"Hilang"

130 4 0
                                    

"Kak Tara ! Kalau kakak membutuhkan sesuatu panggil aku saja !"

"Ah, umh. Terima kasih" jawabku spontan. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang yang baru. Aroma detergen sprai yang baru juga suasana kamar yang baru. Berbeda dengan di Jakarta yang panas, di sini lumayan sejuk.

"Ah, Kak Tara. Aku hampir lupa"

Aku langsung mendudukkan diri dan menatap anak gadis yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamar. Rambutnya diikat samping dengan senyum ceria yang menyenangkan untuk dilihat.

"Hari ini papa pulang larut jadi malam ini kita hanya makan berdua. Kak Tara ingin makan apa ?"

"Oh, apa saja boleh. Maaf ya merepotkan"

"Nggak apa-apa kok. Nana senang akhirnya ada yang menemani di rumah. Papa selalu pulang larut jadi Nana agak kesepian"

Aku tersenyum. Kebiasaannya memanggil diri dengan namanya itu terdengar lucu. Aah, aku ingat tante Lala juga sering memanggil diri dengan namanya.

Nana tersenyum padaku lalu melesat pergi sambil memanggil-manggil nama Mbak Reksa, pembantunya. Nana adalah sepupuku, putri semata wayang Tante Lala. Tante Lala dan ayahku adalah kakak adik. Tahun lalu Tante Lala meninggal karena kecelakaan, tahun yang sama dengan meninggalnya mama. Aku jadi sadar seberapa berat beban perasaan yang papa tanggung hingga melarikan diri ke alkohol.

Mulai hari ini aku tinggal di rumah kerabat di Malang. Aku masih ingat perbincanganku dengan Papa setelah keributan itu.

Papa masuk ke dalam ruang tamu dengan tampang lelah. Aku sudah duduk di sofa ruang keluarga dengan Bik Mah di sampingku.

"Pa..." panggilku. Aku tidak tau lagi apa yang harus kukatakan. Rasa marah itu jelas ada tapi aku berusaha menahan diri untuk tidak berteriak

Papa menatapku dengan tatapan penuh rasa bersalah. Papa melangkah mendekatiku lalu merengkuhku dengan segenap jiwa. Aku terdiam. Untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun ini papa merengkuhku. Pundakku basah oleh air mata papa.

Tubuh papa sudah tidak sekuat dulu. Tidak setegap dulu. Aku bisa merasakan tulangnya yang dibalut daging dan kulit terasa rapuh. Aku menemukan beberapa helai uban di bawah rambut hitamnya yang berantakan, lama tak dicukur.

Meski secara fisik papa sudah sangat berubah tapi aku masih bisa merasakan rengkuhan ini adalah rengkuhan milik papa. Aku ingat terakhir kali papa merengkuhku adalah waktu mama menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Aah... aku melupakannya karena terlalu syok oleh kematian mama yang tiba-tiba.

"Maaf... Tara, maafkan papa..."

Aku membalas rengkuhan papa. "Tara juga... Tara minta maaf. Selama ini Tara bersikap egois. Tara tidak mau mengerti perasaan papa..."

Papa melepas rengkuhannya dan memegang pipiku dengan kedua tangannya yang kurus "Nggak... papa yang seharusnya minta maaf. Maafkan papa... Tara"

Aku mengangguk. Air mataku sudah meleleh dari tadi. Bik Mah yang sejak tadi hanya menonton ikut terisak.

"... Tara, maaf kalau ini mendadak" Mulai papa tiba-tiba "Maukah kau tinggal di rumah Oom Hadi untuk sementara waktu ? Papa akan menjemputmu kalau semua masalah ini sudah selesai"

Aku terhenyak "Tapi, pa..."

"Tolong mengertilah Tara. Papa minta maaf, ini semua salah Papa. Papa ingin keselamatanmu terjamin. Ya ? Papa pasti akan segera menjemputmu. Tidak akan lama"

Aku tidak mampu membalas perkataan papa. Perkataan beliau sukses membuatku trenyuh. Aku menatap lekat wajah papa sebelum akhirnya mengangguk setuju.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang