Selembar Kertas

188 11 0
                                    


Luna POV

"Ciee udah akur lagi, nih?" Tanya Tiff.

Aku pun menoleh ke sumber suara, Tiff.

Apa? Dia bilang kita—eh gak ada kita, adanya aku dan dia—Varo, akur lagi?

Apa Tiff tidak mencerna perkataannya dulu sebelum diucapkan? Aku? Akur lagi? Jelas-jelas aku masih dongkol sama Varo.

Gila aja, beberapa hari ini dia ngusilin aku terus. Ya walaupun memang dia hari ini sedikit berubah. Tapi bukan berarti aku dan dia akur lagi. Aku masih dendam sama Varo.

"Akur apanya sih?" Jawabku ketus.

Tiff hanya mengangkat bahu, entah. Dan dia langsung duduk di bangkunya sendiri dan menghiraukan perkataanku. Bukannya menjawab pertanyaanku.

Ahh—biarlah, tidak penting juga.

Dan aku lihat juga Varo hanya merespon ucapan Tiff dengan senyuman.

Aku bisa lihat, senyum dia ini tulus.

Benar-benar ada yang gak beres sama Varo.

Oke, sekarang fokus ke posisi saat ini. Sekarang dia—Varo, duduk di samping aku lagi. Kita—eh aku dan dia sebangku lagi.

Entahlah, tapi aku merasa ini jadi canggung. Aku melirik Varo, aku lihat dia sedang duduk diam sambil memainkan hp-nya. Aku tidak tahu dia sedang sibuk apa dengan hp-nya. Itu bukan urusanku.

Aku lihat lagi sekeliling. Aku lihat Tiff, dia sedang asik menyalin PR yang dia contek entah dari siapa.

Dasar Tiff, dia sebenarnya pintar tapi karena kadang malas jadi dia sering nyontek ke orang lain. Tapi sebenarnya juga dia tidak sepenuhnya asal nyontek. Seperti tiga hari kemarin, saat dia mencontek jawaban Geografi pada Mila. Jawaban Mila salah, dan malah Tiff protes karena jawaban Mila salah. Segitunya.

Aku menoleh lagi pada Varo. Ahh—ini kenapa kepalaku malah doyan banget nengok ke Varo, sih. Ah syaraf nya lagi error nih kayaknya.

Aku lihat dia masih memainkan ponselnya.

Dan sekarang aku jadi kepo.

"Sibuk banget sih sama hp nya." Ucapku datar sambil menyenggol bahunya.

Duhh—ini mulut kok jadi nanya gitu sih? Kok aku jadi seakan ngerasa dicuekin ya? Sumpah ini gak sadar. Wah bener-bener deh syaraf-syaraf di tubuh aku mulai error.

Varo pun langsung menoleh ke arahku sambil senyum.

Gila, ini kenapa Varo sekarang—eh lebih tepatnya hari ini dia jadi sering senyum gini ya ke aku? Ini kayaknya bukan cuma syaraf-syarafku aja deh yang error, kayaknya syaraf di tubuh dia juga error. Tapi asli, senyum dia memang manis. Duh Lun, kenapa kamu jadi terpesona gini?

Mulai gak bener, 'kan?

"Kenapa, Luna? Kamu ngerasa dicuekin? Aku gak nyuekin kamu, kok." Jawabnya sambil membenahi posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku.

Duh 'kan, kenapa dia jadi manis gitu coba?

Dan kenapa aku malah jadi canggung gini.

Grogi. Ah shit!

"Ih, pede banget sih. Siapa juga yang ngerasa dicuekin? Gue biasa aja." Aku menyerngit sambil menoleh ke arah lain.

Duh kenapa jadi gini?

Dari ekor mataku, aku bisa melihat dia hanya tersenyum dan kembali memainkan ponselnya.

"Nih, gue lagi liat ini. Lo suka yang mana?" Ucap Varo sambil memperlihatkan ponselnya.

My ENEMY is My LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang