18 : Desperately in Love

10K 544 124
                                    

Mendadak Yudha menghentakkan kaki menginjak pedal rem, membanting setir hingga mobil sedannya menikung ke arah pinggir jalan yang untungnya nggak terlalu ramai. Guru muda itu menghentikan laju kendaraan seraya mulutnya mendesah kesal. Lalu menolehkan kepala, melempar tatapan sinis ke arah pemuda ganteng yang duduk di atas jok sebelahnya.

"Demi Tuhan, Matt! Mau sampai kapan kamu akan terus mendiamkan Mas seperti ini, hah? Bukankah harusnya Mas yang marah atas perbuatanmu dengan bocah berandalan tadi? Please, jangan menyiksa Mas dengan sikapmu itu, Matt! Mas nggak tahan!"

Suasana hening di dalam mobil pecah seketika, membuyarkan kedua insan yang tengah terlibat perang dingin. Matt segera memutar kepala, mengalihkan pandangan dari kaca samping mobil guna menyambut tatapan pria yang tampak frustasi di sebelahnya. "Maaf, Mas. Saya tahu saya salah. Saya hanya takut memperkeruh suasana jika terlalu banyak bicara sementara hati Mas Yudha sedang panas."

"Lalu kamu pikir dengan mengacuhkan Mas barusan bisa membuat suasana hati Mas membaik dengan sendirinya, iya?" Yudha menimpali nggak terima.

Matt menganggukan kepala, lalu buru-buru meralat, menggeleng cepat sambil cengar-cengir nggak jelas. "Eh... salah... maaf Mas, hehe..."

Yudha melenguh panjang sembari jemarinya mulai mengurut keningnya pelan. Sepertinya dia harus extra sabar menghadapi bocah slengean seperti Matt, bila nggak mau mati muda terkena darah tinggi lalu stroke di tempat. Siapa suruh dia berani menyukai pemuda labil yang usianya jauh lebih muda darinya?

"Bisakah kamu sedikit lebih serius, Matt? Please, Mas mohon! Mas capek belum istirahat sama sekali. Mas langsung buru-buru kembali ke apartment untuk mengambil mobil, begitu pesawat yang Mas tumpangi mendarat di kota ini. Mas sudah nggak sabar ingin segera bertemu denganmu. Mas sangat merindukanmu hingga hampir gila, Matt. Tapi lihat apa yang Mas dapat sekarang? Kamu malah membiarkan pria lain memelukmu di depan mata Mas. Kenapa kamu bisa setega itu sama Mas, hah?"

"Maaf, Mas... " lirih Matt sambil menunduk, menyadari kesalahannya. "Seandainya tadi saya tahu ada Mas Yudha di sana, saya nggak bakal membiarkan Nick seenaknya memeluk saya. Saya pasti akan menghajar preman kampung itu habis-habisan, sampai mampus kalau perlu."

Ups, Matt langsung menggigit bibir bawahnya, menyadari ucapannya barusan seperti salah dalam pemilihan kata-kata. Hmm... tampaknya memang lebih baik dia diam saja daripada makin memperkeruh suasana jadi kayak air got.

"Ash... !!"

Benar saja, Yudha langsung mengumpat sambil memukul lingkaran setir di depannya kesal. Sementara tangannya yang lain mencengkeram erat ujung persneling mobil menahan emosi. "Jadi maksudmu selama nggak ada Mas di dekatmu, kamu mau-mau saja dipeluk bocah berandalan itu, hah? Sialan kamu, Matt! Kamu pikir Mas ini charger HP yang bisa kamu gantikan dengan powerbank, apa?" suara Yudha mulai meninggi.

"Eh, bukan... bukan gitu maksud saya, Mas. Tapi... anu... sudahlah, saya takut salah bicara lagi. Pokoknya saya benar-benar minta maaf sudah menyakiti hati Mas Yudha. Please, Mas jangan marah-marah terus seperti ini." Matt langsung menyergap punggung tangan kiri Yudha yang berada di atas persneling untuk ditangkupnya erat, berusaha menenangkan. Nggak lupa, pemuda itu juga membulatkan kedua bola matanya, memasang tampang memelas tanda menyesal.

Ah, sial! Yudha mengumpat dalam hati. Lagi-lagi dia terpaksa mengalah sebab hatinya selalu nggak tega melihat pemuda itu bersedih. Keratan tangannya pun perlahan mengendur di dalam dekapan hangat ruas jemari murid kesayangannya. "Ok... ok... Mas maafin kamu kali ini. Sekarang, Mas mau tanya sama kamu. Tolong kamu jawab dengan jujur, Matt."

Pemuda itu mengangukkan kepala sembari memandangi wajah Yudha yang tengah menatapnya serius.

"Apa... kamu masih tetap menyukai Mas sampai detik ini, Matt?"

BMKG (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang