"Matt, kamu belum makan, kan? Kita ke kafetaria dulu yah, sebelum ke kamar Mas diatas," ajak Yudha sambil tersenyum ke arah Matt saat mereka telah sampai di lobby apartment tempat guru muda itu menetap.
"Heh? Mas...?" tanya Matt bingung.
"Iya, Matt. Saya mau mulai sekarang kamu memanggil saya Mas jika berada diluar lingkungan sekolah. Saya belum setua itu untuk kamu panggil Pak, Matt."
"Memang Pak Yudha umur berapa?" tanya Matt sambil mengeryitkan dahinya.
"Dua puluh enam, tahun ini. Hanya selisih sembilan tahun darimu. Jadi saya lebih cocok jadi kakakmu, bukan?"
Matt menggelengkan kepala.
"Lho, kenapa? Kamu nggak terbiasa dengan panggilan Mas?" tanya Yudha sedikit bingung. Dia berpikir mungkin karena Matt masih keturunan bule jadi terasa agak janggal baginya.
"Ya sudah, kamu boleh panggil saya brother."
Matt menggelengkan kepalanya lagi.
"Kak Yudha juga boleh deh," tawar Yudha.
Matt masih tetap menggelengkan kepalanya.
"OK, saya nyerah. Kamu boleh memanggil saya apa saja, Matt. Hanya Yudha pun nggak masalah, asal jangan panggil saya Pak," ucap Yudha pasrah sambil menghela nafas.
"Saya maunya memanggil Bapak itu Om, Om Yudha. Boleh nggak, Pak?" Akhirnya Matt membuka mulutnya sambil cengengesan.
"Sialan kamu, Matt! Emang saya ada tampang seperti Om-Om gitu, yah?" protes Yudha sambil mengacak pelan rambut Matt.
"Ada, Pak! Anda terlihat seperti Om-Om genit yang ingin mengencani muridnya," goda Matt semakin kurang ajar pada gurunya itu. Tapi tentu saja Yudha nggak akan marah. Dia hanya tersenyum kecut sambil meminta Matt untuk mengecilkan suaranya karena mereka berdua masih berada di tempat umum.
"Terserah kamu lah, Matt! Kalau memang kamu lebih sreg memanggil Om atau Pak, ya sudah saya terima. Yang penting kamu senang dululah. Perasaan saya kan memang nggak terlalu penting buatmu," sindir Yudha gemas melihat Matt yang sengaja pura-pura nggak peka dengan keinginannya untuk lebih akrab dengan murid kesayangannya itu.
"Iya, iya, Pak! Jangan ngambek gitu donk, sudah tua juga. Malu Pak sama umur hehe..." ujar Matt sambil menyengir.
"Eh, Adek ngomong sama siapa? Sama saya?"
"Wah, beneran ngambek nih Mas Yudhanya."
"Siapa bilang? Yuk, kita segera ke kafetaria! Mas sudah lapar, Matt," ucap Yudha sambil mengulas senyum puas sebab Matt akhirnya menurut untuk memanggilnya Mas.
"Siap, Pak!"
"Nggak jadi, Dek! Kamu tunggu sini saja sendiri. Tunggu Bapak yang kamu cari itu datang. Sorry, saya bukan Bapak-Bapak tapi saya Mas-Mas!" tukas Yudha sambil ngeloyor pergi ke arah kafetaria diujung sebelah kiri lobby apartment itu, meninggalkan Matt yang tampak bingung. Yudha pura-pura ngambek.
"Mas... Mas Yudha tunggu saya! Ampun Mas..." panggil Matt sambil mengejar gurunya yang ganteng itu.
Tampak seorang waiter langsung menyambut kedatangan Yudha beserta muridnya itu. Rupanya dia sudah hafal dengan wajah Yudha yang memang penghuni di gedung apartment tersebut.
"Selamat datang, Kak. Pesan meja untuk berapa orang?" sapa waiter itu ramah sambil tersenyum.
"Dua!"
"Ow, hanya berdua dengan Adek ini. Tumben Kakak nggak kesini sama..." Waiter itu langsung mendadak mengatupkan mulutnya saat mendapat pelototan mata dari guru ganteng itu. "Hmm... baiklah, mari ikut saya!" lanjut waiter itu sambil membawa mereka ke sebuah meja yang hanya diapit dua buah kursi kosong saling berhadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BMKG (BL)
JugendliteraturEits, ini bukan berita tentang banjir, gempa bumi, gunung meletus, ataupun tsunami. Tapi ini adalah sebuah kabar baik yang nggak akan membuat air mata berlinang gegara bencana alam diatas. Ini adalah cerita tentang pemuda yang nyaris sempurna tengah...