26

3.3K 199 17
                                    

Andini

Perlakuan Nata kemarin memang pantas aku dapatkan bila mengingat sikapku selama ini terhadapnya. Untuk menyesal aku pikir sudah tidak ada gunanya lagi mungkin dia telah lama menyerah dengan rasanya padaku. Bisa jadi dia sudah mencapai titik lewat jenuh untuk memperjuangkan rasa itu padaku. Mungkin dia terlalu letih untuk memikul beban rasa itu hingga dia memutuskan untuk meninggalkan rasa itu. Dan aku sadar itu bukanlah sepenuhnya salah dia aku ikut andil dalam kerumitan ini. Aku yang memintanya untuk berhenti berjuang aku yang memohon padanya untuk menyerah saja, aku begitu tega memutuskan asanya, aku yang memadamkan pijar harapan itu secara perlahan dan aku sendiri yang memintanya untuk melupakan perasaan itu padaku. Namun untuk kali ini biarlah aku yang mengambil perannya, saat ini harapan satu-satunya hanya ada pada diriku sendiri.

Saat aku menelusuri lorong kampus yang tidak ramai lagi tanpa sengaja aku melihat Nata berjalan tidak jauh di depanku. Aku segera memutuskan untuk menyusulnya, aku ingin menunjukkan kesungguhanku padanya kalau saat ini aku akan berani menerima dia.

"Ta...!!" teriakku sekencang mungkin membuat dia membalikkan badannya. Saat dia melihat bahwa aku yang meneriakinya dia kembali memutar badannya dan makin mempercepat jalannya. Aku tahu dia berusaha menghindariku tapi aku tidak mau kalah suara sepatuku makin keras menghentak lantai kampus tanpa peduli tanggapan orang lain aku mempercepat lariku menuju ke arahnya.

"Nata tunggu..!!"aku kembali meneriakinya berharap dia menoleh padaku. Namun kenyataannya dia malah makin menjauh bahkan memasang headseat di telinganya menunjukkan ketidak peduliannya padaku

"Nata berhenti nggak!!!" bentakku menahan amarahku. Rupanya kali ini teriakanku berhasil dia menghentikan langkahnya. Dengan muka datar di mendekatiku terlihat dia mengatup rahangnya dengan keras. Tanpa basa-basi dia langsung menggandeng tanganku menyeretku ke tempat yang lebih sepi. Selama perjalanan tak ada yang membuka suara hanya derap langkah kami yang memecah keheningan, dalam hatiku muncul begitu banyak pertanyaan ada rasa takut terbesik melihat dirinya kembali dingin. Saat sampai di lorong kampus yang hanya terdapat satu dua mahasiswa yang lalu alang dia segera melepaskan genggamannya kemudian menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa menelan ludah lidahku terasa keluh untuk mengatakan semua apa yang ada dalam pikiranku. Nyaliku tiba-tiba menciut tak berani membalas tatapannya. Jari-jariku sibuk memilin ujung kemejaku berusaha menutupi kegugupanku. Akhirnya suasana canggung ini agak mencair saat dia mulai mebuka suara

"Ada apa lagi ka'..??" tuturnya pelan dengan tatapannya yang mulai melembut

"Ta aku minta maaf" aku kembali menunduk

"Ka' tanpa minta maaf pun aku sudah maafin kamu" aku hanya tertegun mendengar ucapannya

"Ta aku mau kita seperti dulu!" pintaku

"Kalau itu mau kakak kita masih bisa kok berteman lagi jalan bareng atau kumpul bareng" katanya dengan memamerkan senyum yang menurutku sangat tulus

"Ta bukan itu maksudku aku mau kamu kembali......" belum sempat aku menyelesaikan ucapakanu dia langsung memotongnya

"Husss.....please ka' jangan bahas itu lagi..." jari telunjuknya masih berada di bibirku

"Tapi..." aku melepaskan jari telunjuknya dari bibirku hendak melanjutkan ucapanku

"Ka' aku akan menyebut diriku munafik bila aku mengatakan kalau perasaan itu telah sirna...tapi." aku berusaha melihat kedua matanya berharap bisa mendapat jawaban dari tatapannya

"Tapi kenapa Ta.." tanyaku dengan nada ku tekankan membutuhkan penjelasan darinya.

"Maafkan aku kak" dia langsung merengkuhku dalam pelukannya sementara aku hanya terdiam tanpa membalas pelukannya. Rasanya dadaku begitu sesak tanpa terasa air mataku mulai berdreai yang pasti membasahi bajunya tanpa membutuhkan penjelasan lebih lanjut aku mengerti apa makna dari ucapan maafnya.

******************************

Ardiah

Mungkin caraku mencintainya belum bisa membuatnya jatuh cinta padaku. Sebagai orang yang mencintainya aku hanya ingin melihatnya bahagia meskipun itu berarti besar kemungkinan aku akan mengalami kesakitan. Bahkan aku telah merasa kehilangan padahal aku seharusnya sadar dari dulu dia memang tak pernah menjadi milikku. Aku pun seharusnya tidak berhak untuk kecewa merasa terhianati mengingat kami tidak punya jalinan apa-apa.

Rasanya sunguh menyakitkan saat harus menyaksikan dengan ke dua mata sendiri orang yang dicintai sedang bermesraan dengan orang lain. Dan lebih memilukan saat mengetahui dia melakukannya dengan orang yang telah membuatnya jatuh cinta. Aku berusaha sekuat mungkin menahan tangisku saat aku harus melihat tontonan yang amat menyakitiku. Rasanya sungguh perih saat melihat Nata berciuman dengan Andini begitu intim. Di balik dinding aku memejamkan mata berusaha keras menghentikan tetes air mataku yang makin deras, aku tidak pernah menyangka akan sepedih ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauh dari hidup Nata melakukan berbagai macam cara agar bisa menghindarinya. Bagaiman mungkin dia begitu kokoh ingin berjumpa denganku seolah-olah tidak melakukan apa-apa sementara hati mereka mungkin telah bersatu. Aku bahkan beranggapan mungkin Nata hanya ingin mengejek kebodohanku selama ini.

Belum sempat aku mengeringkan luka yang tertoreh di hatiku aku kembali harus menyaksikan scene menyakitkan itu kembali. Pandanganku tiba-tiba teralihkan saat aku mendengar sebuah keributan akibat teriakan seorang perempuan yang tidak asing lagi di indra pendengarku. Hatiku sangat tertohok saat melihat orang yang membuatku jatuh cinta segila ini mengandeng tangan si empunya teriakan itu. Aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku namun kali ini otakku tak sejalan dengan hatiku. Otakku berusaha keras untuk tidak memperhatikan mereka namun hatiku seakan berteriak agar aku mengikuti mereka. Lelah dengan perdebatan dalam diriku akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti mereka. Kembali hatiku seakan teriris sembilu begitu perih rasanya aku tidak sanggup lagi untuk bernafas aku berusaha menopang tubuhku yang tiba-tiba kehilangan tenaga saat melihat Nata yang tiba-tiba merengkuh Andini dalam pelukannya. Tak mampu lagi menikmati pemandangan yang tersuguh dengan lunglai aku segera berlari mengahpus air mata yang lagi membasahi wajahku.

"Ka' aku akan menyebut diriku munafik bila aku mengatakan kalau perasaan itu telah sirna..." uacapan Nata mengalun dalam pikiranku seakan memberi jawaban dari segala pertanyaanku selama ini. Aku tidak boleh egois aku harus merelakannya bila itu membuat hidupnya lebih berwarna

"Ade'....!!!" terdengar suara memanggilku dari belakang. Namun aku terus berlari aku sadar mungkin itu hanya sekedar imajinasiku berharap dia masih mengharapkanku. Aku tidak mempedulikan lagi mendengar protesan orang yang aku tabrak aku masih berlari tak tentu arah hingga aku merasa sebuah tangan menggenggam lenganku dari belakang membuatku harus menghentikan langkahku.

"Nata..!!" aku terkejut saat aku menoleh dan melihat dia sudah berada di tepat dibelankangku. Aku segera menepis tangannya yang masih memegang tanganku namun tangannya yang kekar lebih kuat di banding tengaku yang sudah terkuras habis

"Tolong tinggalkan aku!!" ucapku yang pasti terdengar serak akibat sisa-sia tangisku. Secara perlahan Nata mulai mengendorkan genggamannya hingga tangannya betul-betul melepaskanku. Mungkin memang ini jalan yang terbaik untuk kami



salah...saya sadar(gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang