Chapter 31: Comeback

351 49 11
                                    


Gadis itu menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak dan merasakan betapa nikmatnya udara kota London yang masuk memenuhi paru-parunya. Dia melihat ke sekeliling, banyak orang berlalu lalang dengan koper dan tas bawaannya. Ada yang pergi dan ada yang kembali. Tapi, di sinilah dia sekarang. Kembali ke kotanya tercinta, London.

"Selamat datang. Aku kembali, London!"

Senyumnya merekah sambil melangkah pergi keluar bandara dengan sebuah koper besar di tangannya. Dia segera memasuki taksi yang sudah bersiap mengantarnya pulang ke rumah yang ia rindukan selama kurang lebih lima tahun ia tinggalkan. Senyum itu tak pernah lepas dari bibirnya karena tak sabar membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan melepas rindu dengan orang-orang rumah dan juga satu orang lagi yang selama lima tahun ini tak pernah ia lupakan barang sedikit pun.

***

Sebuah ketukan pintu membuat Adrian bangkit dari tempat tidurnya dengan malas. Dengan wajah bantal dan penampilan acak-acakan khas bangun tidur itu ia menuruni anak tangga sedikit demi sedikit walau matanya masih sukar untuk terbuka. Ini memang sudah jam delapan pagi tapi ini weekend yang tandanya waktu bagi Adrian berhibernasi namun ketukan pintu itu menghancurkan waktu hibernasinya.

Adrian berdecak kesal mendengar orang di luar sana tak henti-hentinya mengetuk pintu. "Sabar!" teriaknya lalu membuka pintu dengan perlahan.

Matanya mengerjap tak percaya melihat sosok itu berada di hadapannya. Sekali lagi ia menggosok matanya untuk memastikan bahwa yang berada di hadapannya ini benar-benar dia. Dia, kakaknya yang sangat ia rindukan.

"A?" kata Adrian memastikan. Orang di depan pintu itu tersenyun lebar sambil mengangguk meng-iya-kan pertanyaan adiknya itu.

Autumn Jacqueline Rush. Wanita yang lima tahun lalu pergi ke California, Amerika Serikat untuk melanjutkan studinya sebagai seorang dokter kini sudah kembali. Pandangan tak percaya masih tampak jelas di wajah Adrian. Bagaimana tidak? Kakaknya ini cukup banyak berubah dari penampilannya lima tahun lalu.

Rambutnya yang dulu sering dibuat messy bun kini tampak tergerai rapi dengan sedikit curly di bagian bawahnya. Belum lagi kacamata dengan bingkai warna hitam bertengger di pangkal hidungnya memberikan kesan dewasa pada diri Autumn.

Wanita itu mengernyitkan dahinya saat melihat Adrian masih bengong di ambang pintu dengan penampilan acak-acakan memandangi dirinya dari atas hingga bawah.

"Ian," panggilnya. "Tidak ingin memberikanku sebuah pelukan?" tanya Autumn sedikit canggung.

Tanpa pikir panjang lagi pria itu bergerak maju dan membuka tangannya lebar-lebar untuk memberi ruang pada Autumn yang ingin memeluknya.

"Aku merindukanmu, Ian."

"Aku lebih merindukanmu, A. Kenapa tidak memberi kabar bahwa kamu akan pulang hari ini? Kalau aku tau, aku bisa menjemputmu di bandara."

"Memang sengaja." Autumn menjulurkan lidahnya pada Adrian. "Aku ingin memberi kejutan pada kalian semua."

Setelah beberapa saat melepas rindu, Adrian membantu membawakan koper milik Autumn masuk ke dalam rumah. Autumn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Tak banyak perubahan selama kepergiannya ke Amerika lima tahun lalu. Warna putih masih mendominasi rumah ini membuatnya terlihat begitu menyejukkan. Autumn tersenyum saat melihat beberapa pajangan foto di ruang tamunya. Foto-fotonya dengan Adrian, dengan Ayah dan Ibunya. Bahkan sekarang bertambah satu foto Adrian memakai toga yang menyatakan bahwa dia sudah menjadi seorang sarjana.

"Oh iya, di mana Ayah dan Ibu?" Autumn mendaratkan bokongnya di sofa sambil mengusap-usap sofa berwarna cream yang masih terasa sama dengan lima tahun yang lalu.

17 Reasons I Love Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang