"Bunda ! Bintang... gimana kondisi Bintang ?!" tanya Riki panik begitu melihat Bunda Rama terduduk lemas di kursi tunggu
"Riki... oh, syukurlah... Bintang hanya menderita gegar otak ringan dan lengan kanannya terkilir... selebihnya hanya luka ringan. Sekarang Bintang masih tidur" jelas Bunda Rama
Riki langsung menghembuskan nafas panjang. Theo di sampingnya langsung terduduk capek di kursi tunggu. Sepanjang perjalanan Theo ngebut terus, menyalip-nyalip tiap kendaraan di tengah kemacetan Jakarta
"Syukurlah kalau begitu" ucap Theo
Riki tersenyum lalu menatap Bunda Rama lagi "Sekarang Bintang dimana ?"
"Sedang tidur di ruangannya" jawab Bunda Rama "Ngomong-ngomong... Riki... apa di luar tadi kau melihat seorang gadis berjaket kulit dengan luka-luka?" tanya Bunda Rama
"Huh ? Tidak... kenapa ?"
"Anak itu... yang menyelamatkan Bintang. Tadi susternya bilang ada gadis yang menggendong Bintang di punggungnya dan marah-marah karena Bintang tidak segera ditangani karena saat itu memang sedang penuh. Bunda dengar gadis itu langsung membayar uang muka perawatan Bintang dan barulah Bintang segera ditangani... Bunda ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Benarkah kalian tidak melihat gadis itu diluar ?"
Riki dan Theo saling bertukar pandang. Sama-sama menggali memori mereka yang samar-samar karena diliputi rasa panik. Hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan memori seperti itu.
Melihat ekspresi Riki dan Theo, Bunda Rama menghela nafaspanjang. Niat berterima kasihnya terpaksa harus beliau rendam dulu.
Riki tampak mengernyitkan kening, berpikir "Bunda, apa ada ciri lain ?" tanya Riki
Bunda Rama mencoba mengingat-ingat lalu menjawab "Katanya gadis itu terus memegangi lengan kirinya. Sepertinya lengan kirinya terluka sewaktu menyelamatkan Bintang"
...
"Adudududuh...." Aku meringis saat mengoleskan obat merah ke lengan kiriku. Darahnya sudah berhenti mengalir tapi bekasnya masih terasa perih. Aku meringis lagi saat melihat luka mengaga berbentuk garis horizontal itu. Perih.
"Neng Tara ? Neng tidak apa-apa ?" panggil Bik Mah diluar pintu kamarku. Aku mendongak dan memperhatikan pintu kamarku. Hening sebentar.
"Neng ? Imah bawakan air hangat. Boleh Imah masuk ?" lanjut Bik Mah.
"Gak !". Hening.
"Uh, uhm... Imah taruh baskomnya di depan pintu ya neng..." ucap Bik Mah akhirnya. Aku diam saja dan mendengarkan suara langkah Bik Mah yang menjauh.
Setelah suara itu tidak terdengar lagi aku langsung berjalan mendekati pintu dan membukanya. Aku memandangi baskom berisikan air hangat yang asapnya masih tersisa.
Heran, aku masih ingat aku membetaknya pagi ini tapi Bik Mah masih mau repot-repot menyiapkan ini. Aku mengangkat baskom itu masuk lalu menutup pintu.
Aku mendesis saat menempelkan lap basah hangat itu ke luka-luka lebamku. Kaki, lengan, perut, siku. Aku babak belur. Untuk wajahku tidak apa-apa karena memakai helm. Usai memasang perban di lengan kiriku aku langsung bergegas masuk ke kamar mandi dan membersihkan badanku, berhati-hati agar luka di lengan kiriku tidak terkena air.
Rasanya segar sekali usai mandi. Aku menutup diri dengan selembar handuk lalu keluar kamar mandi dan melemparkan bajuku yang koyak-koyak ke lantai kamar, termasuk jaket kulit kesayanganku. Aku membuka-buka almari dan memilih piyama katun bergambar Smurf.
Aku geli sendiri saat pilihanku jatuh pada piyama itu. Kartun kesukaanku sejak kecil. Aku memakai piyama itu lalu merebah di atas ranjangku. Lega sekali rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
Teen FictionNamaku Tara. Aku tidak punya apa-apa. Kupikir aku sudah membuang segalanya, tapi ternyata tidak. Namanya Riki. Entah bagaimana caranya ia mengembalikan apa sudah kubuang mati-matian Saat kupikir kau sudah mengembalikan semua yang sudah kubuang, kau...