Chapter 20: The Truth

353 45 12
                                    

Betapa beruntungnya diri ini merasakan hangatnya genggamanmu...

Betapa beruntungnya diri ini merasakan lembutnya pelukanmu...

Betapa beruntungnya diri ini merasakan lembutnya tanganmu membelai rambut ini...

Mungkin kita tidak saling memiliki namun aku bisa menikmati betapa indahnya anugerah kasih sayang yang Tuhan berikan melalui dirimu,

Teruntuk seseorang bermata hazel yang kusayangi,

Drrrttt...

Autumn menghentikan kegiatan menulisnya ketika ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ia melempar pulpen di tangannya, bingung melihat sebuah tulisan yang ia buat dan berpikir,

Untuk siapa tulisan ini ku buat?

Diambilnya ponsel di atas meja belajar yang berada di samping kirinya dan menemukan pesan dari Claire.

Claire: 10 menit lagi aku akan sampai bersama Delisa. Bersiaplah!

Autumn menepuk dahinya kuat. Hampir saja ia lupa kalau hari ini ada janji dengan Claire dan Delisa untuk pergi ke karnaval di alun-alun kota. Ia bergegas bangkit dari kursi meja belajarnya, berhenti bermalas-malasan dan segera mengganti pakaian sebelum Claire datang lalu mengomelinya karena belum bersiap untuk pergi ke karnaval.

***

Sesampainya di karnaval Autumn, Claire dan Delisa langsung berpencar ke tempat favorit masing-masing. Ya, walau mereka semua wanita tapi selera mereka berbeda-beda. Autumn menyusuri setiap stand aksesoris lalu ia menemukan sebuah stand khusus pernak-pernik kota Paris. Melihat hal itu, Autumn ingin loncat-loncat saja rasanya. Ia begitu bersemangat melihat segala macam pernak-pernik yang di jual di stand ini.

Setelah beberapa lama memuaskan matanya di stand itu, Autumn keluar dengan membawa satu paper bag penuh berisi kalung, gelang, gantungan kunci, phone case dan banyak lagi yang semuanya berhubungan dengan Paris. Berhubung ada kedai es krim tepat di seberang stand pernak-pernik tadi, ia melangkahkan kakinya ke kedai tersebut.

"Rasa mocca satu, Sir," ucap Autumn pada penjual es krim.

"Baik. Nama anda, Nona?"

"Autumn, Sir."

Penjual es krim mengangguk lalu kembali ke belakang untuk menyiapkan pesanan pelanggan.

"Autumn?" seraya menunggu pesanan, ada seseorang di sebelah kiri Autumn yang memanggil namanya. Autumn pun menoleh ke asal suara tersebut. Matanya membulat sempurna saat mengetahui siapa orang yang berdiri di sampingnya.

"Evan?"

Perasaannya campur aduk. Senang, marah, sedih, bahagia, kecewa, semua bercampur jadi satu. Ingin rasanya Autumn pergi dari hadapan pria itu sekarang juga namun penjual es krim menyadarkan lamunan Autumn ketika pesanannya sudah siap.

"Cokelat untuk Evan dan Mocca untuk Autumn." Penjual es krim menyerahkan es krim Evan dan Autumn bersamaan. Masih dengan suasana canggung, Autumn merogoh tasnya untuk mengambil uang dan membayar es krim ini.

"Ini Sir, aku bayar untuk mocca ini juga." Evan menyerahkan uang lembaran $5 kepada penjual es krim lalu ia beralih pada Autumn yang kini mendengus kesal dan ingin berlalu dari hadapan Evan, tapi dengan cepat Evan menahan tangan Autumn.

"Kita perlu bicara," kata Evan lalu membawa Autumn pergi bersamanya.

Evan membawa Autumn di bawah pohon besar di sekitar karnaval yang cukup teduh dan tidak ramai orang. Autumn hanya diam, membiarkan es krimnya meleleh tanpa sedikit pun ia cicipi. Ia sama sekali tidak ingin menatap Evan walau pria itu berdiri tepat di hadapannya.

17 Reasons I Love Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang