"Sarapan"

507 15 1
                                    

Pipipipip pipipipip pipipipip

"Hnghh... ungh..."

Pipipi... pip !

Aku mendengus puas setelah berhasil mematikan alarm dan bergelung lagi dalam selimutku membelakangi jendela kamarku. Samar-samar aku mencium aroma Telur dadar dan Nugget steak.

"Hhh!" aku mengerjabkan mataku berkali-kali. Kamarku masihredup. Tirai jendela kamarku masih tertutup rapat, berjuang keras menahan cahaya matahari yang mendesak ingin masuk. Aku menggaruk-garuk kepalaku. Rambutku yang masih diekor kuda acak-acakan. Aku juga masih memakai celana jins dan jaket kulit.

Samar-samar aku mendengar suara ribut-ribut diluar. Aku memaksa duduk lalu melepas ekor kuda rambutku. Begini lebih baik. Aku turun dari ranjang lalu berjalan mendekati jendela kamarku. Aku membuka sedikit tirai jendela kamarku dan mengintip keluar. Di luar aku melihat seorang pria lusuh sedang mengomel di pekarangan rumah dan wanita tua di hadapannya berusaha menenangkan pria lusuh itu.

Lama-lama aku mencium aroma gosong. Aku berbalik meninggalkan jendela kamarku lalu menjerit dengan segenap jiwa dan raga. "Bik Mah !!"

....

"Ma, maaf non. Tadi Tuan Besar marah-marah di depan karena minumannya habis. Imah kelupaan soal sarapannya non. Imah benar-benar minta maaf"

Aku mengernyit sambil memperhatikan Bik Mah yang mati-matian meminta maaf padaku. Sudah 10 tahun beliau bekerja di sini dan aku cukup terbiasa dengan sifat cerobohnya ini. Caranya meminta maaf yang mati-matian yang seperti ini juga menjadi menu sarapan rutin buatku.

Pernah aku membentaknya dan Bik Mah terus mengekoriku meminta maaf dan tidak akan berhenti sampai kumaafkan. Dari situ aku belajar 3 hal, kalau Bik Mah mulai meminta maaf mati-matian, pertama, dengarkan saja, kedua, jangan hiraukan, kalau sudah eneg ketiga, anggukkan kepala. Aku menganggukkan kepala barulah Bik Mah berhenti mengoceh. Bau gosong masih tercium dimana-mana.

Pria lusuh yang tadi ribut-ribut di luar entah pergi kemana. Baguslah.

"Obat"

"Ya, non ?"

"Obat" ulangku. Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menekan-nekan pelipisku

"Oh, iya, iya, non, tunggu sebentar... eh, tapi non harus makan dulu, biar Imah buatkan sarapan lagi ya non..."

"Obat ! Aku cuma bilang obat ya obat ! Gak pake‟ sarapan-sarapan segala !"

"Tapi non..."

"Halah, nggak usah tapi-tapian ah. Kalo‟ gak bisa ambil ya bilang aja gak bisa, aku ambil sendiri !" bentakku kasar. Aku nggak peduli sudah menyenggol Bik Mah sampai nyaris jatuh dan terus ngeluyur ke dapur. Bik Imah hanya mengelus-elus dada sambil menahan tangis.

...

"Riki ! Riki ! Kamu dimana nak ?"

Riki yang sedang sibuk menyiram bunga langsung mendongak kaget. Buru-buru Riki mematikan kran air dan meletakkan selang di dekatnya. Riki asal melap tangannya dengan celana training abu-abu miliknya lalu berjalan agak terburu-buru ke dalam rumah.

"Astaga, Riki, kamu kemana aja sih nak, tiba-tiba hilang gitu aja"

Riki menoleh lalu terkikik geli "Dari depan Bun, nyiram bunga kok. Aku nggak apa-apa"

Ibu muda yang akrab dipanggil Bunda Rama itu tersenyum simpul sambil mengusap-usap kepala putra sulungnya itu.

"Bunda ada perlu apa ya panggil Riki tadi ?" tanya Riki. Bunda Rama masih asyik mengusap-usap kepala Riki. Tidak lama kemudian Bunda Rama menghela nafas panjang

"Sarapan yuk, Bintang sudah berangkat. Dia menolak sarapan bareng lagi" ajak Bunda Rama. Tampak sekali raut kecewa di wajah beliau yang mulai menua.

"Bintang bawa bekalnya kan Bun ?" tanya Riki

"Sudah. Begitu turun Bintang langsung mengambil bekalnya di dapur dan lekas pergi" ujar Bunda sambil menghela nafas panjang.

Riki tersenyum simpul. Ia mengerti alasan dari semua sikap anti adiknya ini.

"Yaudah deh Bun, sarapan yuk. Hari ini sarapannya apa ?"

Bunda Rama tersenyum kecil lalu menjawab "Nasi goreng, nugget steak, dan telur dadar"



Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang