"Berat"

147 7 0
                                        

Riki membereskan buku-buku-nya saat kuliahnya selesai. Beberapa temannya menyapanya. Ada juga yang memberinya sebatang coklat dan sekeranjang buah-buahan atas kesembuhan Riki keluar dari rumah sakit. Tentu Riki tidak menceritakan apa-apa soal penyakitnya.

Handphone Riki bergetar dan nama Theo terpampang di layarnya. Riki mengangkat telepon dari Teho

"Hei, kuliahmu udah selese ?"

"Udah barusan" jawab Riki

"Aku tunggu di tempat biasanya ya"

"Oke"

Panggilan diputus oleh Theo. Riki menghembuskan nafas panjang lalu bangkit berdiri dan beranjak menuju pintu ruang kelasnya dan saat itulah badannya berulah.

Badan Riki kaku, sama sekali tidak bisa bergerak. Di saat bersamaan teman sekelasnya sedang berlari masuk dan tidak sengaja menubruk bahu Riki. Badan Riki terbanting ke arah tembok dan jatuh.

"Rik ! Waaah, sori, gue gak sengaja. Lo gapapa, Rik ?" tanya temannya itu

Riki tidak menjawab. Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Wajah Riki pucat pasi. Gejalanya kumat. Nafas Riki kacau karena panik. 'Tidak ! Jangan sekarang ! Ayo bergerak, bergerak !' perintah Riki dalam hati.

"Rik ? lo gapapa kan ? Lo luka ? Kepala lo kebentur lagi ?" tanya temannya ikut panik. Beberapa pasang mata mulai menatap Riki dan berkerumun mengelilingi Riki

"Rik, lo nggak papa ?"

"Rik ? Bisa berdiri ?"

"Hei, Riki kenapa ?"

Riki tidak menjawab satu pun pertanyaan yang tertangkap oleh telinganya. Rasa takutnya langsung mengambil alih tubuhnya. Wajah Riki pucat pasi. Pikirannya penuh oleh kenyataan bahwa Ataxia miliknya sudah cukup menggerogoti tubunya.

"Spinocerebellar Degeneration atau bisa juga kita sebut sebagai Ataxia adalah penyakit yang menyerang otak kecil. Dari hasil pengecekan yang sudah kami lakukan ada beberapa masalah pada otak kecilmu dan juga tulang belakang, hal ini akan menyebabkan gangguan pada syaraf motorikmu dan lama-lama kau akan kehilangan kendali terhadap syarat motorikmu. Gejala yang umum terjadi adalah kau tidak akan bisa bicara saat kau menginginkannya dan kau juga tidak bisa bergerak saat kau ingin bergerak, tapi penyakit ini tidak akan berpengaruh pada kecerdasanmu. Aku mengerti ini kejam bagimu... tapi kami bisa memperlambatnya..."

"Riki !!"

...

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kuliahku usai lebih awal karena Bu Ningsih sedang ada keperluan mendadak. Aku melangkah menuju bangunan Farmasi UI dan berhenti begitu kakiku menginjak taman.

Keputusaku bulat. Aku harus menemui Riki, sekarang juga atau tidak sama sekali.

Beberapa pasang mata yang mengenali sosokku langsung mengernyit begitu melihatku melangkah masuk ke bangunan Farmasi. Aku tidak peduli dan langsung menerobos anak-anak kuliahan yang lebih senang bergosip menatapku dibandingkan fokus dengan tugas-tugas mereka.

Aku berdiri diam di tengah-tengah koridor. Aku tidak tau Riki ada di kelas mana. Aku langsung menepuk jidatku menyadari kebodohanku sendiri. Aku langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Rasanya aneh untuk bertanya pada anak-anak Farmasi, secara, kesan yang menempel padaku bukanlah kesan baik.

"Aku harus gimana sekarang ?" gumamku pada diriku sendiri.

Tiba-tiba saja aku mendengar suara keributan dari arah belakang. Aku berbalik dan mendapati beberapa orang berkerumun di depan sebuah kelas. Aku langsung melangkahkan kakiku mendekati kelas tersebut dan berusaha menerobos kerumunan.

Mataku membelalak begitu melihat Riki dalam posisi duduk dengan bahu menyandar pada tembok. Wajah Riki pucat pasi. Orang-orang di sekitar Riki tampak sibuk menginterogasi Riki tanpa memperdulikan kondisi Riki.

"Riki !"

Aku langsung mendorong bahu orang yang menghalangi langkahku dan menghampiri Riki.

"Riki !!"

Bola mata Riki langsung bergerak menangkap sosok yang baru saja memanggil namanya. Matanya membalalak kaget melihatku berdiri di hadapannya.

Aku langsung menghampiri Riki dan jongkok di sampingnya

"Ken... napa... kau..."

Aku langsung memapah Riki dan membantunya berjalan keluar kelas.

"Hei ! Kalian jangan hanya liat saja ! Cepat panggil ambulans !!" bentakku kesal melihat orang-orang ini bisanya hanya berkerumun saja. Satu orang yang cepat tanggap langsung mengeluarkan handphonenya dan menelpon ambulans. Beberapa orang langsung sigap memapah Riki dan membawanya keluar gedung Farmasi.



Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang