"Keteguhan"

170 7 0
                                        

"Ayo, kau bisa Rik. Teruskan saja seperti itu. Ya... begitu..."

Riki mati-matian menopang badannya dengan tangannya. Perawat yang menjaganya terus memberikan semangat kepadanya. Riki terus berjalan dengan menggantungkan bobot badannya pada kedua tangannya.

"Sedikit lagi..."

"Hahh... hh..." Riki menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan. Riki mencoba memfokuskan pandangannya lalu melanjutkan terapi-nya. Kakinya bergerak pelan-pelan, berpijak sekedar untuk membuat badannya tidak oleng

"Oke... kau bisa, Rik"

Riki menghembuskan nafas panjang saat ia tiba di ujung. Riki menoleh ke belakang menatap jalan yang sudah ia lewati. Wajah Riki penuh oleh peluh padahal ia hanya berjalan sejauh 2 m.

Perawatnya yang tadi sempat pergi entah kemana kembali dengan mendorong kursi roda. Riki menatap kursi roda tersebut lalu tersenyum kecut.

...

Aku membaca buku rekomendasi Bu Ningsih di perpustakaan, kegiatan yang rutin kulakukan setiap hari Selasa, Kamis, dan Jum'at dengan Bu Ningsih yang dengan sukarela mau memberiku tambahan pelajaran setiap hari itu.

Bu Ningsih sempat menghilang saat memasuki daerah rak buku meninggalkanku tenggelam dalam buku rekomendasinya. Buku neurologi yang dijamin membuat otak pecah tapi tidak untuk seorang Tara. Aku sudah membulatkan tekadku untuk mendalami subjek ini. Rambutku kupotong pendek sebahu. Poniku kujepit ke kiri dengan jepit batang perak memperlihatkan keningku yang putih bersih. Mataku kini dihiasi dengan kacamata minus. Meski penampilanku berubah 180 jadi terkesan nerd, jumlah orang yang mengusikku malah bertambah dan itu saaangat menyebalkan.

"Bagaimana ? Apa kau mengerti ?" tanya Bu Ningsih yang entah sejak kapan sudah duduk di hadapannya

"Ah, umh. Lumayan. Aku hanya tinggal menghabiskan satu buku ini saat pulang nanti" jawabku sambil memberi pembatas pada halaman yang kubaca lalu menutup buku tersebut

Bu Ningsih menatapku dan tersenyum. Masih terbayang dua bulan lalu aku tiba-tiba menelponnya dan meminta pelajaran tambahan khusus mengenai neurologi. Di awal bulan aku tidak ingin menceritakan alasanku tapi seiring berjalannya waktu aku tiba-tiba saja menceritakan semuanya. Kurasa karena dorongan rasa balas budiku pada Bu Ningsih yang mau mengajariku tanpa mengerti apa-apa.

Bu Ningsih. Duduk bertopang dagu menatap wajah putri didiknya itu. Dalam ingatannya, Tara memiliki wajah yang selalu gelap dengan alis bertautan kesal setiap kali menatapnya. Bu Ningsih jadi teringat wajah Tara saat menceritakan alasannya, ekspresi yang sangat datar seolah itu bukan apa-apa. Hal itu mencerminkan keteguhan hati Tara dalam menghadapi cobaan yang sama dua kali.

"... Saat aku berpikir Tuhan sangat tidak adil mengambil orang-orang di sekitarku dengan cara seperti itu, di saat bersamaan itulah aku jadi berpikir kalau Tuhan memberiku cobaan yang sama karena aku gagal melewati cobaanku yang pertama. Sekarang aku mengerti apa itu arti dari merelakan. Dan... yang paling merasakan adalah mereka yang terserang, cobaanku tidak sebanding dengan mereka, setidaknya aku ingin melakukan sesuatu untuk membantu mereka"

"Bu Ningsih ? Bu Ningsih ?"

"Hah ? oh, ya ?

Tara tersenyum geli melihat dosennya melamun. Senyum itu yang terkadang membuat Bu Ningsih gatal ingin memeluk dan mengusap kepala Tara. Meski waktu kebersamaan mereka baru dua bulan tapi bagi Bu Ningsih yang memang tidak bisa memiiki anak, memiliki Tara di sisinya seperti memiliki anak yang ia lahirkan dengan darah daging dan peluhnya sendiri.

"Aku ingin bertanya soal ini..." ujarku sambil menunjuk sederet kalimat yang baru kubaca

"Oh, oke, mana ? mana ?"

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang