Aku duduk bersandar di sofa ruang keluarga rumah Riki. Riki tampak sibuk menelepon dan Theo mondar-mandir di depan dengan Pak Jo. Sosok Pak Affandi terlihat di sudut ruang tamu mengobrol dengan papa.
"Tara, sudah merasa baikan ?"
Aku mendongak dan mendapati segelas teh hangat tersodor ke arahku. Bunda Rama tersenyum hangat padaku dan membiarkanku menyeruput teh hangat buatannya. Enak. Aku menoleh ke arah papa yang tampak baik-baik saja dan itu cukup membuatku tenang. Bunda Rama mengusap-usap rambutku dan aku tanpa sadar sudar bersandar nyaman pada beliau.
Aku masih ingat panggilan tidak dikenal pagi ini. Panggilan dari orang yang mengaku bernama Regan. Pikiranku benar-benar blank saat orang itu tiba-tiba mengatakan papa diawasi oleh orang-orangnya.
Aku melirik Riki yang baru saja mengakhiri panggilan terakhirnya dan memutar roda kursi rodanya sendiri mendekat ke arah tempat papa dan Tuan Affandi berbicara.
"Kumohon... tolong aku..."
"Tara ?!" pekik Theo tidak percaya dengan kedatanganku yang tiba-tia. Riki menatapku sama-sama tercengang. Dadaku sesak. Rasanya aku ingin menangis tapi kutahan mati-matian.
Riki tiba-tiba menarik tanganku dan menatapku dengan senyumnya yang menenangkan. Riki menganggukkan kepalanya padaku lalu mengisyaratkan Theo untuk segera beranjak pergi dari kantin. Theo buru-buru meninggalkan uang pembayaran pesanan yang bahkan belum mereka sentuh dan sigap mendorong kursi roda Riki keluar kantin sambil memberiku dorongan ringan pada punggungku menenangkan.
"Ma, Maaf... aku, selama ini aku..."
"Tara, tidak apa-apa. Kau tidak perlu menjelaskan. Aku kurang lebih bisa menangkap apa masalahmu" potong Riki tiba-tiba.
"Eh?"
Riki mendongak menatapku dan tersenyum. "Sisanya serahkan saja padaku, oke?. Kau tenang saja"
"Aku tidak percaya Riki bisa tiba-tiba menyelesaikannya tanpa perlu mendengarkan keteranganku sama sekali" gumamku sebal.
Bunda tertawa mendengar gumamanku. "Benar. Bunda sendiri kaget anak itu bisa menemukan solusi dari petunjuk-petunjuk yang sedikit"
Sebelumnya Riki sudah menjelaskan teorinya. Dimulai dari kecurigaannya dengan hilangnya Tara dan kosongnya rumah Tara dan ketidaksengajaannya memergoki Regan dengan 2 pupilnya itu mengintai rumah Tara.
Riki sudah merasa mengenal Regan akan tetapi Regan tiba-tiba berkata kalau dirinya adalah penagih utang, itu membuat tanda tanya besar dalam benak Riki karena Riki tidak yakin bahwa Regan memang penagih utang. Kenapa Regan berbohong ?. Lalu Bunda menelepon malam harinya menjelaskan ada masalah di kantor dan teringat akan Regan yang rasa-rasanya Riki kenal. Riki curiga andai kala Regan itu adalah pegawai di apotek ayahnya dan tebakannya tepat sasaran. Keesokan harinya Riki melihat dengan mata kepala sendiri Regan memang bekerja di apotek ayahnya.
Dari kepastian bahwa Regan yang dicurigainya dengan Regan pegawai apotekayahnya adalah orang yang sama, Riki langsung nekat menyimpulkan uang hilang itu, penagih utang, semuanya berkaitan satu sama lain. Kini semuanya sibuk membuktikan hipotesis Riki dan semuanya berjalan lancar. Kedok Regan berhasil ditangkap.
"Kakak jadi terlihat seperti detektif-detektif di kartun-kartun" ledek Bintang yang sejak tadi sudah duduk diam di sampingku ikut menonton keramaian yang tiba-tiba datang di rumahnya. Aku spontan tertawa disusul Bunda.
"... Tara" panggil papa tiba-tiba. Aku langsung bergegas bangkit dan memeluk erat papa.
"Hei, kenapa kau tiba-tiba manja sekarang ? Nggak malu diliatin teman-temanmu ?"
"Biarin !. Yang penting Tara senang Papa nggak apa-apa" ucapku sambil mempererat pelukanku.
"Pak Affandi. Saya benar-benar berterima kasih. Pasti, saya akan membayar semua hutang saya" ucap Papa sambil menghadap ke arah Pak Affandi yang masih berdiri di sudut ruang tamu dengan senyuman hangat
Aku menghembuskan nafas lega dan baru bisa menoleh ke arah Riki yang sedang menatapku dengan senyumnya yang menenangkan itu. Bunda berdiri di sampingnya sama-sama tersenyum padaku juga Bintang yang berdiri di belakang kursi roda kakaknya tertawa senang akhirnya semua masalah ini selesai. Keluarga yang hangat.
...
Riki memejamkan matanya menikmati matahari pagi di hari minggu. Suara tawa anak-anak yang asyik bermain bola sukses mengundang senyum. Suara obrolan ibu-ibu, derap langkah anak-anak muda yang sedang jogging, suara kicauan burung gereja yang jarang-jarang terdengar ramai bersahut-sahutan.
"Riki, kau ingin minum ?"
Riki membuka matanya dan sosok Tara berdiri tegak di hadapannya dengan sebotol air mineral di tangan. Riki tersenyum dan menerima sodoran air mineral tersebut.
Tara membalas senyumannya dan berbalik sambil merenggangkan kedua tangannya.
"Cuacanya enak. Nggak rugi kita keluar pagi-pagi"
"Palingan juga ini pertama kalinya kamu jalan-jalan pagi di hari minggu" ledek Riki sambil terkikik geli.
Tara berbalik hendak protes tapi mulutnya langsung terkatup lagi sebelum kata-kata protesnya keluar.
Riki memiringkan kepalanya bingung dengan sikap Tara "Tara ?"
"Yah, bisa dihitung pertama kan. Ini pertama kalinya aku jalan-jalan pagi di hari minggu denganmu" ucap Tara tiba-tiba dengan senyumnya.
Riki terdiam dan Tara langsung memalingkan wajahnya yang bersemu merah.
Riki menunduk. Tangan kanannya menutupi nyaris seluruh wajahnya yang ikut bersemu merah.
"Aah... aku nggak kuat kalau kau tiba-tiba berubah sikap seperti itu" gumam Riki pelan.
Tara tiba-tiba mulai bersenandung. Senandung yang acak. Riki bahkan tidak bisa menebak lagu apa yang sedang Tara senandungkan. Riki tersenyum, hendak tertawa akan tetapi suaranya tidak keluar. Riki terdiam syok.
Genggamannya melonggar dan botol mineral yang sejak tadi ia genggam di tangan kirinya bergulir dan jatuh ke atas paving menimbulkan suara keras.
Tara spontan berbalik meski sesungguhnya Riki tidak ingin Tara berbalik.
Entah bagaimana ekspresinya saat ini tapi yang jelas perasaan Riki sedang kacau. Ini lebih cepat dari perkiraannya. Suaranya tidak mau keluar. Rasa takut langsung menyerang Riki. Riki menggigit bibir bawahnya dan memalingkan wajahnya, tidak ingin ekspresinya dilihat oleh Tara.
Tara mengambil satu langkah lebar dan berhasil mendekap erat Riki. Riki terdiam dengan dekapan yang tiba-tiba itu dan merasakan usapan lembut di punggungnya dari tangan Tara.
"Tidak apa-apa. Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sisimu, oke ?" bisik Tara lembut.
Riki terdiam. Pikiran untuk mendorong Tara menjauh seperti sebelumnya langsung lenyap. Riki tidak ingin melepaskan dekapan ini. Justru ada perasaan memonopoli yang tumbuh dalam dirinya.
Air mata Riki mulai meleleh. Tangannya perlahan bergerak naik dan membalas dekapan Tara.
Ya Tuhan... hambamu ini orang yang egois.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
Teen FictionNamaku Tara. Aku tidak punya apa-apa. Kupikir aku sudah membuang segalanya, tapi ternyata tidak. Namanya Riki. Entah bagaimana caranya ia mengembalikan apa sudah kubuang mati-matian Saat kupikir kau sudah mengembalikan semua yang sudah kubuang, kau...