Hanya memerlukan waktu kurang dari dua menit, mobil Alan sudah sampai di depan garasi rumahnya. Bahkan, saat berangkat ke rumah Davi tadi, Fay Illy, Freyya, dan Verro hanya berjalan kaki. Malam itu, Freyya benar-benar sudah tertidur dalam pelukan Fay Illy saat mereka akan turun dari mobil.
"Fay, biar aku yang gendong Frey. Kamu pasti keberatan," kata Alan.
"Gak papa, biar aku aja yang bawa. Nanti dia malah kebangun kalau pindah," jawab Fay Illy. "Tapi, buka pintunya susah, hehe…," imbuhnya dengan cengiran kaku.
Alan tertawa pelan. "Biar aku bukain pintunya." Ia keluar dan membukakan pintu mobil untuk Fay Illy.
Mang Tarjo menghampiri mobil dan terlambatlat. "Yah, tadi saya yang mau bukain pintunya, bos!"
Alan hanya menatap malas pada mang Tarjo. "Udah, bapak masukin mobilnya ke dalem garasi aja," katanya.
"Siap deh, bos!" Mang Tarjo memberi hormat pada Alan, lalu hormat itu turun saat Fay Illy turun dan tersenyum ramah padanya. "Malem, non Fay...," sapanya.
"Malam, mang Tarjo," balas Fay Illy. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dengan Alan mengiringinya.
Sampai di kamar Freyya, Fay Illy membaringkan Freyya dengan sangat berhati-hati di atas tempat tidurnya, lalu ia membuka sepatu Freyya dan menyelimutinya. Rasa bahagia memuncah di hati Alan saat melihat pemandangan yang begitu manis itu.
Seandainya Freyya memiliki momy lagi, maka Alan menginginkan momy seperti Fay Illy. "Caitlyn, bolehkah aku memikirkan hal seperti itu?" gumamnya dalam hatinya.
Fay Illy memiringkan wajahnya, terheran-heran saat menyadari Alan tengah melongo dengan senyum lebar di bibirnya. Anehnya, tatapan Alan terkunci padanya. "Al?" Ia yang mulai takut melambaikan tangannya di depan wajah Alan. "Kamu gak papa, kan? Jangan bilang kamu kesurupan. Katanya manusia itu suka kesuruapan! Al?!"
Alan mengerjap. "Hah? Kesurupan? Siapa yang kesurupan?" tanyanya linglung.
"Ah...” Fay Illy menghela nafas lega. “kirain kamu kesurupan. Habis kamu bengong sambil liatin aku terus. Aku jadi takut, Al."
Wajah Alan memerah. Ia baru saja ketahuan memperhatikan Fay Illy, tapi gadis polos itu malah berpikir ia kesurupan. Menggelikan! "Oh, aku… cuma lagi cape aja, makanya ngelamun.” Ia tertawa kaku. "Tapi, apa katanya? Manusia suka kesurupan?" pikirnya, heran. Pasalnya, Fay Illy mengatakan itu seolah ia bukan manusia. Ia pun memilih untuk menganggap itu sebagai salah satu dari ekian banyak keanehan Fay dan melupakannya.
"Oh..." Fay Illy hanya membentuk huruf O di bibirnya.
Sementara Fay Illy duduk di sebelah Freyya sambil mengusap rambutnya, Alan beranjak ke meja belajar saat melihat kanvas lukisan Freyya masih belum bergeser sejak terakhir kali ia akan membukanya. "Oh, iya. Lukisannya gimana, sih? Sampai Frey bikin Davi nangis gara-gara ngambil lukisan ini."
Fay Illy tidak menjawab dan sama sekali tidak merasa ada yang harus ia cemaskan di situ. Ia bahkan lupa mengenai lukisan sosok dirinya yang membuatnya terkaget-kaget. Tapi, saat Alan sudah membuka kanvas itu, sosok Fay Illy menghilang tertelan udara di ruangan itu.
Alan terperanga saat melihat keseluruhan lukisan di atas kanvas berukuran dua kali lipat dari buku gambar itu. Matanya terbelalak. Sosok dalam lukisan itu sama dengan gadis yang ia lihat di dasar laut, sosok menakjubkan yang membuat perasaannya diliputi keajaiban. Sayangnya, lukisan itu tidak sempurna, tanpa wajah yang seharusnya bisa mengungkap jati diri sosok itu.
"Ini... perempuan ini… yang di dasar laut itu, kan? Berarti aku gak mimpi!" Alan berkata nyaring, berharap Fay Illy akan percaya padanya. Tapi, saat ia menoleh, Fay Illy sudah tidak ada di sebelah Freyya. "Fay? Kamu ke mana?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fairy For Daddy
ФэнтезиSeandainya peri itu nyata... Bukan, bukan seandainya Memang nyata... Peri cantik yang hanya dengan goresan senyumnya sanggup melukis pelangi dari uap awan mendung.... Peri cantik yang hanya dengan sentuhan jemarinya sanggup menghidupkan kembali kel...