"Kak Tara ! Nana pulang !"
Tara langsung mendongak dan melihat Nana tiba-tiba muncul di depan ruang tamu dengan seragam SMA-nya sambil menenteng tas gitar kesayangannya
"Ah, Nana. Sudah selesai sekolahnya ? Gimana di sekolah ?"
"Hehe, Nana kena marah Pak Yoda soalnya diam-diam motret Pak Yoda"
Aku langsung memasang ekspresi curiga "Pak Yoda ? Gurumu ?"
"Iya, PPL sih, PPL kimia"
Aku langsung menggeleng-gelengkan kepala 'Dasar anak SMA' batinku.
"Habisnya Sisil hari ini ada acara keluarga. Dia tadi titip minta fotonya Pak Yoda" kilah Nana sambil memamerkan foto si Pak Yoda ini. Aku tertawa. Ada-ada saja tingkah anak-anak SMA sekarang.
"Terus ya, tadi si Agil... ah, Agil itu sahabatnya Pak Yoda lho. Orangnya hobi motret. Nana nggak nyangka kalau Agil tuh orangnya kacau banget. Masa' ya, tadi Nana mampir ke kos-kosannya dan Nana ngeliat kamarnya Agil itu sumpah berantakan abis"
Aku tertawa sambil terus mendengarkan cerita yang terus mengalir dari mulut Nana. Selama 2 hari terakhir ini topik pembicaraannya selalu saja si Agil ini. Tidak bosan-bosan. Ada sedikit perasaan iri saat mendengar kisah cinta manis seperti ini.
"Pacaran saja" celetukku iseng setengah serius
"Ih, Kak Tara apaan sih !"
Aku tertawa. Jujur, reaksi Nana saat ini sangat manis
"Ah, maaf, Nana jadi ribut sendiri" ucap Nana tiba-tiba memotong ceritanya
"Hm ? Nggak apa-apa kok. Seru aja ndengerin ceritamu" jawabku jujur.
"Permisi, Mbak Tara, Dik Nana, makan malam sudah siap di belakang" ucap Mbak Reksa yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan ruang tamu
"Ah, Nana mau mandi sama ganti baju dulu. Kak Tara makan duluan aja nggak apa-apa kok" kata Nana
Aku menggeleng "Nggak apa-apa. Kutunggu. Aku mau makan malam sambil ndengerin kelanjutan cerita Nana yang eemm..." godaku. Nana langsung cemberut dan mencubit lenganku sebelum melesat pergi ke kamarnya. Aku tertawa melihat wajahnya yang sudah merah padam.
Riki... gimana kabarmu ? Aku kangen...
...
Riki duduk bersandar di kursi kamarnya. Badannya letih setelah melakukan rehab di rumah sakit. Waktu yang dibutuhkannya untuk berjalan dengan berpegangan makin hari makin panjang. 'Waktuku tinggal sedikit, eh' batin Riki lalu memejamkan matanya sambil menghembuskan nafas panjang.
Tiba-tiba saja handphonenya yang ia letakkan di atas meja bergetar, tanda panggilan masuk. Riki mengulurkan tangannya mengambil handphone tersebut dan langsung diangkatnya. "Halo ?"
"Ah, Riki, ini Bunda nak"
Riki langsung menegakkan badannya "Bunda ? Ada apa, bunda?"
"Hari ini Bunda dan Ayah akan pulang larut. Ada masalah di perusahaan Ayah jadi Bunda ikut bantu. Kau dan Bintang tidak apa-apa kan ?"
Riki mengernyitkan kening bingung. Tidak biasanya Bunda sampai ikut campur tangan urusan pekerjaan Ayah. "Tidak apa-apa kok, nda. Tadi Riki sudah cek, Bintang sudah tidur di kamarnya. Kalau boleh tau, ada apa bunda ?" tanya Riki tidak bisa membendung rasa penasarannya
"Sebenarnya... ada kemerosotan pemasokan di apotek. Sepertinya banyak uang yang hilang dan... bunda dan ayah curiga ada orang dalam"
Riki terdiam.
"Riki ? Ada apa ?" tanya Bunda Rama di sebrang telepon
"Bunda sama ayah, ada orang yang sekiranya dicurigai ?"
"Ah, ya. Sebenarnya sudah ada tapi belum ada bukti. Ada apa Riki ?"
"Bunda, ada yang Riki ingin Bunda sama ayah cek... iya... he-eh... kalau begitu ya,
begitu saja... terima kasih Bunda"
Panggilannya diputus barulah Riki menghembuskan nafas lega. Riki memandangi handphonenya masih dengan tatapan bingung sekaligus penasaran.
Riki meletakkan handphonenya kembali di atas meja lalu bergerak pelan-pelan menuju kursi rodanya. Didorongnya kursi rodanya keluar kamar lalu menutup pintu kamarnya. Riki kembali mendorong kursi rodanya menuju kamar Bintang.
Dibukanya pelan-pelan pintu kamar Bintang dan dilihatnya Bintang masih tidur dengan meringkuk. Sepertinya Bintang kedinginan.
Riki beranjak masuk lalu meraih remote AC dan mengecilkan AC-nya. Ditariknya perlahan-lahan selimut yang terlipat rapi di ujung kasur hingga menutupi badan Bintang sampai dagunya. Riki menahan suara nafasnya yang agak terengah-engah agar tidak membangunkan adiknya. 'Padahal cuma memasangkan selimut tapi sudah secapek ini' batin Riki.
Bintang bergerak sedikit, menyesuaikan posisi tubuhnya lalu tenang kembali. Riki sempat terdiam karena kaget. Suara nafas Bintang lembut beriringan dengan gerak naik turun dadanya membuat Riki menghembuskan nafas lega. Diusapnya rambut Bintang perlahan-lahan. Melihat adiknya tidur nyenyak, Riki spontan tersenyum.
Riki beralih memandangi meja belajar Riki. Dilihatnya buku pelajaran biologi yang terbuka dengan tempelan-tempelan sticky note dimana-mana. Di bawah buku pelajaran tersebut terdapat buku tulis yang terbuka dengan persoalan matematika yang belum terjawab.
Riki menatap buku pelajaran dengan tempelan sticky note itu dengan buku tulis tersebut. Riki terkikik geli. Kenapa soal-soal matematika yang tidak terjawab ini justru diselingi dengan buku pelajaran biologi ?
Terbesit dalam pikiran Riki untuk memberi beberapa hint rumus-rumus untuk soal matematika tak terjawab milik Bintang. Riki meraih pensil yang diletakkan di samping buku-buku dan selembar loose leaf kosong. Tangan Riki menggenggam pensil tersebut dan mulai menulis.
Jemari-nya tidak terkontrol. Riki menggenggam pensil tersebut sekuat tenaga agar tidak bergetar dan mulai menulis. Tulisannya kini jauh lebih buruk dibandingkan anak kecil yang baru pertama kali belajar menulis. Riki terengah. Bahkan menulis saja sudah menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan.
Riki menggigit bibir bawahnya menahan kekesalan yang mulai memucak. Dirematnya loose leaf dengan tulisan tidak terbaca tersebut dan mengambil loose leaf baru. Entah sudah berapa banyak loose leaf yang terbuang hanya karena tulisan tidak jelas itu. Tuhan... Ini sungguh menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
Teen FictionNamaku Tara. Aku tidak punya apa-apa. Kupikir aku sudah membuang segalanya, tapi ternyata tidak. Namanya Riki. Entah bagaimana caranya ia mengembalikan apa sudah kubuang mati-matian Saat kupikir kau sudah mengembalikan semua yang sudah kubuang, kau...