.." rasanya jantungku seakan berhenti berpacu rasa bersalah tiba-tiba menyerangku.
"Sudahlah Val....anggap saja aku hanyalah seorang figuran yang jatuh cinta dengan pemeran utmanya. Dan sebagai figuran aku tak ingin mengganggu hubungan mereka. Meskipun aku harus merasakan sakit, perih dan sedih tapi biarlah aku memendam rasa ini. Dekat dengannya saja sudah membuatku bahagia aku tak ingin persahabatan kita hancur gara-gara egoku...."
"Kamu dengar betapa mulianya perempuan yang berani mencintaimu dengan tulus.....!!!" Suara hati memperdengarkan suaranya seakan menghakimiku betapa kejamnya diriku kepadanya
Aku tak lagi bisa fokus mendengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya, aku masih terdiam merenungi betapa teganya diriku. Aku yang telalu sibuk mengasihani diriku, menganggap hanya aku yang paling sakit dalam drama kehidupan ini namun ternyata ada yang merasakan lebih dari yang kurasakan
Rasanya aku manusia yang sangatlah tak tahu diri, tanpa tahu harus berkata apa lagi aku langsumg masuk ke kamar Diah. Tanpa menghiraukan wajah heran mereka aku langsung memeluk Diah seerat mungkin menyenbunyikan rasa malu yang mencoreng wajahku.
"Aku kangen sama kamu..." kata yang tak sepantasnya aku utarakan kepadanya. Aku masih saja merutuki diriku yang terlalu bodoh tidak peka dengan perasaannya selama ini. Aku hanya memikirkan perasaanku saat Andini bermesraan dengan Bagas tanpa mempedulikan betapa sesak dan nyeri perasaan yang di tanggung dirinya saat melihatku yang terlalu dekat dengan Andini
"Maafin aku ya De'..." Aku tahu kata itu tidak akan mampu menutupi kefatalan yang kulakukan terhadapanya. Aku yang terlalu sombong mengumbar janji untuk melindunginya dan tak akan membiarkan orang lain untuk menyakitinya nyatanya aku sendiri yang menorehkan luka sedikit demi sedikit padanya tanpa ampun bahkan dengan leluasa menyiram cuka kepedihan di hatinya
"Huss...seharusnya aku yang minta maaf akhir-akhir ini aku tidak punya waktu untuk main bareng lagi.." ingin rasanya aku memohon padanya, aku tak pantas mendapat permintaan maaf dari malaikat yang tak bersayap ini. Aku hanyalah manusia hina yang tak sepantasnya mendapatkan cinta yang tulus darinya
Saat Val memutuskan untuk pulang aku lebih memilih untuk tinggal tidur dengan alasan rasa lelah. Sejujurnya aku memang merasa lelah tapi bukan lelah fisik melainkan lelah hati. Ketika aku terbangun kulihat dirinya yang sedang berdiri di balkon dengan wajah yang menengadah ke atas betapa pintarnya dia menyembunyikan perih dalam senyumnya. Tak ingin mengganggunya, aku hanya duduk diam melihatnya dari belakang. Pilu yang kurasakan pastilah tak seberapa bila dibanding dengan pilu yang dia rasakan. Aku beranjak dari tempatku saat melihat dirnya sedang menggosok-gosokkan badannya yang kena terpaan angin malam dengan pelan kutelusuri pinggangnya menautkan kedua tanganku hingga bagian belakangnya bersandar di dadaku. Kuletakkan daguku di ujung kepalanya menikmati heningnya malam. Tak terasa air mataku dengan eloknya keluar membasahi wajahku seakan dapat merasakan kesedihan perempuan yang ada dalam dekapanku.
"Maaf..." aku tak sanggup mengungkapkan kata lain untuk mewaklili perasaan yang kualami saat ini. Aku kira tak ada lagi yang mampu mengalahkan kesakitan yang kurasakan saat Andini tak membalas rasaku. Nyatanya aku merasakan nyeri yang sangat berlipat ganda bahkan lebih dari yang pernah kurasakan saat ibuku meninggalkanku selamanya melihat perempuan ini dengan beraninya mencintaiku namun tak kuhiraukan. Rasanya aku sangat lemah di depannya tidak memiliki kekuatan sepertinya untuk menanggung dukanya.
Dia sama sekali tidak membalas ucapanku melainkan menggenggam erat tanganku yang masih bertengger di perutnya. Aku makin mempererat pelukanku tak tega bila dingin menikmati tubuhnya. Tanpa sepatah kata pun yang terlontar kami menikmati keheningan yang tercipta, hamparan bintang yang tertera pada pekatnya langit. Mungkin Tuhan memang memiliki rencana lain
"Bila Tuhan yang berperan sebagai sutradara dalam drama ini memilih kami sebagai pemerannya, maka mulai dari sekarang orang yang menganggap dirinya sebgai figuran akan kujadikan sebagai pemeran utama meski itu harus di luar skenario sang sutradara" Nata
THE END
TAK KUSANGKA AKU BISA SAMPAI PART 20
MAAF BILA ADA YANG KECEWA DENGAN ENDINGNYA
SEE U NEXT TIME N THANK U SO MUCH....:)
"Tak selamanya apa yang kalian anggap salah itu salah bisa jadi itu sebenarnya yang benar hanya saja kamu belum membenarkan kebenarannya.." Bingung.....???? bailkah tidak perlu dipikir...:) Lope u all...:*