22_ Black Magic?

3.3K 341 36
                                    

Sebuah katalog berukuran besar, bersampul siluet brides sudah siap di tangan Tiara. Sementara Aria, ia menenteng kotak peralatan profesi mulianya. Sebelum keluar dari kamar yang cukup luas dengan design Eropa classic, mereka sesaat terdiam dengan perasaan tidak enak.

"Aku takut Niki nekat ngelakuin hal aneh-aneh," ujar Tiara pada Aria.

"Ya... adik semata wayang kamu itu emang suka aneh-aneh, sih..." sahut Aria. "Tapi, masa dia sampai nekat ngerusak acara pernikahan Alan sama Fay?"

Tiara memasang mimik ngeri. "Kalau iya gimana?"

"Jangan mikir sejauh itu. Lagian itu kan adik kamu, ya kamu donk, yang bilangin ke dia. Kamu nasehatin dia baik-baik."

"Tapi, di telpon aja tadi dia kedengeran marah banget, mas. Mana dia tuh, kalau lagi marah paling susah dibilangin. Percuma dinasehatin kayak apa juga gak mungkin didenger, yang ada kita yang kena semprot."

"Hmmm! Wajar kalau dia kecewa sampai marah gitu, namanya juga patah hati. Tapi, ya mau gimana lagi? Dia harus dipaksa terima kenyataan."

"Mamah! Papah! Ayo, cepetan!"
Suara teriakan Davi dari halaman depan memaksa Aria dan Tiara mengakhiri percakapan mereka.

"Urusan Niki kita pikirin nanti aja, sekarang kita cepat-cepat ke rumah Alan buat bantuin persiapan mereka. Kamu juga mau ngasih lihat gaun-gaun rancangan kamu ke Fay, kan?" tanya Aria. "Nah, aku juga mau sekalian ngasih suntikan imunoglobulin buat Freyya."

Mereka bergegas ke luar, menyusul Davi yang kedengarannya sudah sangat tidak sabar ingin menemui Freyya.

~~~

Control room di lantai 7 sebuah label musik ternama tampak sepi dengan pintu terbuka. Hanya ada Verro yang tengah duduk bersantai sembari mendengarkan hasil aransemennya melalui headphone. Ia meresapi setiap detail terkecil bunyi instrumen yang didengar hingga matanya tak mau terbuka. Kepalanya sesekali mengangguk, menggeleng disertai tangan yang bergerak seperti seorang conductor yang tengah memimpin sebuah orkestra.

"Verro!"

Verro bergeming. Bahkan, tidak mendengar panggilan itu. Ia hanya mencium bau parfum yang sangat ia kenali. Jadi, hidungnya yang sekarang kembang-kempis.

"Verrooo!!!"

Panggilan kedua itu disertai tepukan keras di kedua bahunya, lebih tepat disebut guncangan hebat. Punggung Verrel terlonjak dari sandaran kursi. Ia menoleh dan mendapati wajah cantik namun mengerikan. "Mak Lampir!!!" celetuknya, nyaring dan spontan.

"Apa lo bilang?! Gue? Mak Lampir?!" Niki mendekatkan wajah marahnya ke depan wajah Verro.

"Ni-niki?" Verro meneliti wajah Niki seperti meneliti penampakan hantu atau sejenisnya. "Kenapa lo tiba-tiba muncul di sini?"

Niki kontan bereaksi mengeluarkan asap panas tak kasat mata dari hidungnya. Beruntung tidak bertanduk pula. "Nyebelin banget lo! Secantik ini lo bilang mak Lampir!? Gak suka lo liat gue di sini, huh?!"

"Hmm… barusan gue spontan aja. Abis lo ngagetin!" Verro mendelik malas sembari membuka headphone-nya. "Emang lo kayak mak Lampir, sih!" imbuhnya berbisik, seraya memalingkan wajah dari Niki.

"Apa lo bilang?!"

"Enggaaaak!" elak Verro malas. "Langsung aja, deh! Ngapain lo ke sini? Lama gak dengar kabar lo, gue pikir lo masih betah menyepi di negri antah berantah!"

"..."

Karena Niki tidak juga menjawab, Verro pun menyimpulkan sendiri. "Ohh... pasti ada berita besar yang sampai ke telinga lo, sampai maksa lo pulang. Iya, kan?"

Fairy For DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang