Cafe Domino

202 12 0
                                    


"Kemana lagi nih kita?" Tanya Tiff pada kedua temannya-Dina dan Luna.

Mereka baru saja selesai creambath dan keluar dari salon tersebut, berjalan ke parkiran. Penampilan mereka sekarang yang lebih terlihat segar, tidak seperti saat mereka baru memasuki salon, terlihat agak kusut. Mungkin karena memang tugas yang membuat mereka jarang memperhatikan penampilan. Tapi bukan berarti mereka benar-benar terlihat jelek. Mereka tetap cantik.

"Mmm gak tau nih. Menurut lo kemana, Lun?" Tanya Dina pada Luna.

Luna mengusap dagunya sambil berfikir, dia juga tidak tahu mau kemana lagi. Luna melihat jam di tangannya, sekarang pukul 3 sore. Dan dia ingat kalau mereka bertiga belum makan dari mereka berangkat tadi.

"Kita cari makan aja, gimana?" Usul Luna.

Dina hanya mengangguk setuju, sedangkan Tiff yang hanya mengutak-atik ponselnya tidak menyadari ucapan Luna.

"Heh, setuju gak, lo?" Tanya Dina dengan menyenggol sedikit lengan kanan Tiff.

Tiff yang baru menyadari senggolan Dina langsung menoleh pada kedua temannya itu. "Eh-apa? Maaf gue gak ngeh hehe." Jawab Tiff dengan cengir kudanya.

Dina hanya mengendus kesal, dan Luna juga menggeleng kepalanya "Ah-lo main hp aja sih. Ini gimana kalau kita makan aja. Laper kan?" Ucap Luna.

"Iya iya maaf, ini gue lagi liat-liat menu di Café Domino. Nih liat deh, enak-enak kan? Mau makan di sini aja, gak? Enak nih." Jawab Tiff sambil menyodorkan ponselnya ke Luna dan Dina.

Luna dan Dina pun langsung melihat kearah ponsel Tiff. Ya, menu-menu di cafe tersebut memang menggoda selera. Membuat mereka tambah merasa lapar.

"Eh ada Chocolate Banana Cream. Gue mauuu." Ucap Dina semangat dengan menunjuk salah satu menu bergambar pisang yang dibalut chocolate dan cream yang sangat disukai Dina. Dan Luna melihat beberapa menu lainnya, memang sangat menggugah selera makan.

Dan akhirnya mereka pun setuju untuk pergi ke Café Domino dan mengisi perut mereka yang lapar.

Dalam perjalanan, mereka terjebak macet. Yah, sudah tidak heran lagi dengan pemandangan seperti ini di Jakarta. Macet dimana-mana dan asap di kota metropolitan ini yang sudah pasti mengganggu pernapasan manusia.

Huft, bayangkan bagaimana kalau asap-asap yang keluar dari kendaraan orang-orang ini masuk ke hidung kalian dan merusak saluran pernapasan kalian. Rasanya pasti sesak, bukan?

Untungnya Luna, Dina dan Tiff sekarang berada di mobil. Mereka tidak merasakan bagaimana asap-asap itu akan merasuki paru-paru mereka.

"Aduh-macet segala lagi. Gatau orang laper, apa?!" Dina mengendus kesal.

Luna yang celingukan melihat keadaan sekitar merasa tak percaya. Seperti ini ternyata keadaan Jakarta. Sangat padat. Jalanan dipenuhi dengan kendaraan roda empat, roda dua dan beberapa kendaraan lain. Suara klakson menambah keriuhan kota ini. Tidak seperti di Jerman tempat ia tinggal dulu. Berebeda dengan keadaan Jakarta. Di sana lebih terlihat tertib, dan tidak semacet di sini. Mungkin karena di sana tidak banyak yang memakai kendaraan seperti di sini. Di sana orang-orang lebih memilih untuk berjalan kaki, dan suasana di sana yang dingin tidak panas seperti di Jakarta. Ah sudahlah, jangan samakan Jakarta dengan Jerman. Pasti sangat berbeda. Dan di sinilah Luna, di Jakarta. Mau tidak mau, Luna harus membiasakan diri di tempat tinggal barunya.

"Iya ya, macet banget. Di Jerman gak semacet ini dan debu asapnya juga gak separah ini." Ucap Luna yang melihat kearah kaca mobil.

"Yaah.. beda kali Lun, di sana gue yakin gak macet kayak di sini. Pasti enak deh tinggal di sana? Kenapa lo pindah ke sini?" Tanya Dina pada Luna.

My ENEMY is My LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang