Chapter 4: Coffee?

803 124 35
                                    

"Would you be my girlfriend?"

DEG!

Kali ini mataku sudah membelalak, jantungku hampir melompat ke mata kaki. Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya, mengaruk-garuk jemariku yang tidak gatal untuk menetralisir apa yang barusan aku dengar. Shit! Kenapa aku begitu gugup. Apa yang barusan ku dengar?

Sebuah telapak tangan kini tengah mengacak-acak rambutku, terdengar suara tawa renyah dari David.

"Aduh, jangan dimasukkan ke hati kali, aku hanya bercanda. Katanya mau bantu aku biar tidak jomblo lagi, terus sewaktu aku bilang seperti tadi malah diam. Gugup ya? Aduh lucu banget sih kamu."

"Menyebalkan!"

"Iya iya, kan aku bilang aku hanya bercanda saja, kamunya terlalu serius."

Melipat kedua tanganku di dada, aku hanya diam menatap kosong bungkusan bekas makanan yang berserakan di meja hingga getaran dari ponsel membuyarkan lamunanku.

"Ponselnya getar, Jac."

"Biarkan saja."

"Aku lihat, ya."

"Terserah."

"Wah ada pesan, hanya sederet nomor tidak ada nama kontaknya."

Mungkin orang salah kirim.

Aku membantin dan tidak peduli sih.

"Wanna have some coffee?" jeda. "Wah, ada yang mengajakmu minum kopi."

"Mungkin salah kirim. Coba aku lihat." Ku ambil ponselku dari tangan David sedangkan David hanya mengangkat bahunya, tak peduli.

Kuamati baik-baik pesan tersebut, bisa-bisanya masih ada orang yang salah mengirim pesan.

Baru saja ingin meletakkan kembali ponselku di meja namun ia kembali bergetar. Sebuah pesan masuk. Tetap dari sederet nomor yang tidak dikenal dengan pengirim yang sama.

No name: This is Art.

Ya ampun, ini Art?

Melihat namanya tertera di sana, entah kenapa aku menjadi excited saja rasanya.

Belum sempat aku membalas pesan tersebut, tapi sebuah pesan kembali masuk.

Art: Masih ingat Arthur Allen, kan? Pria yang menjepit tangannya di lift.

Autumn: Tentu. Tentu saja aku masih ingat.

Art: Bagaimana dengan tawaranku tadi?

Autumn: Boleh.

Art: Kalau begitu, malam ini ku tunggu di kafe Liberica jam 8 malam.

Autumn: See ya

Art: See ya

"Stranger sekarang bisa membuat tersenyum, hah?"

"Eh...," mengalihkan pandangan dari ponselku ke David. "bukan, ternyata ini Art. Masih ingat kan? Yang semalam-"

"Iya aku ingat." David memotong kalimatku begitu saja. Menyebalkan, bukan?

Dengan sikap tak acuh dari David, ia membuka tasnya untuk mencari sesuatu, lalu mengeluarkan sebuah kaset.

"Ini."

"Apa ini?"

"Kaset."

Ya, aku juga tau itu kaset tapi maksudku...

"Film. Aku membelikannya untukmu sebelum kemari. Aku tau kamu bosan di rumah jadi aku ke toko kaset sebentar untuk membeli kaset ini dan tampaknya filmnya bagus."

17 Reasons I Love Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang