"Pergi"

140 7 0
                                    

Riki membuka matanya perlahan-lahan dan yang dilihatnya pertama adalah atap yang dicat putih dan sosok Theo yang sedang menatapnya agak kaget.

Riki berkedip sekali sebelum memperhatikan wajah suntuk Theo yang sekarang sedang membalas tatapannya dengan senyumannya

"Selamat datang. Gimana perjalanan panjangmu ? menyenangkan ?"

Riki berkedip beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup matanya lagi dan bertanya

"Berapa lama aku nggak sadarkan diri ?"

"Seminggu kurang 2 jam. Siapa sangka begitu adiknya keluar dari rumah sakit karena gegar kotak eh, kakaknya menyusul dengan perkara sama malah lebih pulas-an kakaknya ketimbang adiknya"

Riki masih memejamkan matanya dan tidak ambil pikir dengan sindiran Theo. Pikirannya masih merangkai serpihan-serpihan ingatan yang terakhir kali diingatnya.

"Tara ?"

Pertanyaan Riki kali ini tidak langsung dijawab oleh Theo. Theo sempat diam sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Tiap sore dia datang berkunjung ke sini dan pulang pukul 8 malam. Tadi juga dia datang kemari"

"... dia... sudah tau... ?"

Kali ini Theo membutuhkan waktu lebih lama untuk menjawab padahal jawabannya jauh lebih singkat

"... ya..."

Riki menghembuskan nafas berat. Jemari tangannya yang tersembunyi di bawah selimut mengepal kuat sebagai bentuk amarah yang saat ini berusaha ia pendam.

"Kenapa aku, Te ?, kenapa harus aku ?" gumam Riki mengungkapkan amarah yang sangat sulit ia pendam. Air mata Riki mengalir menyusuri pipinya dan jatuh di permukaan bantal.

Theo yang melihat untuk pertama kalinya sahabatnya mempertanyaan alasan dibalik penyakit yang merenggut tubuhnya hanya bisa tertunduk diam. Theo mengenal Riki sebagai sosok yang tangguh. Ia selalu bisa menerima cobaan macam apa pun bahkan sampai penyakit ini perlahan menggerogotinya pun Riki masih bisa bertahan.

Ungkapan hati sahabatnya yang bahkan untuk pertama kalinya Theo dengar sebagai sahabat karibnya terdengar sangat menyayat hati. Theo tidak berusaha menghibur karena ia sendiri belum memegang kepastian. Theo tidak ingin membebani sahabatnya dengan harapan palsu.

Bahkan Theo sendiri pun mulai menjerit dalam hatinya.  'Kenapa harus Riki ?!'

...

Aku turun dari motor Albert begitu tiba di pelataran rumah sakit. Albert yang tiap hari mengantarkanku hanya menatapku dengan tatapan kosong. Aku pun tidak mempertanyakan arti tatapan itu.

Aku masih ingat saat Albert mengatakan padaku kalau ia mengerti penyakit yang diderita Riki. Albert tahu dari kenalannya yang merupakan perawat di rumah sakit tempat Riki biasa dirawat.

"Kenapa lo gak cerita ke gue ?!"

"Kenapa gue harus bilang ke lo kalau orangnya sendiri nggak mau cerita ke lo"

"Apa gunanya nyembunyiin semua ini dari gue. Lo harusnya tau itu"

"Memang kalau aku katakan yang sebenarnya padamu apa kau akan meninggalkan Riki ?" Pertanyaan Albert itu sesungguhnya dipenuhi sebuah harapan namun harapan itu langsung jatuh saat Tara menggeleng keras-keras.

Apa pun yang Albert katakan Tara terus menggeleng dari awal sampai akhir pembicaraan mereka

usai.

"Thanks" ucapku datar meski sesungguhnya aku memiliki niat saat mengucapkan itu.

Albert hanya mengangguk kecil.

Aku berbalik dan melangkah memasuki pelataran rumah sakit, tidak memperhatikan tatapan tajam Albert yang mengikuti langkahku.

Aku tiba di depan kamar Riki sekitar pukul 5 sore. Begitu gagang pintu kubuka aku langsung melangkah masuk sambil menunduk dalam.

Meski sudah seminggu aku berkunjung kemari tanpa absen aku masih merasa berat setiap kali melihat wajah tidur Riki. Aku baru berani mendongak begitu aku menginjakkan langkah ketigaku dan aku langsung membelalak melihat Riki dalam posisi duduk sedang menatapku dengan senyum hangat

"Hai"

Aku kehilangan kata-kataku. Riki masih tersenyum menatapku, menungguku merespon.

"Rik..."

"Hm ?"

Aku terdiam. Senyumnya yang normal, sikap tubuhnya yang normal, tatapannya yang normal, semuanya tampak biasa-biasa saja seperti tidak ada yang terjadi dan aku akan menganggap demikian andaikan tidak ada selang infus yang tersambung ke lengannya.

Entah sejak kapan air mataku sudah menggenang di pelupuk mataku. Cahaya matahari sore yang hendak kembali ke peraduannya membuat mataku silau dan reflek membuatku berkedip sehingga air mataku mengalir turun dengan mulus sampai ke dagu.

Beberapa butir air mata mengikuti dan aku hanya bisa berdiri diam membiarkanku dilihat oleh Riki dalam keadaan menangis.

Aku melangkahkan kakiku menekati Riki dan langsung memukul dada Riki.

Sekali, dua kali, tiga kali, seolah tidak puas aku terus memukulkan tanganku ke dada Riki dan Riki sama sekali tidak berniat untuk menghentikanku.

"Kamu ngerti seberapa cemasnya aku ?"

"Hm-mh"

"Kamu ngerti aku sedang marah sama kamu ?"

"Hm-mh"

"Kamu tau betapa paniknya aku, bunda, sama Bintang waktu kamu jatuh itu ?"

"Hm-mh"

"Kamu tau kalo kamu itu udah keterlaluan ?! Kamu nggak cerita apa-apa !"

"Hm-mh"

"Kamu juga ngerti kalo‟ aku itu sayang sama kamu ?!"

Aku mendongak menatap Riki. Riki tidak menjawab pertanyaanku kali ini membuatku menghentikan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Tangisku pecah, aku menundukkan kepalaku lagi, kedua tanganku meremas baju Riki dan Riki hanya diam saja, tidak tampak ingin merespon apa-apa.

...

Riki menunduk menatap rambut Tara yang lurus panjang melewati pundak tergerai dan Riki bisa mencium aroma sampo yang membuatnya harus mati -matian menahan tangannya untuk tidak mengusap kepala Tara. Pundak

Tara naik turun seiring dengan suara isak tangisnya membuat Riki yang melihatnya harus benar-benar menahan diri untuk tidak memeluk gadis di hadapannya. Dadanya mulai terasa hangat karena pakaiannya yang basah oleh air mata Tara.

Setelah tangis Tara mereda, Riki langsung mengangkat wajahnya dan menatap kosong pintu ruang inapnya

"Tara... kamu mau denger permintaanku ?" ucap Riki akhirnya

Tara yang mendengar itu langsung mendorong tubuhnya mundur dengan wajah menunduk tertutup oleh gerai rambutnya.

Riki menatap Tara agak lama. Wajah sembab gadis itu sempat terbayang di kepalanya tapi tangannya urung menghapus genangan air mata di kelopak mata Tara.

Riki menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan

"Tolong lupakan aku. Tolong jangan ikut campur urusanku. Tolong... jangan temui aku lagi"




Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang