"Parah"

198 8 0
                                        

Riki mendorong kursi rodanya perlahan menyusuri koridor bangunan Farmasi, tidak peduli dengan anak-anak yang entah sejurusan atau dari jurusan lain menatapnya sambil berbisik. Penyakitnya sudah tersebar luas. Kita tidak bisa menyalahkan kekuatan gosip apalangi di antara anak kuliahan, cepatnya mengalahkan kecepatan shinkansen.

'Setidaknya ini sudah mendingan' batin Riki

"Hei, Rik. Mau pulang ?"

Riki mendongak. Theo sudah berdiri di depan pintu farmasi dengan Tara yang tampak sibuk membaca notes kecil di tangannya. Wajah Theo dihiasi oleh plester di bagian kanan bawah bibir. Beberapa luka lebam yang ada di tangannya tertutup oleh cardigan yang jarang-jarang Theo gunakan. Melihat Theo yang biasanya menggunakan kaus lengan pendek dengan cardigan ini membawa kesan baru di mata Riki.

Tara yang sejak tadi hanya diam memperhatikan langsung menutup notes-nya dan tersenyum lebar menatap Riki. "Riki !"

Riki tersenyum dan membiarkan Tara mengambil alih kursi rodanya. Sempat Tara berkelit dengan Theo dan akhirnya Tara yang menang. Riki angkat tangan saja dengan keputusan kedua sohibnya itu.

"Jadi... ke tempat Bli Wayan ?"

"Boleh, kamu gimana Rik ?"

"Up to you guys"

"Oke, aku duluan ya, booking tempat sama pesen dulu biar cepet" ujar Theo sebelum berlari melewati kerumunan. Gerakannya yang ringan dan mulus melewati kerumunan tanpa menabrak seorang pun sempat membuat Riki agak iri.

"Cih, dasar tuh anak, gak punya kelebihan lain selain kakinya, otaknya tuh kayanya emang butuh dibedah" ujar Tara membuyarkan lamunan Riki.

Riki tertawa sambil mengangguk. Dalam hati Riki berterima kasih karena Tara sudah mengalihkan pikiran jeleknya terhadap Theo.

"Eh, buku yang kamu bawa kemarin sudah aku baca semua loh" ujar Riki membuka percakapan

"Eh, masa‟ sih ? Aku aja butuh seminggu full buat ngabisin tuh buku. Sampe sekarang pun aku nggak ngerti isi ceritanya apa"

"Lha, ngapain kamu ambil tuh buku ? Kesannya nggak Tara banget" ledek Riki sambil tertawa.

Tara merengut. Apa novel romance segitunya nggak cocok buat Tara ? Gitu-gitu Tara masih cewe‟ tau !

"Ya, maaf ! Jangan-jangan otak kamu tuh jenius kali ya, nggak, otak dewa kali ! Aku nggak bisa baca, eh, kamunya bisa"

Riki tertawa makin keras. "Kenapa sih omonganmu selalu aja larinya ke otak. Nggak heran anak neurologi !"

Tara tertegun sebentar. Sepertinya kaget dengan fakta yang selama ini tidak pernah ia sadari dan itu membuat tawa Riki makin keras.

Keduanya sampai di kantin UI dan mendapati Theo duduk di meja yang agak jauh dari kios bli Wayan. Yah, jam segini kantin UI pasti lagi rame-ramenya. Tara mendorong kursi roda Riki sampai ke samping Theo yang tanpa kursi. Theo pasti sudah memindahkannya duluan. Riki tersenyum dan mengucapkan terima kaih dibalas Tara dengan senyuman pula barulah Tara duduk di kursi samping Riki.

Selang beberapa menit Bli Wayan datang dengan 3 piring mie ayam dan 3 gelas es teh. Tara, Riki, dan Theo kompak mengucapkan terima kasih dan dibalas dengan salam hormat Bli Wayan sebelum beliau beranjak kembali ke kiosnya.

Mie ayam yang mereka makan habis agak lama karena ketiganya lebih asyik mengobrol dan tertawa, tidak luput juga pertengkaran kecil antara Tara dan Theo. Kalau sudah begitu Riki akan mengambil bakso dari mie ayam Tara atau Theo untuk menghentikan pertengkaran kecil itu dan berakhir jadi saling curi-mencuri bakso. Setelah bakso di tiap-tiap mangkuk habis, ketiganya akan tertawa terbahak-bahak merutuki kebodohan masing-masing.

Saat pulang Theo akan mengantar Tara pulang ke rumah dan Riki pulang bersama Pak Jo. Di dalam mobil Riki langsung mengeluarkan handphonenya dan mengetikkan sebaris pesan melalui WhatsApp.

-Te, ada yang mau aku omongin. Tapi jangan beritahu Tara dulu-

Riki menghembuskan nafas lalu memejamkan matanya menunggu balasan. Suara ringtone masuk membuat Riki spontan membuka mata dan menatap layar handphonenya

-Oke. 30 menit lagi aku ke rumahmu-

Riki duduk di kursi rodanya menghadap jendela sambil membaca ulang novel yang dibawakan Tara untuknya. Kisah cinta yang manis antara seorang gadis dengan latar belakang yang kacau dengan pemuda dari keluarga terpandang. Cerita yang mengingatkan kita kepada kisah cinta terlarang Romeo Juliet tapi dikemas sedemikian rupa hingga tidak membuat para pembaca menganggapnya copy-an Romeo Juliet. Riki tersenyum mengingat Tara tidak mampu memahami kisah cinta dari novel yang dibelinya sendiri. Senyum sedih sempat tersungging di bibirnya saat dirinya tersadar, bukan dia yang akan mengajarkan manisnya cinta kepada Tara.

"Hei, Rik"

Riki mendongak dan tersenyum. Pas 30 menit. Andai semua orang Indonesia seperti Theo, tidak lagi memakai jam karet.

"Hei, maaf aku jadi nyuruh kamu bolak-balik" ucap Riki

Theo mengangkat bahunya lalu duduk di pinggir rajang Riki "Nggak masalah lagi, selama itu permintaanmu, apa pun akan kukabulkan" Theo menatap langsung mata Riki dengan senyumnya yang selalu menyenangkan.

Riki balas menatap Theo dan tersenyum. Sungguh suatu karunia besar bisa memiliki Theo sebagai seorang sahabat.

"Aku... mau ketemuan sama Albert"

Theo langsung melotot kaget dan sempat hendak memprotes tapi ditahannya. Riki pasti punya alasan bagus untuk mengatakan itu.

"Aku nggak mau semuanya berakhir nggak jelas kayak gini. Aku ingin ngomong baik-baik dengan Albert. Aku mau selesain tanpa ada beban baik buat Albert juga buat aku. Total, benar-benar selesai total"

"Rik, kamu harusnya tau Albert itu orang yang seperti apa"

"Aku ngerti" Riki menarik nafas lalu menghembuskannya "Aku mau selesain semua masalah aku. Aku pingin pergi tanpa beban apa pun"

"Rik, kamu nggak seharusnya ngomong..."

"Semua orang akan mengalaminya, aku, kamu, Tara, juga Albert. Hanya waktunya yang berbeda-beda. Aku harap kamu ngerti, Te"

Theo menghembuskan nafasnya. Theo yang paling mengerti Riki dan Riki yakin soal itu. "Bagaimana dengan Tara ? Kamu mau nyembunyiin ini dari Tara ?"

Riki tersenyum "Aku akan ngomong langsung ke Tara setelah semua ini selesai. Lagipula ini masalah sesama cowok, nggak seharusnya cewek disangkut pautkan, meski yah, biang keroknya sih dia"

Theo tertawa mendengar kalimat terakhir Riki. "Aku nggak bisa bayangin muka Tara saat ndengerin kamu ngomong kayak gitu"

"Dan jangan sampai Tara nunjukin sembarangan. Untuk saat ini cuma aku yang boleh lihat" balas Riki sambil menyeringai iseng

Theo membalas seringaian Riki "Di luar dugaan lo tuh posesif"

Riki tertawa "Bukan posesif, gue cuma nggak bisa main sportif"

Theo mendengus geli

"Tambah parah"



Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang