"Tolong"

155 8 0
                                        

Pagi itu aku asyik membaca buku yang kupinjam dari Bu Ningsih. Aku juga mendapatkan beberapa buku referensi yang dipinjamkan Mbak Reksa dari Perpustakaan Umum. Hari ini sepulang sekolah nanti Nana langsung pergi ke tempat Agil jadi aku sendiri di sini dengan Mbak Reksa dan Bik Uti.

Aku melirik handphoneku yang kuletakkan di samping buku-buku pinjaman dari Perpus Umum. Aku tidak pernah membalas panggilan dari Riki maupun Theo. Aku tidak tau apa yang harus kukatakan pada mereka. Ini masalah keluargaku, aku tidak ingin mereka terlibat.

"Permisi, Mbak Tara..."

Aku mendongak begitu mendengar panggilan dari Mbak Reksa

"Ada telepon dari Tuan Dimas"

Aku spontan melompat berdiri dan berlari menuju tempat telepon keluarga. Gagangnya diletakkan di atas meja dengan posisi menghadap ke atas. Aku langsung menyambar gagang tersebut dan menempelkannya ke telinga

"Halo ? Papa ?"

"Tara... gimana kabarmu di Malang ?"

"Tara baik. Papa gimana ? Baik-baik saja kan ?"

"Papa baik. Sebentar lagi Papa akan datang menjemputmu jadi bersabarlah sebentar lagi. Ya ?"

Aku tersenyum lalu mengangguk sambil menjawab lirih "Ya. Aku sayang Papa. Hati-hati ya"

Aku bisa mendengar suara kikikan kecil ayah "Astaga, gadis kecilku yang kukira sudah mulai merangkak pergi meninggalkanku ternyata kembali jadi gadis kecil yang manis"

"Ih, Papa apaan sih" balasku malu

"Ya, Papa akan hati-hati. Papa juga sayang Tara... Assalamu‟alaikum"

"Wa‟alaikumsalam" jawabku sebelum akhirnya panggilan diputus.

...

"Lho, Pak Jo mau kemana ?" tanya Tiki begitu melihat Pak Jo sedang memanaskan mobil pagi-pagi sekali.

"Oh, den Riki. Bapak mau ke kantor-nya Pak Affandi, mau mengantarkan dokumen ini" ucap Pak Jo sambil menunjukkan sebuah map biru yang tampak penuh.

Riki menatap map itu lalu menatap Pak Jo "Boleh Riki ikut ? Riki sekalian langsung ke kampus aja Pak" ucap Riki

"Eh, nggak kepagian toh den ?"

"Nggak apa-apa. Bentar ya Pak, Riki ke dalam ambil tas Riki" ucap Riki sambil memutar roda kursi rodanya sendiri ke dalam rumah dan mengambil ransel yang ia letakkan di atas sofa ruang keluarga. Riki bergegas menuju halaman rumahnya dan dibantu Pak Jo naik ke mobil.

Mobil tersebut akhirnya beranjak meninggalkan bagasi rumah dan bergabung dengan kemacetan pagi Jakarta. Riki menatap keluar jendela mobil sepanjang perjalanan, merekam panorama Jakarta selama masih dapat ia lihat. Riki memastikan tidak ada detil yang luput dari pandangannya hingga akhirnya Pak Jo memarkirkan mobil di parkiran sebuah apotek.

"Den Riki mau turun ketemu bapak sama nyonya ?" tawar Pak Jo sambil meraih map biru yang beliau letakkan di sampingnya.

"Nggak usah deh, Pak. Riki tunggu di mobil saja" balas Riki sambil tersenyum.

Pak Jo mengangguk lalu bergegas keluar mobil dan masuk ke dalam kantor apotek tersebut. Riki menoleh keluar jendela mobil dan memperhatikan rumah bergaya minimalis 2 tingkat yang dijadikan apotek itu. Cat luar-nya warna-warni menarik perhatian. Spanduk besar yang menghimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan sejenis larangan merokok dan narkoba terpampang jelas membuat rumah ini berbeda dari rumah-rumah lain.

Sebuah mobil benz hitam muncul dan langsung diparkir di samping mobil yang dikendarai Riki. Seorang laki-laki berperawakan kecil beranjak keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam kantor. Riki terdiam. Orang itu rasanya familier. Orang berperawakan kecil itu sempat berpapasan dengan Pak Jo dan dengan cuek-nya memaksa masuk ke dalam pintu sehingga Pak Jo mau tidak mau harus merapat ke sisi pintu. Pak Jo bergegas masuk ke dalam mobil dan menghembuskan nafas lega.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang