Seorang wanita dengan kerutan memenuhi wajah, yang sangat jelas menunjukan usia senjanya masih saja menerawang. Matanya terlihat semakin cekung saat semakin dalam mengingat-ingat. Hingga akhirnya ia mengela nafas dalam-dalam. "Iya, Al memang anak panti ini. Bahkan, dia selalu menyempatkan waktu ke sini untuk bermain dengan anak-anak," kata wanita tua itu akhirnya.
"Ibu Ina bisa ceritain tentang Al?" tanya Efan, sedikit tidak sabar. Sedangkan Acha hanya mengimak di sebelahnya.
Bu Ina menatap Efan dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kamu juga sudah kenal dengan Al sejak kecil, kok. Tapi, kamu pasti lupa, waktu itu usia kamu masih 6 tahun. Dulu, kamu itu suka menyendiri, makanya kamu gak punya teman. Sampai papah angkat kamu adopsi kamu pun, kamu masih belum punya teman."
“…” Efan semakin penasaran.
Bu Ina kembali menerawang. "Waktu itu, sebelum memutuskan untuk mengadopsi kamu, sebenarnya pak Sandy mau mengadopsi anak yang lebih besar. Dan anak itu... Al."
"…"
***
"Efan! Kamu jangan gitu. Lihat, kan? Dia jadi nangis." Bu Inaya menghampiri Efan yang tengah berlari menjauhi seorang anak perempuan yang baru saja dibuatnya menangis.
“…” Efan kecil hanya diam, sama sekali tidak mengerti dan tidak mau tahu apa yang telah dilakukannya. Bahkan, wajahnya tampak galak.
Dari kejauhan, terlihat seorang anak perempuan yang akhirnya berhenti menangis setelah ada seorang anak laki-laki yang menghampirinya dan memberinya sebuah arum manis besar berwarna merah muda.
Bu Inaya akhirnya merasa lega. Ia beralih dari sepasang anak yang sudah duduk di sebelah perosotan, kembali pada Efan. "Sekarang kita ke ruangan ibu, ya."
Efan mengikuti bu Inaya masuk ke dalam ruang kerjanya. Di sana, sudah ada seorang pria muda yang menunggunya. Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum ramah pada Efan.
"Itu pak Sandy. Sebentar lagi kamu bisa ikut pak Sandy ke rumahnya, dia mau jadi ayah kamu," jelas bu Inaya pada Efan.
Sandy berjalan mendekat, kemudian berjongkok di depan Efan. "Hai, Efan," sapanya seraya mengulurkan tangan yang segera Efan cium. "Kamu boleh panggil saya papah mulai dari sekarang."
"..." Efan hanya terpaku, meneliti wajah pria di depannya yang masih asing. Kemudian ia menoleh pada bu Inaya, seolah meminta persetujuan.
Ibu Inaya tersenyum seraya mengangguk. "Gak papa, sayang. Pak Sandy ini baik, dia sayang sama kamu, makanya dia mau jadi papah kamu."
“…”
Satu minggu kemudian….
Bu Inaya baru saja keluar dan langsung menemui Sandy yang tengah melihat anak-anak yang bermain di halaman luas milik panti asuhan. Sebenarnya, ia lebih fokus pada anak laki-laki yang tengah duduk sambil memeluk lututnya di bawah perosotan.
"Beberapa hari ini dia memang suka diam di situ. Katanya, dia lagi nunggu gadis arum manis cantiknya," kata bu Inaya, sedikit mengagetkan Sandy.
"Oh, ibu sudah keluar rupanya." Sandy mengalihkan perhatiannya dari bocah di bawah perosotan itu. "Efan sudah siap?" Hari itu, memang ia sudah bisa membawa Efan pulang karena proses adopsinya sudah sempurna.
"Sebentar lagi." Bu Inaya tersenyum. “Baru saja saya menyiapkan keperluannya.”
“Oh….” Sandy kembali melihat pada anak di bawah perosotan. "Saya masih heran, kenapa saya gak bisa adopsi dia?"
Bu Inaya tersenyum simpul. "Orang yang menitipkannya di sini tidak memperbolehkan dia untuk diadopsi. Lagipula, dia sudah akan masuk SMP dan tinggal di asrama."
KAMU SEDANG MEMBACA
I FOR YOU
Hayran KurguMungkin benar, kau memang diciptakan khusus untukku. Tuhan mengirimu untuk menjagaku, menjadi malaikat pelindungku. Bahkan, kau sudah lebih dulu menginjakan kaki di bumi sebelum aku. Itu karena kau yang harus menungguku dan bersiap menjagaku saat ak...