9 : Reality that Hurts You

13.8K 730 145
                                    

Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju ke rumah Ben, Matt hanya termangu sambil menatap kosong hiruk pikuk kota Surabaya di siang hari, dari balik kaca samping mobil yang dia tumpangi.

Pemuda itu tampak terpukul dengan kabar yang barusan disampaikan oleh wali kelasnya. Kabar yang sangat dia nanti-nantikan itu, kini malah menjadi kabar yang nggak ingin dia dengar selamanya.

Harapan Matt bertemu dengan cinta pertamanya pupus sudah, seiring dengan hatinya yang hancur berantakan. Terasa perih dan menyesakkan. Namun Matt berusaha tegar. Dia bahkan nggak mengijinkan setetes air mata pun menggores pipinya. Dia harus tetap kuat meski dia harus menelan mentah-mentah kenyataan pahit itu.

"Matt... kuatkan hatimu, yah. Ingat, kamu masih memiliki Bapak di sampingmu," ucap Yudha pelan, menoleh ke arah Matt yang duduk di sebelahnya sambil menggenggam punggung tangan pemuda itu. Lalu, Yudha segera mengalihkan lagi pandangannya ke depan untuk berkonsentrasi menyetir.

Ini adalah kesekian kalinya Yudha mencoba memberi dukungan moral pada murid kesayangannya itu, selama perjalanan.

Matt hanya diam membisu dan sama sekali nggak bereaksi. Dia hanya terus menatap kosong ke arah luar dari balik kaca jendela di sampingnya, sambil menyandarkan kepalanya di atas bantalan jok mobil itu.

Yudha segera memarkirkan sedan silver Toyota Altis miliknya di depan sebuah rumah yang dia yakini milik Ben, sesuai dengan alamat yang dia dapatkan dari komputer di ruang Tata Usaha. Yudha sama sekali nggak mengenal Ben atau Ken, kakaknya itu. Sebab Yudha adalah guru baru di sekolah itu. Dia baru mengajar di tempat itu selama empat bulan ditahun ajaran baru.

"Matt, Bapak temani masuk ya?" tawar guru ganteng itu sambil salah satu tangannya mengelus-elus lembut kepala Matt.

Yudha sungguh merasa nggak tega melihat murid yang disukainya itu dirundung duka. Dia ingin sekali memeluk Matt tapi dia tahan. Dia nggak mau memperburuk suasana hati Matt yang sedang kacau saat ini.

Matt hanya menggelengkan kepalanya. Dia menolak. Dia nggak ingin Yudha terbebani dengan masalahnya. Terlebih Yudha sudah begitu baik padanya, mengorbankan perasaannya untuk membantu dia mencari Ben. Seandainya Matt tahu jika akan berakhir seperti ini, dia pasti nggak akan pernah mencoba untuk mencari jejak Ben. Sungguh akan lebih baik bagi Matt bila dia nggak pernah tahu keberadaan Ben dimana, merelakannya hidup bahagia dengan orang lain daripada harus mendapati kenyataan jika dia telah pergi untuk selamanya.

Bulir-bulir air mulai membendung di pelupuk matanya. Matt langsung membuang jauh lamunannya itu.  Dengan cepat, dia segera melepas sabuk pengaman dan langsung membuka pintu mobil itu untuk bergegas turun. Dia harus memacu dirinya untuk bergerak dan terus bergerak. Matt nggak mau terlalu banyak berpikir yang malah akan membuatnya semakin larut dalam kesedihan.

Yudha memutuskan untuk tinggal didalam sedan miliknya itu sambil menunggu pemuda itu kembali. Sebab dengan jelas Matt sudah menolak tawaran guru muda itu. Yudha nggak mau bersikeras memaksakan kehendaknya meski dia tahu Matt butuh seseorang yang mendampinginya saat ini. Dia ingin pemuda itu sendiri yang dengan rela menyerahkan diri untuk dicintainya bukan karena sebuah paksaan.

Yudha merasa bila rasa cintanya pada murid kesayangannya itu semakin membesar. Terlebih dengan adanya kejadian seperti ini, dia sungguh makin ingin membahagiakan Matt. Dia siap untuk menggantikan posisi Ben di hati murid kesayangannya itu.

Namun, mendadak terbesit keraguan di benak Yudha saat jemari tangannya nggak sengaja menyenggol sebuah gundukan kecil didalam saku celananya. Sebuah cincin emas yang selalu dia lepas selama berada di lingkungan sekolah, atau lebih tepatnya ketika dia bersama Matt. Yudha tersadar jika benda itu lambat laun akan menjadi tembok penghalang terbesar hubungannya dengan pemuda yang dicintainya itu.

BMKG (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang