2_ Daddy's Tears

5.7K 495 23
                                    

“Frey, Freyya!” Pagi-pagi itu, Alan sudah mencari Freyya ke setiap sudut rumahnya. Rumah luas bergaya minimalis dengan sedikit sentuhan Eropa classic. Tapi, putrinya itu tidak ada di mana pun.

Sementara itu, di halaman belakang….

"Keluar...! Jangan ngumpet, peri!" Suara mungil Freyya tidak henti berteriak, memanggil peri yang ia yakini ada di sekitar pohon akasia. "Peri...." Tapi, Volume suaranya perlahan mengecil saat ia sendiri mulai ragu.

Sang peri sepertinya sudah terbang kembali ke langit dan meninggalkan pohon akasia besar di belakang rumahnyanya itu. Seperti itulah pikir Freyya. Freyya tertunduk kecewa. Ia kemudian duduk bersandar di belakang pohon akasia, kembali bertopang dagu di antara kedua lututnya yang ia peluk. Wajahnya kembali datar dengan pandangan kosong, tapi bibirnya tetap melengkungkan senyum samar.

Alan keluar dari pintu kaca besar yang baru saja ia geser. “Frey, kamu di mana?!”

Aneh. Biasanya, jika tidak ada di dalam rumah, Freyya dipastikan tengah duduk di hamparan rumput hijau, di halaman belakang itu. Tapi, kali ini Alan mulai panik saat tidak mendapati putri mungilnya di sana. "Freyya!"

Alan berlari ke pohon akasia. Tanpa sengaja, ia menoleh dan mendapati Freyya bersembunyi di sana. Akhirnya, ia bisa bernafas lega. "Sayang, kamu ngapain di sini? Dari tadi dady panggil kamu, kenapa gak jawab?" tanyanya sambil berjongkok di samping Freyya.

Freyya memang sudah mendengar suara dady-nya memanggil-manggil, tapi ia tetap diam di balik pohon. "Frey lagi nungguin perinya di sini. Dady jangan berisik, nanti perinya gak mau datang lagi," sahutnya sedikit berbisik.

Peri lagi. Pagi itu Alan harus mendengar bualan Caitlyn melalui celoteh polos Freyya tentang peri, dan ia muak dengan itu. Tapi, Alan tetap berusaha mengendalikan dirinya di depan Freyya. "Sayang, sekarang kamu mandi, ya? Kita harus ke sekolah. Beberapa hari kemarin kan, kamu bolos gara-gara hujan."

Freyya menggeleng pelan. "Aku masih mau nunggu perinya di sini. Momy gak bohong, momy beneran kirim peri buat kado ulang tahun aku, dady. Pasti perinya dari kemarin nungguin aku di sini. Coba aja gak hujan, pasti aku udah ketemu perinya."

Alan benar-benar sudah lelah mendengar semua hal tentang peri. Baginya, itu hanyalah kebohongan besar. "Freyya! Peri itu gak ada! Momy kamu itu bohongin kamu! Dia bohong!" Suara bentakannya lolos tak terkendali.

"Satu-satunya peri yang kita punya udah pergi, Frey! Peri kita itu momy kamu, dan dia udah pergi selamanya!" Alan bangkit dan menatap Freyya nanar dengan air mata tertahan.

Freyya hanya menatap dady-nya dengan tatapan rumit. Wajahnya kembali kosong tanpa ekspresi. Seperti biasa dan selalu seperti itu. Kemudian, Freyya kembali bertopang dagu di lututnya, seolah Alan sudah tidak ada di sana. Ia benar-benar mengabaikan dady-nya yang baru saja meledak dalam emosinya.

Alan menarik nafas berat dengan bahu gemetar. Ia tidak tahu sampai kapan Freyya akan seperti itu. Akhirnya, ia tidak tahan dan meninggalkan Freyya di sana untuk menyembuntikan air matanya.

"Dady jahat...." Freyya barulah bergumam saat Alan sudah pergi. "Momy cuma pergi sebentar, nanti juga kembali lagi."

Tepat di depan wajah Freyya, nyaris tanpa jarak, wajah pilu Fay Illy begitu terpancar dari tatapan mata amber-nya. Ia tidak tega melihat sosok mungil itu. Jemari lentiknya menyentuh kening Freyya dan terus bergerak melewati hidung bangir, bibir mungil, dan kemudian berakhir di dagu runcing Freyya.

"Maaf, karena aku terlalu asik menurunkan hujan, kamu sampai tidak mau keluar rumah beberapa hari kemarin," sesal Fay Illy dengan suara berbisik dan tidak ia perdengarkan pada Freyya. Seperti juga wujud perinya yang kembali ia sembunyikan dari penglihatan Freyya.

Fairy For DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang