Chapter 12: De Javu

489 65 9
                                    

Autumn duduk menatap kosong ke layar laptopnya di kursi kayu yang berada di pojok kafe Liberica. Tangannya berjentik di meja, lelah memikirkan tugasnya yang tak kunjung selesai. Belum lagi pikirannya bercampur aduk dengan kejadian akhir-akhir ini dimana Veronica mencoba kembali masuk ke dalam kehidupannya. Mencoba menariknya kembali ke dalam lingkaran laknat itu. Autumn berdeham, menghembuskan napas berat seraya meletakkan kepalanya di meja, menatap kosong ke samping kanan di mana meja-meja kafe berjejer rapi dengan nuansa khas Eropa kuno.

Ia masih melamun dengan pikiran melayang-layang hingga tak sadar ada seseorang yang berjalan mendekat dengan dua gelas kopi hangat di tangannya. Orang itu berdiri tepat di depan meja Autumn lalu menghempaskan bokongnya di kursi yang berada di samping gadis itu. Merasa tak ada respon dari Autumn, ia meletakkan dua gelas kopinya di meja lalu ikut meletakkan kepalanya di meja persis seperti Autumn. Kini mereka saling pandang. Orang itu melemparkan senyum imutnya pada Autumn.

Sadar bahwa ada seseorang di hadapannya, mata Autumn membelalak.

"Arthur?"

Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang diberikan Arthur. Pria itu mengenakan jaket berwarna cokelat dan kaos hitam yang tersembunyi di dalamnya. Rambutnya selalu ditata rapi dengan garis wajah yang halus. Sudut bibirnya berkedut dikala ia tersenyum. Mata hazelnya begitu teduh menatap Autumn. Penampilan Arthur memang menampakkan seorang calon Dokter yang sukses, juga tampan.

"Kenapa ada di sini?" tanya Autumn lagi. Masih dengan posisi yang sama. Saling tatap dengan kondisi kepala tertempel di meja kafe.

"Minum kopi. Mau?"

Autumn mengernyit, ia mengangkat kepalanya sambil menyisir rambut pirangnya yang tergerai bebas dengan jemari tangannya.

Arthur menumpu kepalanya dengan kedua lengannya yang terlipat di atas meja. Memandang Autumn dari sudut pandang yang menurutnya sangat bagus sebab dari sini ia dapat melihat wajah Autumn dengan pantulan cahaya matahari.

"Aku membawa americano untukmu. Ku lihat gelasmu sudah habis jadi aku belikan lagi segelas."

Autumn melihat gelas berisi americano-nya tadi yang ternyata memang sudah habis entah sejak kapan. Ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia begitu nyaman dengan lamunannya hingga tidak tau bahwa americano miliknya sudah habis.

"Kamu sejak kapan di sini?"

"Baru saja." Arthur tak lepas-lepasnya dari senyumannya ketika ia menjawab setiap pertanyaan Autumn. "Rencananya aku kemari hanya ingin membeli hot chocolate namun tidak sengaja melihatmu duduk di sini menatap kosong ke layar laptop. Jadi, tanpa pikir panjang aku langsung kemari saja sehabis mengambil pesananku."

Autumn hanya mendengus, sedang tidak mood untuk mengobrol banyak. Sedangkan Arthur tidak kehabisan akal untuk mengajak Autumn mengobrol.

"Memangnya apa yang sedang kamu lakukan di sini? Sepertinya banyak pikiran." tanya Arthur seraya menatap layar laptop yang berisi deretan tulisan yang Arthur tidak mengerti.

"Sedang mengerjakan tugas. Banyak tugas menumpuk dari Dosen."

"Aku bantu, ya." tawar Arthur yang kini sudah mengangkat kepalanya bersiap membantu Autumn.

"Memangnya kamu mengerti apa yang aku kerjakan?"

"Aku bantu dengan doa, maksudku." Arthur nyengir kuda, matanya menyipit sembari ia tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang putih bersih dan begitu rapi. Autumn sadar betapa indahnya salah satu makhluk ciptaan Tuhan di hadapannya ini.

"Ck." Autumn berdecak mendengar jawaban Arthur yang sama sekali tidak membantunya. Arthur hanya menggidikkan bahunya sedangkan jari-jarinya kini bergerak lihai di touchpad laptop, mengutak-atik laptop Autumn.

17 Reasons I Love Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang