Riki memutar roda kursi rodanya sendiri menyusuri taman fakultas farmasi UI menuju fakultas Teknik. Hari ini dosennya ada keperluan jadi pulangnya cepat. Beberapa orang menyapa Riki bahkan ada yang menawari ingin membantu mengantarkan Riki tapi selalu ditolak halus oleh Riki
'Kalo dimajain terus-terusan kan nggak lucu aja kalo tanganku mati fungsi sebelum waktunya' batin Riki.
Tiba-tiba saja kursi rodanya bergerak sendiri dan Riki spontan langsung mendongak ke atas
"Tara ?"
Tara tersenyum kecil sambil membantu mendorongkan kursi roda Riki. Riki terdiam. Khusus untuk gadis ini Riki tidak bisa menolak. Ditatapnya mata Tara dan sepasang awan mendung menutupi kilat bola mata Tara. Gadis ini ada masalah.
"Kamu kenapa, Tar ?"
"Hmm, gapapa kok"
Oke. Riki menatap lurus ke depan dan memilih untuk tutup mata kalau Tara memang tidak ingin cerita. Tapi tetap saja ada perasaan sedikit kesal dan cemburu tak beralasan yang membuat Riki sedikit merengut
"Hei, aku bisa sendiri. Aku nggak mau tanganku lumpuh duluan"
"Aiish, kenapa lo kok sensi gitu sih ?"
"Eh, seriusan kok ya. Sini, biar aku sendiri"
Bukannya melepaskan Tara justru mempercepat langkahnya membuat kursi roda ini bergerak lebih cepat
"Wa, wah, waah, hei, pelan-pelan, Tar !"
Tidak menggubris perkataan Riki, Tara justru mempercepat langkahnya membuat Riki sports jantung memandang ke depan. Ini rasanya seperti mengendarai jet coaster. Seramnya lagi jalannya gronjal-gronjal bikin pantat Riki ikut lompat seiring gerakan kursi rodanya.
"Tara, stop ! Tara, aku serius ! Stop ! Stop !"
Tara justru tertawa keras dan makin menambah kecepatan. Tidak peduli dengan Riki yang meronta-ronta, Tara menikung tajam dan membuat Riki si penunggang kursi roda terlompat sejenak dari kursi rodanya. Jeritan Riki makin keras, begitu pula tawa Tara menarik perhatian seluruh mahasiswa UI yang pada nongkrong di kanan-kiri jalan.
"Kamu gila ya Tar ?! Serius tadi itu ngeri banget tau !"
"Hahaha, sori, sori, habisnya situnya sensi sih"
Riki mendengus 'Emang salah siapa ?' batin Riki. "Situ juga nggak mau cerita lagi ada masalah apa"
Tara terdiam. Riki ikut terdiam, sadar dirinya terlalu ikut campur
"Ups, maaf... aku nggak maksud maksa kamu"
Tara menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Didorongnya kursi roda Riki lebih pelan sampai keduanya tiba di TI. Theo tampak sibuk mengetik di handphonenya tanpa menyadari kedua temannya sudah tiba di sampingnya
"Nulis apa kok sibuk banget ?" tanya Tara.
Theo spontan menyembunyikan handphone-nya di belakang badan. Theo tergagap, dia sedang menghadapi orang yang tidak mudah takluk dengan kebohongan biasa. Terang saja Tara mengernyitkan kening, bingung sekaligus penasaran.
"Eeh... ini..."
"SMS dari Bunda lagi ?" tanya Riki tiba-tiba
Theo menatap Riki bingung tapi sebuah skenario langsung tergambar jelas di kepalanya.
"SMS dari Bunda ? Kenapa ?" tanya Tara
"Nggak... biasa, Bunda tanya kondisi Riki di kampus jadi ya aku lapor..."
Tara hanya manggut-manggut meski ada raut kurang puas di wajahnya. Riki harus menelan bulat-bulat rasa gugupnya, Tara masih belum sepenuhnya percaya tapi setidaknya Tara mau menutup topik pembicaraan ini. Ada juga rasa bersalah karena sudah berbohong apalagi mengenai Bunda-nya.
"Ke parkiran yuk, nungguin Pak Jo di sana aja" ujar Theo sambil mengantongi handphonenya.
Tara dan Riki mengangguk setuju lalu ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran UI. Selama perjalanan tidak banyak topik yang mereka bicarakan. Ketiganya tampak berhati-hati bicara. Rasa curiga sempat terbesit di benak ketiganya tapi ketiganya sama-sama berusaha acuh. Suasananya kentara sekali, kaku. Tidak ada yang ingin berbagi masalah, masing-masing diam memendamnya dalam diri masing-masing.
...
Aku mendorong-dorong hanger, mengeluarkan baju-baju yang akan kumasukkan ke dalam koper. Semua pilihanku hanya kemeja lengan ¾ dan 2 pasang jins. Tanganku meraih jaket katun berwarna ungu violet lalu mematut diri di depan cermin. Bolehlah.
Aku memasukkan jaket katun violet itu ke dalam koper lalu kembali menyibukkan diri dengan hanger-hanger dalam almari. Tatapanku langsung terpaku pada sebuah long dress putih. Long dress yang dulu pernah kubeli sewaktu Riki mengundangku ke rumahnya untuk pertama kalinya dan batal kukenakan karena bekas luka di lengan kiriku.
Aku mengangkat lengan kiriku dan menggulung lengan piyamaku lalu memperhatikan bekas luka di lengan kiriku. Bekasnya masih ada tapi sudah sedikit membaur dengan kulit. Sepertinya luka ini akan lama hilang bekasnya.
Aku mendengus kecewa. Aku melepas long dress itu dari hanger lalu mengganti piyama yang kupakai dengan long dress putih tersebut. Manis. Terlalu manis untuk seorang Talhah Ramadhania. Long dress itu menyatu dengan warna kulitku dan memperlihatkan lekuk tubuhku yang bisa dibilang tergolong ideal. Aku iseng berputar bak seorang penari balet profesional. Kakiku yang putih jenjang membaur apik dengan long dressku yang melambai-lambai setiap kali aku bergerak. Cantik.
Bekas lukanya tampak menojol tapi aku tidak peduli.
"Sayang sekali aku tidak bisa menunjukkan ini ke Riki" gumamku pada pantulan diriku di cermin.
Tok... Tok...
"Neng, Bibik masuk ya ?"
Aku terdiam kaget dan terlambat merespon. Pintu kamarku terbuka sebelum aku sempat mencegah. Bik Mah masuk membawa cucian yang sudah dicuci, disetrika dan dilipat lalu menoleh padaku. Bik Mah tampak tertegun saat melihatku.
"Uh" aku sampai kehabisan kata-kata, Bik Mah belum juga merespon apa-apa
"... Waduh, Eneng jan uwayu tenan, bibik sampe pangling lho. Ono opo toh, neng? ayu ne talah ! bibik gak goro wes"
Aku terdiam. Jawa-nya Bik Mah keluar. Pipiku langsung mengeluarkan semburat warna merah, aku merasa malu sekaligus senang mendengar pujian dari Bik Mah.
"Nggak, cuman coba-coba baju aja kok bik"
Bik Mah manggut-manggut masih sambil tersenyum "Bibik bantu bereskan kopernya ya neng" ucap Bik Mah sebelum menata baju-baju yang sudah disetrika rapi olehnya di dalam koper.
Aku menggaruk saja lalu duduk di atas ranjang sambil memperhatikan pekerjaan bibik yang tentunya jauh lebih rapi dibandingkan diriku.
"Bik, terima kasih banyak sudah mau merawat Tara sampai sekarang" ucapku tulus. Bik Mah tampak gelagapan mendengar perkataanku yang tiba-tiba
"Neng, jangan bilang gitu dong. Bibik kan jadi sedih" Bik Mah menatapku dengan matanya yang basah. Aku hanya bisa tertawa kecil. "Neng, nanti bakal balik lagi ke sini kan, neng ?"
Aku hanya bisa tersenyum kecil lalu mengangguk.
![](https://img.wattpad.com/cover/56101322-288-k252035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
Teen FictionNamaku Tara. Aku tidak punya apa-apa. Kupikir aku sudah membuang segalanya, tapi ternyata tidak. Namanya Riki. Entah bagaimana caranya ia mengembalikan apa sudah kubuang mati-matian Saat kupikir kau sudah mengembalikan semua yang sudah kubuang, kau...