"Aku Sayang Kamu"

209 9 0
                                    

"Hei, Theo ! itu buat Riki !"

"Biarin !"

"A-ah... a...pelku..."

Aku tertawa melihat Theo dan Riki berebut apel yang dipotongnya. Theo benar-benar tidak ada ampun meski dengan lawannya adalah pasien rumah sakit. Meski yah, Theo memang sengaja membawa sekeranjang penuh apel, pasti dia sengaja melakukan ini. Habisnya kan mana mungkin sekeranjang penuh mau dimakan Riki semua.

Riki dan Theo tertawa saat apel yang mereka perebutkan itu jatuh ke tangan Riki. Theo menyerah dan tidak merebut potongan apel malang itu dan membiarkan Riki memakannya perlahan-lahan. Melihat Riki makan selalu membuatku was-was. Para penderita Ataxia memiliki kecenderungan untuk tersedak saat makan.

"Uhuk !"

"Riki !" seruku panik dan bergegas bangkit akan tetapi tangan Riki sigap menahanku. Riki tampak susah payah mengunyah dan menelan potongan kecil apel tersebut. Aku menatap cemas Riki dan Riki membalas tatapanku dengan senyumannya yang sudah mulai kaku.

"Heh, kalau nggak mau makan apelnya kumakan nih !" ancam Theo sambil mencomot satu potongan apel di atas piring dan memakannya.

Riki langsung buka mulut hendak protes akan tetapi gerakan protesnya tertahan oleh kesadarannya akan keterbatasannya saat berbicara sehingga bentuk protesnya berubah menjadi aksi lempar kulit apel hasil kupasanku.

Entah bagaimana caranya satu irisan panjang kulit apel berhasil mampir ke dalam mulut Theo yang terbuka hendak melahap apel sehingga Theo berakhir melahap apel sekaligus kulitnya.

Theo terdiam saat menyadari sesuatu menjulur keluar dari mulutnya. Aku dan Riki pun terdiam menatap Theo. Detik berikutnya aku dan Riki tertawa keras sedangkan Theo kesulitan mengunyah dengan irisan panjang kulit apel yang menjuntai dari mulutnya.

"Ih, jorok ah !" ledekku sambil memegang perutku yang sakit karena kebanyakan tertawa. Riki tertawa dengan tawanya yang aneh. Tawanya lebih terdengar seperti engahan dari pada tawa pada umumnya.

Theo tampak tidak peduli dan memasang tanda peace dengan jarinya. Riki mengulurkan tangannya hendak mengambil apel lagi tapi genggamannya yang tidak stabil membuatnya kesulitan mengambil sepotong apel.

Potongan apel yang diincarnya itu seringkali luput dan jatuh ke atas selimut. Ingin rasanya aku membantunya tapi aku sudah berjanji tidak akan membantunya. Aku terikat perjanjian yang kami bertiga buat untuk tidak membantu Riki melakukan segala hal.

Yang bisa kulakukan hanya tersenyum menyemangati meski sesungguhnya hatiku teriris melihatnya. Potongan apel itu berhasil Riki genggam bersamaan dengan munculnya raut kepuasan di wajah Riki. Riki mulai melahap apelnya dengan tenang.

Aku melanjutkan mengupas apel dan Theo kembali dengan ocehannya yang tidak pernah ada ujungnya. Bagi kami hal seperti ini sudah menjadi keseharian yang biasa.

...

Pagi itu langit cerah sekali. Cuaca yang cocok untuk meninggakan hawa dingin rumah sakit. Pagi itu tumben-tumbennya kantin rumah sakit menyetel musik broadcast dan terdengar hingga tempat ini. Lagu Waltz.

"Ayo, Rik, tangkap !" seruku sambil melempar bola karet ke arah Riki yang duduk di atas kursi roda. Bolanya kulempar rendah tanpa tenaga dan kuarahkan tepat ke arah pangkuan Riki

Riki tertawa geli. Sebelum melakukan permainan ini Riki sempat menolak mati-matian karena malu tapi Tara benar-benar memaksa seperti mengatakan "Kalau tidak begini kau tidak akan olahraga !‟ dan berakhirlah situasi ini. Riki mengangkat perlahan-lahan bola di tangannya. Bola itu meleset dari pegangannya dan menggelinding jatuh.

Tara tertawa dan mengambil bola yang menggelinding ke arahnya. "Siaaap ? Yak, tangkap !" Tara sekali lagi melemparnya dan mendarat mulus di pangkuanku.

Aku menarik nafas dalam-dalam. 'Kali ini harus bisa' tekad Riki. Riki memusatkan fokusnya ke arah pegangannya dan mengangkat bola karet di tangannya perlahan-lahan hingga di atas kepalanya. Dirasa cukup, Riki mengayunkah tangannya ke bawah dan bola itu justru terlempar ke arah paving dan memantul.

Tara tampak kesulitan mengambil bola yang tiba-tiba memantul melewati dirinya dan kelimpungan mengejarnya.

"Don‟t mind !" seru Tara sembari berlari mengejar bola. Riki tertawa.

Memangnya sedang turnamen voli ?. Theo meledek habis-habisan Tara yang tidak bisa menangkap bola mudah seperti itu. Tara membalasnya dan mulailah perdebatan tidak penting mereka. Riki tersenyum. Hari-hari seperti ini memang menyenangkan.

"Oke, sekali lagi !" seru Tara dan melempar bola lagi ke arahku dan pas mendarat di atas pangkuan Riki. Riki tersenyum dan menatap Theo yang sama-sama menatap ke arahnya.

"Kali ini ke aku ? Oke ! Liat aja pasti kutangkap nggak seperti Tara" ujar Theo sombong.

Tara merengut dan aku tertawa. 'Awas saja Te, kubuat susah untukmu' batin Riki jail. Seperti sebelumnya Riki melempar dan sekali lagi bola karet itu bukannya melambung seperti permainan lempar tangkap bola melainkan memantul ke bawah.

Karena celah-celah paving bola karet itu justru memantul ke arah yang tidak terduga dan Theo kelimpungan menangkapnya. Riki dan Tara tertawa terbahak-bahak melihat betapa Theo menyangkalnya seperti "Cuma kebetulan !‟ "Paving sial ganggu sih !" "Hei, serius itu cuma kebetulaann !!". Dasar Theo selalu berisik.

Riki melirik Tara yang sedang mengusap air matanya karena tertawa keras.

"Hm ? Kenapa Rik ?"

Riki tersenyum. Tara selalu sadar setiap kali Riki meliriknya meski Riki dalam posisi di belakang punggung Tara pun Tara selalu sadar dan menoleh ke arah Riki dengan senyumannya. Ada perasaan bergemuruh saat Tara tersenyum lebar ke arah Riki.

Kata-kata yang tidak akan pernah bisa Riki ucapkan.

Riki membuka mulutnya lalu mengatupkannya lagi tanpa mengeluarkan suara apa-apa kemudian tersenyum lebar

"Tara, aku sayang kamu"


Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang