Chapter 29: Revealed

316 43 6
                                    

Semenjak kejadian itu, Autumn terlihat menghindar dari David. Tidak ada lagi morning chat yang tak pernah absen mereka lakukan hanya karena kebiasaan David mengingatkan Autumn untuk membawa kacamata bacanya sebelum berangkat kuliah. Tidak ada lagi suara pekikan Autumn saat bertemu David. Tidak ada lagi Autumn yang menyapa David dengan senyum lebarnya saat mereka berpapasan di kampus. Semua begitu aneh bagi David. Ia beberapa kali berpapasan dengan gadis itu di koridor tapi, meliriknya pun Autumn enggan.

Ketakutan David selama ini akhirnya terbukti. Autumn menjauhinya bahkan menganggapnya tidak ada. Hubungan mereka layaknya strangers yang tidak pernah saling kenal sebelumnya. Tidak ada keperluan untuk berbincang atau bahkan saling menyapa sedikit pun.

David gerah dengan suasana ini. David gerah dengan sikap Autumn yang memusuhinya hanya karena David memiliki perasaan lebih untuk Autumn. Bagi David, tidak apa jika Autumn tidak membalas perasaannya, tidak apa jika Autumn tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Yang jelas David hanya ingin mengeluarkan semua hal yang selama ini tak dapat ia ucapkan. Hanya sekedar menumpahkan apa yang ingin ia ungkapkan selama ini. Jika Autumn memang tak sejalan dengannya, ia berharap hubungan persahabatan mereka tetap berjalan dengan baik bukannya malah seperti ini.

***

Mata kuliah membosankan dari Tuan Max akhirnya selesai. Para mahasiswa seketika membubarkan diri sambil membawa tasnya ke luar kelas. Begitu juga dengan Autumn yang kini sudah selesai mencatat tulisan Tuan Max di papan tulis dan segera merapikan bukunya itu ke dalam tas. Autumn menyampirkan tasnya di pundak lalu bergegas ke luar kelas untuk segera pulang karena Arthur sudah menunggunya di parkiran.

Langkah Autumn terhenti ketika seseorang menahan tangannya saat ia baru saja melewati pintu kelas. Pun begitu Autumn menoleh ke belakang untuk melihat siapakah gerangan yang menahan erat pergelangan tangannya.

Melihat orang itu, Autumn menghela napasnya lelah. Rasanya ia malas berdebat untuk saat ini. Pria itu tengah bersandar di pintu kelas dengan wajah datarnya. Satu tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Autumn dan satunya lagi ia selipkan di kantung jeans-nya.

Mengangkat satu alisnya, ia berkata, "kita perlu bicara."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," kata Autumn seraya melepaskan genggaman pria itu dari tangannya. Bahkan menyebut namanya saja Autumn segan.

"Aku perlu tau tentang kamu. Tentang kamu yang menjauhiku dengan alasan yang tidak jelas. Apa hanya karena aku menyukaimu lalu hubungan kita harus menjauh seperti ini?" David menghela napasnya jengah dengan sikap keras kepala gadis satu ini.

Autumn ingin tutup telinga saja rasanya, mendengar David yang terus-terusan menuntut penjelasan. David memang bukan tipe pria yang pantang menyerah sebelum ia mendengar alasan logis.

Bukannya pria memang selalu menggunakan logika mereka dalam berbagai masalah dan wanita lebih memilih menggunakan perasaan. Dan inilah yang sedang terjadi antara David dan Autumn.

"Kamu seharusnya mengerti kalau kita tidak akan pernah bisa menjalani semua ini dengan perasaan yang kamu miliki."

David berdecak. "Tapi, bagaimana aku bisa mengerti kalau kamu tidak menjelaskannya!" David frustasi menghadapi Autumn yang penuh teka-teki.

Kamu harus mengerti. Kita tidak ditakdirkan bersama," jeda. "Aku harus pergi," ucapnya lemah lalu berbalik meninggalkan David.

David diam. David tidak menahan kepergian gadis itu.

"Pergi saja sesukamu," teriak David membuat langkah Autumn terhenti sejenak. "Kamu pasti tau kalau aku tidak suka menahanmu kalau kamu memutuskan untuk pergi dari hadapanku. Tapi, kamu juga pasti tau kalau aku akan terus mengejarmu sampai aku dapat alasan yang tepat untuk aku berhenti mengejar kamu."

17 Reasons I Love Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang